Hukum Transplantasi Organ Perspektif Qaidah Ad-Dhararu Yuzaal

Transplantasi berasal dari bahasa inggris ‘to transplant’, yang berarti to take up and plant to another, mengambil dan menempelkan pada tempat lain atau to move from one place to another, memindahkan dari satu tempat ketempat yang lain. Transplantasi menurut istilah kedokteran berarti usaha memindahkan sebagian dari bagian tubuh dari satu tempat ketempat yang lain atau upaya medis untuk memindahkan sel, jaringan (kumpulan sel-sel), atau organ tubuh dari donor kepada resipien.[1]

Transplantasi pada dasarnya bertujuan untuk:

  1. Kesembuhan dari suatu penyakit, misalnya rusaknya jantung, ginjal, dll.
  2. Pemulihan kembali fungsi suatu organ, jaringan atau sel yang telah rusak atau mengalami kelainan, tapi sama sekali tidak terjadi kesakitan biologis, misalnya bibir sumbing.

Dalam proses pelaksanaan transplantasi ada tiga pihak yang terlibat didalamnya, yaitu resipien (-orang yang menerima organ dari donor), donor, dan tim ahli. Posisi ketiga pihak tersebut, resipien dan pendonor merupakan orang yang berada dalam bahaya. Resipien yang sudah diobati dengan berbagai macam upaya medis namun tak kunjung sembuh serta hanya memiki peluang transplantasi organ untuk kesembuhannya, maka resipien harus segera ditolong karena membahayakan nyawa resipien. Pada posisi donor juga berbahaya, sebab mendonorkan organ tubuh bisa mendatangkan resiko yang besar bagi kesehatan sang pendonor. Dari nyeri selepas operasi donor, gagal ginjal, hingga komplikasi di hati. Sedangkan tim ahli yang dimaksud disini adalah tim dokter yang menangani operasi.

Dilihat dari segi hubungan genetik antara donor dan resipien, ada tiga jenis transplantasi, yaitu:

  1. Auto-transplantasi, donor dan resipien merupakan satu individu, jaringan atau organ diambil dari bagian badannya sendiri, misalnya kulit.
  2. Homo-transplantasi, donor dan resipiennya individu yang sama jenisnya (manusia dengan manusia). Donornya ada dua jenis, yaitu donor yang masih hidup dan yang sudah mati.
  3. Hetero-transplantasi, donor dan resipiennya dua individu yang berlainan jenis, seperti donornya dari hewan dan resipiennya manusia.

Dilihat dari tingkat keberhasilannya, pada auto-transplantasi hampir selalu tidak pernah mendatangkan reaksi penolakan, sehingga jaringan atau organ yang ditransplantasikan hampir selalu dapat dipertahankan oleh resipien dalam jangka waktu yang cukup lama.

Pada homo-transplantasi akan terjadi tiga kemungkinan:

  1. Apabila resipien dan donor adalah saudara kembar yang berasal dari satu telur, maka transplantasi hampir selalu tidak menyebabkan reaksi penolakan. Pada golongan ini hasil transplantasinya serupa dengan hasil transplantasi pada auto-transplantasi.
  2. Apabila resipien dan donor adalah saudara kandung atau salah satunya adalah orangtua, maka reaksi penolakan pada golongan ini lebih besar daripada golongan pertama, tetapi masih lebih kecil dari golongan ketiga.
  3. Apabila resipien dan donor adalah dua orang yang tidak ada hubungan saudara, maka kemungkinan besar transplantasi selalu menyebabkan reaksi penolakan.[2]
Baca Juga:  Hukum Mengucapkan Selamat Natal

UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Pasal 33 ayat (1) menyatakan bahwa “Dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan transplantasi organ atau jaringan tubuh, transfusi darah, implan obat dan atau alat kesehatan, serta bedah plastik dan rekontruksi.”

Dengan adanya Undang-Undang diatas, negara membolehan adanya transplantasi organ. Namun dalam proses transplantasi organ ini menimbulkan resiko bahaya, sehingga banyak hal yang harus di pertimbangkan sebelum operasi transplantasi di lakukan. Pertimbangan yang paling utama adalah mengenai penyakit yang diderita. Jika transplantasi organ saat ini sudah lazim dilakukan, bagaimana hukum mengenai transplantasi organ itu sendiri? Apakah diperbolehkan karena menolong sesama? Ataukah tidak diperbolehkan sebab dapat membahayakan?

Allah telah memerintahkan kita untuk saling menolong sesama makhlukNya. Seperti pada QS. al-Maidah: 2

 …وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَ ٰ⁠نِۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِیدُ ٱلۡعِقَابِ.

Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah sangat berat siksa-Nya.”

Ayat diatas menyuruh kita agar berbuat baik kepada sesama manusia dan tolong menolong dalam hal kebaikan. Termasuk didalamnya memberikan organ tubuh kepada orang yang memerlukan merupakan suatu perbuatan tolong menolong dalam kebaikan karena memberi manfaat bagi orang lain.

Nabi Muhammad juga telah menjelaskan dalam hadistnya yang di riwayatkan oleh Imam Muslim yang berbunyi :

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ نَـفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُـرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا ، نَـفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُـرْبَةً مِنْ كُـرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَـى مُـعْسِرٍ ، يَسَّـرَ اللهُ عَلَيْهِ فِـي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ، وَمَنْ سَتَـرَ مُسْلِمًـا ، سَتَـرَهُ اللهُ فِـي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ، وَاللهُ فِـي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ .

