Potensial Santri dan Pesantren dalam Menggelorakan Moderasi Islam

Istilah pesantren bisa disebut pondok saja atau kata ini digabungkan menjadi pondok pesantren. Secara esensial, semua istilah ini menggabungkan makna yang sama. Penggunaan gabungan kedua istilah antara pondok dengan pesantren menjadi pondok pesantren, sebenarnya lebih mengakomodasikan karakter keduanya. Namun penyebutan pondok pesantren kurang jami’ ma’ni (singkat padat). Selagi perhatiannya dapat diwakili istilah yang lebih singkat, karena orang lebih cenderung mempergunakan yang pendek. Maka pesantren dapat digunakan untuk menggantikan pondok atau pondok pesantren.

Masih dalam pengertian pesantren, menyimpulkan dari acara Webinar Simposium Nasinoal, Hari Santri Nasional 2020 yang mengusung tema “Revitalisasi Peran Pondok Pesantren dan Perempuan Untuk Kemajuan Bangsa” yang dikemukakan oleh KH. Dr. (HC) Husein Muhammad (Pengasuh Pondok Dar al-Fikr, Arjawinangun, Cirebon) menyampaikan bahwa Pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam. Sebagian orang menyebutnya sebagai pendidikan khas Indonesia. Ia juga dikenal sebagai lembaga pendidikan tradisional yang sangat unik. Meski tradisional tetapi pandangan-pandangannya acap sangat moderat, bahkan kadang progresif. Oleh karena itu, identifikasi atasnya secara ketat sangat sulit. Sebagian orang menyebutnya “ambigu”.

Dalam tradisi pesantren, kitab-kitab kuning merupakan sumber referensi utama untuk menjadi landasan berpikir dan bertindak dan pengambilan keputusan hukum. Kitab Kuning adalah karya para ulama besar. Karya-karya itu tentu didasarkan pada dalil-dalil Al-Qur’an maupun Hadits Nabi Saw. Oleh karena itu, kitab-kitab ini selalu diterima oleh para santri, tanpa reserve sebagai kebenaran dan kebaikan yang datang dari agama. Semua pendapat para ulama yang tertulis dalam kitab kuning pastilah untuk kebaikan masyarakat. Begitu banyak pandangan di masyarakat Pesantren.

Dalam penelitiannya tantang kitab kuning, Martin Van Bruinessen (1999) berhasil menghimpun sekitar 900 kitab kuning yang berbeda-beda. Kitab tersebut 500 karya berbahasa arab, 200 karya berbahasa Melayu, 120 karya berbahasa Jawa, 35 berbahasa sunda, 25 karya berbahasa Madura, dan 5 karya berbahasa Aceh. Diantara kitab-kitab tersebut terdapat sekitar 100 kitab yang populer sebagai kurikulum pesantren.

Menurut Suryadharma Ali, kitab kuning merupakan trade mark pesantren. Kitab kuning menjadi pengetahuan yang kontemporer karena kitab kuning masih sangat relevan untuk dijadikan rujukan.

Tolhah Hasan melakukan analisis terhadap budaya kitab kuning yang ada di pesantren, ternyata bisa diterapkan di tengah-tengah kehidupan masyarakat modern ini. Menurutnya, bukan sekarang saja kontekstualisasi terjadi akan tetapi sejak sebelum ada kitab kuning sampai kitab kuning ada, usaha untuk menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat telah terjadi. Kontekstualisasi kandungan kitab kuning menjadi penting. Pertama, adanya perubahan sistem sosial budaya. Kalau hal ini tidak diperhatikan maka masyarakat tidak akan lagi tertarik dengan pesantren. Kedua, terjadinya realitas kepentingan umat. Ketiga, adanya temuan baru dalam IPTEK. Dulu ulama berijma’ bahwa bumi ini tidak bergerak kecuali bila ada faktor lain. Kalau pemahaman ini tidak dikontekstualisasikan, maka kitab kuning tidak akan menarik untuk dipelajari. Keempat, adanya tantangan baru yang dihadapi umat. Maka, perlu ada kesepakatan baru para ulama tentang dua hal terakhir ini.

Perkembangan istilah santri tidak bisa lepas dari sebuah dorongan yang kuat dari masyarakat untuk belajar pengetahuan agama kepada seorang yang di anggap sarat keahlian dalam bidang agama. Karena pada perkembangannya istilah santri selalu identik dengan seseorang yang mempunyai motivasi belajar agama Islam baik itu kitab-kitab kuning ataupun sumber-sumber belajar lainnya. Sehingga institusi pesantren merupakan sebutan khas untuk pendidikan Islam di Indonesia.

Dalam hal pendidikan, pesantren mendasari empat semangat di dalam jiwa sanubari santri. Pertama, Ruh al-Tadayun (semangat beragama yang dipahami, didalami dan diamalkan). Kedua, Ruh al-Wathoniyah (semangat cinta tanah air). Ketiga, Ruh al-Ta’addudiyah (semangat menghormati perbedaan) dan keempat, Ruh al-Insaniyah (semangat kemanusiaan).

Keempat semangat ini selalu melekat dalam jiwa santri karena pesantren senantiasa menjadikan empat pilar tersebut dalam proses pendidikan dan pembelajarannya. Sehngga sistem pendidikan pesantren sangat layak untuk dijadikan sistem pendidikan di Indonesia, sebab pesantren telah membuktikan alumni-alumninya bisa menjadi teladan (uswah) di dalam sosial masyarakat.

Secara mendasar peranan Pondok Pesantren yang lebih fungsional dan berpotensi pada kemajuan negeri antara lain; Pertama, sebagai pusat kajian Islam. Tak ubahnya timur tengah, Pondok Pesantren pun merupakan lembaga pendidikan yang mendalami dan mengkaji berbagai ajaran dan disiplin ilmu pengetahuan agama Islam melalui buku-buku klasik atau modern berbahasa arab. Dengan demikian secara tidak lansung Pondok Pesantren telah menjadikan posisinya sbagai pusat pengkajian masalah keagamaan Islam untuk kemajuan negeri.

Kedua, sebagai pusat pengembangan dakwah. Dakwah Islamiyah merupakan hal pokok yang menjadi tugas Pondok Pesantren untuk dilakukan, karena pada awal berdirinya Pondok Pesantren, dakwah merupakan landasan pijak yang dipakai oleh para kyai dan ulama. Dalam upaya mencapai tujuan, Pondok Pesantren menyelenggarakan kegiatan pengajian atau tafaqquh fi al-din yang dimaksudkan agar para santri mengerti dan paham secara integral tentang ajaran dan pengetahuan agama Islam, memiliki kepribadian toleransi yang kuat, serta cinta tanah air.

Pesantren sesungguhnya bisa mengambil peran yang lebih besar daripada apa yang telah diperbuatnya selama ini. Sejarah menempatkan pesantren pada posisi yang cukup istimewa dalam khazanah dinamika sosial budaya Indonesia. Tidak berlebihan jika KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur) memposisikan pesantren sebagai subkultural tersendiri dalam masyarakat Indonesia, sebab pesantren merupakan elemen determinan dalam struktur piramida sosial masyarakat Indonesia.

Benar adanya bahwa tugas pokok yang diemban pondok pesantren selama ini adalah mewujudkan umat muslim Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. (IZ)

M Rofii
Santri Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan, Mahasiswa STAI Syaichona Moh. Cholil Bangkalan.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini