Selain koran atau majalah, buku ialah media paling pas perihal menyuratkan ilmu kepada masyarakat. Lebih-lebih dengan bentuknya yang minimalis, psikologi mereka akan mudah tertarik terutama karena tabiat manusia yang cenderung menyukai hal-hal praktis.
Atas dasar kepraktisan itu, tidak ayal hampir seluruh aktivitas mereka didominasi serba-serbi instan. Dari pola makan, misanya. Roti atau mi instan lebih mereka pilih jadi menu cadangan ketika mulai malas. Juga karena memang harganya yang sangat terjangkau—dalam arti meminimalisir pengeluaran gocek mereka.
Kejadian senada terjadi dalam jagat literasi. Dewasa ini banyak dari penulis menyuarakan keresahan mereka soal maraknya pembajakan buku. Mereka dengan lantang mengajak masyarakat agar tidak melakukan tindak pembajakan. Ada yang menulisnya melalui artikel sarat satire, ada pula yang bersuara lewat video, meme atau postingan di medsos mereka dengan narasi yang pro terhadap gerakan anti bajak.
Pembajakan buku tidak hanya berdampak pada penulis. Pihak lain seperti penerbit akan mengalami kerugian dengan nominal sangat tinggi. Pasalnya, hasil penjualan mereka akan kalah meriah dengan produk buku bajakan yang umumnya dibanderol dengan harga rendah. Sehingga acap kali terjadi ketimpangan disebabkan selisih harga yang begitu jauh. Tentu, dengan watak konsumen yang menyukai hal praktis, produk bajakan itu akan laku besar ketimbang produk original dari penerbit yang dicap banyak menguras isi dompet.
Dalam tinjauan islam, yakni fikih, tindak demikian sangat tidak dibenarkan. Tidak seorangpun ulama mentolelir pembajakan ini bahkan pendapat kuat mengkategorikan dosa besar (minal kabair). Agaknya, pembajakan buku tergolong perbuatan gasab. Pada umumnya redaksi fikih—seperti Fath al-Mu’in yang banyak dikaji di pesantren—mengartikan gasab sebagai tindak eksploitasi (istiila’) terhadap hak atau manfaat milik orang lain. Dalam hal ini penulis dan penerbit menjadi pemilih hak penuh terhadap buku-buku. Tak seorangpun boleh mendayagunakan hak itu dengan cara mendistribusikan atau menerbitkan ulang tanpa lisensi dari pemilik. Jika kemudian ada setan yang mencoba menjarah hak itu, maka selain harus menambal kerugian penulis-penerbit, dia juga berhak ditindak sesuai undang-undang pelanggaran Hak cipta pasal 113 Nomor 28 Tahun 2014.
Oleh karena pembajakan adalah tindakan gasab, tentu harus dihindari siapapun kapanpun. Sementara dampak yang timbul tidak hanya berat pada penulis atau penerbit melainkan kepada lingkar yang lebih besar dari itu, yakni, nasib literasi bangsa. Dengan maraknya pembajakan buku, keaktifan serta produktivitas penulis yang mengharuskan sinkron dengan penerbit akan terkubur sehingga yang terjadi adalah krisis minat literasi.
Jika pembajakan itu terus berlanjut, pegiat literasi barang tentu akan segera desersi dan anasir pembajak makin tumbuh subur. Siapapun, seyogyanya lazim memperjuangkan gerak anti pembajakan dengan membeli atau menjual produk original demi berlangsungnya nafas literasi.
Di antara oknum jahat yang bertindak ala setan itu, tentu ada pihak lugu yang sebetulnya tidak punya motif licik akan tetapi hanya berlaku sebagai figuran. Antara lain mereka yang masih menginginkan literasi tetap tumbuh—bahkan mendukung penuh—namun jalan yang mereka lewati keliru, yakni dengan tetap menjual barang-barang imitasi (Kw 1 dan seterusnya). Atau mereka yang semata menjual komoditas itu tanpa mengerti kualitas barang-barang yang ia jual. Tentu anasir semacam ini punya maksud baik; menginginkan literasi berlanjut akan tetapi keliru dalam bersikap.
Dengan latar demikian, orang-orang lugu seperti itu bukan kategori mereka yang sengaja melakukan pembajakan. Menimbang bahwa masih ada niat putih untuk menghidupi nyala literasi. Tentu, ada sikap lain yang patut disendirikan dari oknum-oknum bermotif licik. Dalam hal ini, ulama bertindak tegas. Imam Zainuddin Al-Malibari menukil pendapat Imam Al-Baghawi dalam bersikap. Dikatakan bahwa bertransaksi dengan komoditas yang nampak halal namun hakikatnya haram—menjual barang gasab (buku bajakan) adalah haram—maka berdosa jika mengerti pihak bersangkut tidak wenang atas barang itu. Dan tidak berdosa jika menanggap lawan transaksi memang punya hak.
Sementara dewasa ini hampir mustahil masyarakat kesulitan memilah mana produk asli dan tidak. Dengan mengamati dan membandingkan harga, misalnya, kualitas barang tentu bisa dilacak keasliannya. Namun bagi yang telanjur ‘sial’ mendapat produk imitasi padahal tidak menginginkan demikian, maka dengan penuh kesadaran agar mau menahan; bukan malah menasarufkan sesuai nafsu. Salam Literasi!. [HW]