Baca Juga:  Hukum Merayakan Tahun Baru Non Muslim

Artinya: ”Dari Abi Hurairah ra. Ia berkata: ‘Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang melapangkan orang mukmin dari kesempitan urusan dunia niscaya Allah akan melapangkan kesempitannya di hari kiamat. Barang siapa memudahkan kesulitan orang mukmin niscaya Allah akan memudahkan kesulitannya di dunia dan akhirat. Barang siapa menutupi kekurangan orang muslim niscaya Allah akan menutupi kekurangannya di dunia dan akherat. Allah akan menolong hamba-Nya sepanjang hamba tersebut menolong.”

Hadits tersebut berisikan anjuran untuk menolong orang lain yang dalam kesulitan. Dalam hal ini, Seseorang yang sedang sakit dan butuh tindakan transplantasi agar menjadi sehat kembali. Maka dianjurkan menolongnya agar dapat terhindar dari kesulitan yang dialaminya.

Dalam kitab Minhaj al-Thalibin Imam Nawawi menjelaskan :

ولو وصل عظمه بنجس لفقد الطاهر فمعذور والا وجب نزعه ان لم يخف ضررا ظاهرا قيل وان خاف, فان مات لم ينزع على الصحيح .[3]

Jika seseorang menyambung tulangnya dengan barang yang najis karena tidak ada barang yang suci maka hukumnya tidak apa-apa. Namun, apabila ada barang yang suci kemudian disambung dengan barang yang najis maka wajib dibuka jika tidak menimbulkan bahaya”.

Imam Zakariya al-Anshari juga berpendapat dalam kitabnya Fathu al-Wahhab

ولو وصل عظمه لحاجة الى وصله بنجس من عظم لا يصلح للوصل غيره عذر في ذلك فتصح صلاته معه والا بان لم يحتج أو وجد صالحا غيره من غير أدمي وجب عليه نزع النجس وان اكتسى لحما ان أمن من نزعه ضررا يبيح التيمم ولم يمت.[4]

Jika ada seseorang melakukan penyambungan tulangnya atas dasar butuh dengan tulang yang najis dengan alasan tidak ada tulang lain yang cocok. Maka hal itu, diperbolehkan dan sah sholatnya dengan tulang najis tersebut. Kecuali, jika dalam penyambungan itu tidak ada unsur kebutuhan atau ada tulang lain yang suci selain tulang manusia maka ia wajib membuka (mencabut) kembali tulang najis tersebut walaupun sudah tertutup oleh daging. Dengan catatan, jika proses pengambilan tulang najis tersebut aman (tidak membahayakan) dan tidak menyebabkan kematian”.

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa transplantasi diperbolehkan atas dasar kebutuhan. Namun sebagian ulama tidak memperbolehkan praktek transplantasi dengan landasan dalil

Baca Juga:  Menghadapi Radikalisme Agama di Negara Hukum

كسر عظم الميت ككسره حيا

Merusak tulang orang mati hukumnya sama dengan merusak tulang orang hidup”

Akan tetapi, jika di cermati tujuan praktek transplantasi organ tak lain adalah untuk menyelamatkan diri seseorang. Walaupun didalam praktek tersebut menyimpan konsekuensi.

Adapun kaidah fikih yang berkenaan dengan hal ini adalah:

الضرار يزال

Artinya: ”Bahaya harus dihilangkan” Menurut kaidah hukum di tersebut, bahaya harus ditanggulangi dengan usaha pengobatan. Dan jika usaha pengobatan secara medis biasa tidak bisa menolong jiwanya, maka demi menyelamatkan jiwa, transplantasi diperbolehkan karena keadaan darurat.

Mengenai permasalahan praktek transplantasi organ termasuk dalam permasalahan furu’ dan sikap tolong menolong sebagai bentuk saling menghargai. Dalam konteks fikih, etika sosial adalah wilayah mu’amalat, yaitu hubungan manusia yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup. KH. Sahal Mahfudh menyatakan bahwa fikih harus menjadi etika sosial dan bukan hukum positif negara, adalah dalam rangka menjaga eksistensi negara Indonesia sebagai negara bangsa yang plural, terutama agama. Fikih sebagai etika sosial dapat merealisasikan Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil-alamin).[5]

Permasalahan mengenai transplantasi organ dapat disimpulkan terdapat nilai-nilai tolong menolong sesama. Dalam bingkai fikih sosial tolong menolong termasuk bagian dari maqashid syari’ah. Masqashid syari’ah harus menjadi landasan atau pijakan serta arah ketentuan sebuah hukum. Karena maqashid berbicara soal kemaslahatan  yang harus terealisasikan dalam penetapan hukum. [HW]

Referensi:

[1] https://Ilaazizarabiula.wordpress.com diakses 23 September 2020 pukul 19.00

[2] https://keperawatanreligionkamilaazizarabiula.wordpress.com/articles/pembagian-transplantasi-organ/ diakses 25 september 2020 pukul 19.25

[3] Yahya al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin, hlm. 31.

[4] Zakariya al-Anshari, Fathu al-Wahhab Sharh Manhaj al-Thullab, juz. 1, hlm. 344.

[5] Jamal Ma’mur Asmani, Metodologis Fiqh Sosial Dari Qouli Menuju Manhaji, (Fiqh Sosial Institute STAI Mathali’ul Falah, Pati, 2015), hlm. 119.

Nailil Muna
Santri Pesantren Maslakul Huda Kajen, Pati

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini