Hari Difabel dan KUPI 2, Semangat Inklusi Bukan Segresi

Sepanjang yang bisa saya ingat, saya adalah perempuan berkebutuhan khusus dan pencinta buku yang rajin. Salah satu kenangan saya yang paling awal sebagai seorang anak adalah majalah anak dan buku yang dibawakan oleh Ayah saya sepulang mengajar di Surabaya tiap pekan. Aneka buku dengan topik bervariasi berjajar di rak menjadi teman baik saya -karena orang tua saya tidak akan membiarkan saya berlama-lama diluar atau pergi main terlalu jauh dari rumah. Maju cepat ke masa sekarang: Saya seorang pegiat studi disabilitas dan periset yang meneliti mengenai akses, inklusi dan isu sosial di masyarakat umum khususnya pesantren. Saya cukup beruntung terpilih untuk menjadi peserta KUPI2 dan selama tiga hari menuntut ilmu di Jepara. Saya diantara sedikit perempuan penyandang disabilitas fisik yang hadir.

Disamping membahas isu perempuan secara global, yang paling menarik bagi saya adalah adanya halaqah panel yang khusus membahas tentang pemenuhan hak-hak difabel oleh negara dan masyarakat.

Salah satu narasumber utama kelas panel tersebut adalah Bapak Dr Bahrul Fuad, MA, akrab dipanggil Cak Fu komisioner Komnas Perempuan dan pendiri roda untuk kemanusiaan.

Beliau mengatakan bahwa perempuan difbel dalam masyarakat Indonesia mengalami diskriminasi berlapis. pertama karena dia perempuan dan yang kedua adalah karena dia difabel. statusnya di masyarakat bisa dianggap sebagai orang nomor 4 setelah pria difabel wanita non divabel pria difabel baru kemudian perempuan difabel. Belum lagi ini jika ditambah faktor-faktor ekonomi sosial maupun pendidikan yang rendah sehingga membuat diskriminasi serta kerentanan yang dialaminya berlipat.

Sesi halaqah dan diskusi benar-benar membuat saya berpikir tentang penelitian saya sendiri, dan cara terbaik menavigasi persimpangan dan kerumitan yang ada antara masyarakat difabel & non difabel, antara perempuan dan sahabat perempuan di tengah dunia yang masih banyak menganut sistem patriarki juga birokrasi berbelit yang memusingkan

Agama Islam dasarnya sudah mengajarkan tentang konsep kesetaraan serta menghormati dan memuliakan penyandang disabilitas. Seiring adanya Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak bagi Peserta Didik Penyandang Disabilitas, Kementerian Agama berkewajiban menindaklanjuti regulasi tersebut, di antaranya penerapan di lingkungan pesantren.

Baca Juga:  Tuhan Mengapa Aku Berbeda?

Pondok pesantren di Indonesia selama ini tidak pernah menolak orang yang berkebutuhan khusus. Meskipun tidak pernah menyatakan sebagai pesantren inklusi, namun umumnya pesantren tidak pernah menolak siapapun yang mau masuk ke pesantren.

Sebagian orangtua yang memiliki kemampuan ekonomi tinggi biasanya mengundang terapis, psikolog atau guru khusus untuk menangani putra-putrinya yang difabel agar dapat mengetahui kecenderungan anak dan sanggup memberikan fasilitas pendidikan Yang sesuai. Akan tetapi, bagi kalangan orangtua yang memiliki keterbatasan ekonomi tentu tidak mempunyai kemampuan untuk mendatangkan psikolog, sehingga ada yang dititipkan pengasuh pesantren, setidaknya untuk menuntut ilmu agama.

Memang sejauh ini belum ada data resmi jumlah pesantren inklusi atau yang memiliki santri penyandang disabilitas. Namun, ternyata sudah banyak pesantren yang memang sudah menerima anak berkebutuhan khusus. Para santri yang berkebutuhan khusus dididik sehingga minimal bisa mandiri dalam ibadah shalat dan mengaji. Pencapaian demikian bagi beberapa jenis disabilitas adalah sesuatu yang luar biasa.

Bu Nyai Hj. Maqnu’atul Khoiriyah akrab dipanggil Bu Nunuk dari PP. Nurul Qur’an Jogoroto, Jombang pernah memiliki seorang santriwati disabilitas mental – intellectual. Beliau menuturkan bahwa terdapat tantangan tersendiri dalam mengasuh santri tersebut.

“Sebelumnya ya saya bicara dengan orang tuanya, saya menanyakan apa target yang diinginkan dari anaknya, karena terus-terang kemampuan pondok sangat terbatas.”

Ketika diberitahukan bahwa kedua orang tuanya menginginkan putrinya bisa lancar mengaji dan tidak menuntut prestasi akademis, maka santri tersebut diterima. Untuk mengawasi keseharian santri difabel tersebut, ditugaskan salah satu santri senior. Tantangan yang terbesar adalah ketika qda saat-saat Santri tersebut tidak bisa mengomunikasikan kebutuhannya.

“Jadi pernah terjadi anaknya itu buang air di aula, ya sudah tidak apa-apa. Santri-santri bergotong royong menyucikan.” Bu Nunuk menuturkan. “Ini juga bagus untuk Santri normal lainnya agar bisa menumbuhkan kepekaan.”

Baca Juga:  Disabilitas Menembus Batas

Pada kesempatan lain Bu Nunuk bercerita bahwa pernah ada calon wali santri yang memiliki anak berkursi roda ingin memasukkan putrinya ke Nurul Qur’an namun tidak membawa calon santri tersebut. “Itu kan ya agak susah jadinya buat pondok, jika tidak tahu kondisi anaknya seperti apa. Tapi orang tuanya minta jaminan anaknya diterima.”

Membangun ekosistem termasuk hal yang sangat penting, karena banyak anak berkebutuhan khusus yang ditolak, dirundung (bullying), disingkirkan, dianggap kelompok lain. Maka pengasuh pesantren, yakni pak kiai atau ibu nyai, membuat ekosistem yang baru soal bagaimana yang non difabel bisa menghargai yang difabel, sehingga bisa mendampingi ke kamar mandi, masjid, tempat belajar, dan seterusnya.

Merespons UU dan PP tentang penyandang disabilitas, Kementerian Agama dikabarkan akan membuat regulasi bagaimana mendampingi anak-anak santri berkebutuhan khusus. Sehingga, negara benar-benar hadir untuk mendampingi yang sesuai dengan kebutuhan, misalnya membangun ekosistem, fasilitas kusi roda, akses lingkungan, dan lain-lain.

Ada beberapa pesantren yang sudah mendeklarasikan lembaganya sebagai inklusi, seperti misalnya, di Pesantren Raudhatul Makfufin Tangerang Selatan yang sudah menyusun Al-Qur’an Braile bahkan memberikan pendidikan dengan keterampilan yang bermanfaat ketika mereka sudah keluar pesantren agar santri yang tuna netra bisa setara dengan teman-temannya.

Setiap tahun, 3 desember diperingati sebagai Hari Internasional bagi Penyandang Disabilitas. Tahun ini Tema besarnya adalah “Solusi transformatif untuk pembangunan inklusif: peran inovasi dalam mendorong dunia yang dapat diakses dan adil”

Terinspirasi oleh sesi ke-77 pembukaan Sidang Umum pada 13 September dengan tema, “Momen yang menentukan: solusi transformatif untuk tantangan yang saling terkait”, dan sebagai pengakuan bahwa dunia berada pada momen kritis dalam sejarah Perserikatan Bangsa-Bangsa, saatnya untuk bertindak dan menemukan solusi bersama dalam membangun dunia yang lebih berkelanjutan dan tangguh untuk semua dan generasi yang akan datang.

Krisis kompleks dan saling terkait yang dihadapi umat manusia saat ini, termasuk guncangan akibat pandemi COVID-19, perang di Ukraina dan negara lain, titik kritis dalam perubahan iklim, semuanya menimbulkan tantangan kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya, serta ancaman terhadap ekonomi global.

Baca Juga:  Konferensi Internasional KUPI II: Ajak Perempuan Lebih Militan

Paling sering, di saat-saat krisis, orang-orang dalam situasi rentan seperti penyandang disabilitas adalah yang paling tersisih dan tertinggal. Sejalan dengan premis utama Agenda 2030 untuk SDG agar “tidak meninggalkan siapa pun”, penting bagi pemerintah, sektor publik dan swasta untuk secara kolaboratif menemukan solusi inovatif untuk dan bersama para penyandang disabilitas untuk menjadikan dunia lebih mudah diakses dan menjadi tempat yang adil.

Ada beberapa bentuk dukungan yang bisa dilakukan:

  1. Donasi ke Badan Amal atau lembaga peduli Disabilitas.
  2. Memperkuat Kebijakan anti Diskriminasi dan lingkunan ramah disabilitas di lingkungan pesantren
  3. Meningkatkan Aksesibilitas Dan fasilitas misalnya pengadaan jalur Landai Kursi Roda.
  4. Memberi penilaian keanekaragaman staf dan pegawai, apakah sudah memberi kesempatan pada difabel
  5. Membuat Pernyataan Dukungan Publik kepada gerakan-gerakan advokasi disabilitas.

Kembali pada perhelatan KUPI. Saya ingin menambahkan bahwa ini adalah konferensi paling beragam yang pernah saya hadiri sejauh ini dan merupakan pengalaman yang membuka mata saya. Saya melakukan diskusi yang sangat menarik dengan orang-orang dari berbagai bidang: ahli lingkungan, orang yang mendampingi korban dan anak-anak dengan ketidakmampuan belajar, dan orang-orang yang mewakili beberapa badan luar biasa yang berupaya meningkatkan akses difabel ke ranah publik termasuk lewat tulis menulis yang merupakan teman akrab difabel melihat DUnIA.

KUPI membuka dialog luar biasa di antara semua, yang benar-benar menantang gagasan yang terbentuk sebelumnya tentang studi disabilitas dan pemberian bantuan serta pendampingan yang selama ini isunya sering berputar pada topik ekonomi dan pendidikan saja. Banyak sekali pertanyaan maupun ketertarikan atas isu disabilitas kaum muda terutama.

Sepanjang kongres yang bisa saya petik adalah bahwa dengan bertukar ilmu dan berkomunikasi antara difabel & non difabel, ibaratnya kedua sisi tembok Berlin, satu sama lain diharapkan benar-benar bersatu sehingga dapat mencapai sesuatu yang berdampak. []

Aida Mudjib
Santriwati, Penulis Antologi Sahabat Inspirasi dan Aktivis PwD

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini