Kitab Futuh al-Ilahiyyah Karya Syaikh Siraj Garut

Menemukan Harta Karun Warisan Ulama Sunda yang Lama Hilang: Kitab “Futuh al-Ilahiyyah” Karya Syaikh Siraj Garut Makkah Bertahun 1925

————————————————-
Sekitar tahun 2016 lalu, saya pernah mengulas biografi seorang ulama besar Makkah yang ahli ilmu qiraat sekaligus juga pelantun al-Quran di Masjidil Haram dan stasiun radio al-Quran milik pemerintah Kerajaan Saudi Arabia. Ulama tersebut adalah Syaikh Siraj Garut (Sirâj b. Muhammad b. Hasan Qârût al-Makkî, w. 1390 H/ 1970 M).

Syaikh Siraj Garut lahir di Makkah pada tahun 1313 H (1895 M) dari keluarga ulama asal Garut yang telah lama bermukim di Makkah. Ketika berusia 13 tahun (1908 M), Siraj pergi ke kampung leluhurnya di Garut sekaligus belajar di beberapa pesantren di Tatar Sunda selama beberapa tahun lamanya.

Di antara pesantren yang sempat ia singgahi adalah pesantren Balong, pesantren Cimasuk dan pesantren Fauzan (ketiganya berada di Garut dan masih terhubung sebagai keluarga Syaikh Siraj). Pesantren-pesantren tersebut hingga saat ini pun masih ada.

Setelah beberapa tahun berada di Nusantara, Siraj kemudian kembali ke Makkah dan melanjutkan pengembaraan intelektualnya di sana. Siraj lebih spesifik menekuni bidang ilmu Qiraah al-Quran. Di Makkah, ia pun belajar pada Masyâyikh al-Qurrâ pada zamannya, seperti Syaikh al-Ghamrâwî, Syaikh Ma’mûn al-Bantanî al-Jâwî dan Syaikh Ahmad al-Tîjî.

Syaikh Siraj kemudian mendapatkan lisensi (ijâzah) untuk mengajar ilmu Qiraah di Masjid al-Haram dan di kediamannya yang terletak di distrik (hay) al-Qusyâsyiyyah. Beliau juga didaulat untuk menjadi muqrî (pelantun al-Quran) yang dilantik resmi oleh Kerajaan Saudi Arabia dan rutin melantunkan al-Quran di Masjid al-Haram setiap harinya.

Pada tahun 1369 H (1949 M), ketika Stasiun Radio Kerajaan Saudi Arabia didirikan, Syaikh Siroj pun diangkat menjadi Muqrî al-Qur’an di sana lantunan bacaan al-Qurannya yang tartil dan merdu pun direkam dan diputar berulang-ulang. Di sana beliau bersama-sama dengan Syaikh ‘Umar Arba’în, Syaikh Muhammad Nûr Abû al-Khair, Syaikh Zakî al-Daghastânî, Syaikh Musaddad Qârût (asal Garut, Jawa Barat), Syaikh Zainî Bawiyân (asal Bawean, Jawa Timur), Syaikh Jamîl Âsyî (asal Aceh), dan lain-lain.

Ulasan tentang sosok Syaikh Siraj Garut dapat disimak pada tautan berikut ini:
https://www.nu.or.id/post/read/72944/ajengan-siroj-garut-syaikh-al-qurra-makkah-asal-pasundan

* * * * *
Orang tua Syaikh Siraj Garut adalah Syaikh Muhammad Garut, yang sosoknya pernah dijumpai oleh Snouk Hurgronje saat ia berada di Makkah pada tahun 1885. Jejak tentang Syaikh Muhammad Garut juga terekam dalam buku Snouck yang berjudul “Mekka” (dipublikasikan pada tahun 1888). Syaikh Muhammad Garut sendiri adalah putra dari Ajengan Hasan Basori Kiarakoneng, Suci, Garut.

Terkait Syaikh Muhammad Garut ini, Snouck mendeskripsikan sosoknya sebagai ulama besar Sunda yang mengajar di Makkah dengan reputasi keilmuan yang tinggi. Syaikh Muhammad Garut juga terbilang sebagai penyambung koneksi keilmuan antara Makkah dengan Sunda (Priangan) yang penting. Ia mengajar di Masjidil Haram dan membuka kelas keilmuan Islam di rumahnya yang terletak di Jabal (gunung) Abû Qubays, Makkah. Oleh karena itu pula, bagi kalangan orang-orang Sunda di Makkah, Syaikh Muhammad Garut lebih dikenal dengan julukan “Mama [Ajengan] Jabal”. Sementara dalam beberapa sumber yang lain, sosok Syaikh Muhammad Garut juga dikenal dengan sebutan “Ajengan Balong” atau “Ajengan Cibunut” (merujuk pada kampung dan pesantren asalnya di Balong, Cibunut, Garut).

Baca Juga:  Inilah Harta Karun Berharga

Syaikh Muhammad Garut memiliki beberapa anak yang lahir di Makkah. Di antara mereka adalah Syaikh Salim b. Muhammad Garut, Syaikh Abdullah Manshur b. Muhammad Garut, Syaikh Ahmad b. Muhammad Garut, Syaikhah Khadijah bt. Muhammad Garut, dan yang paling terakhir adalah Syaikh Siraj b. Muhammad Garut yang sedang kita bicarakan ini.

* * * * *
Syaikh Siraj Garut ternyata memiliki beberapa karya tulis. Di antara karya tulis beliau yang sampai kepada saya adalah kitab “Futûh al-Ilâhiyyah fî Bayân al-Tahlîl wa al-Ad’iyyah”. Saya mendapatkan pindaian kitab ini dari sahabat saya Ustadz Muhammad Abid Muafan, yang mana ia sendiri mendapatkannya dari KH. Abdul Qadir b. Eumed Ahmad, pengasuh pesantren Cimasuk, Garut, Jawa Barat.

Kitab “Futûh al-Ilâhiyyah” ditulis dalam bahasa Sunda aksara Arab (Sunda Pegon) dan berisi himpunan bacaan tahlilan dan bacaan doa-doa lainnya. Kitab ini dicetak dalam format tipografi (cetak huruf baris) oleh Mathba’ah al-Taraqqî al-Qârûtiyyah yang berbasis di Garut milik Haji Muhammad Suyuthi. Tahun cetak kitab berangka 1344 Hijri (1925 Masehi).

Merujuk pada tahun kelahiran Syaikh Siraj Garut, yaitu 1895, dan tahun cetak kitab ini, yaitu 1925, maka dapat dikatakan jika kitab ini ditulis oleh Syaikh Siraj Garut ketika beliau berusia 30 tahun.

Jumlah keseluruhan halaman kitab “Futûh al-Ilâhiyyah” adalah 18 (delapan belas) halaman. Pada halaman terakhir, terdapat sebuah pasal yang membahas tentang masalah hitung-hitungan ilmu astronomi (falak) yang berkaitan dengan penentuan awal bulan Syawal.

Tertulis pada halaman sampul kitab:

هذا// كتاب فتوح الالهية في بيان التهليل والادعية تݢسنا/ اي كتاب انو دي ڠرانن كلوان فتوح الالهية مرتيلاكن/ تهليل جڠ فراڠ٢ دعاء توقيلان كؤلانا الله أنو لوه/ هينا محمد سراج ابن المرحوم أجڠن چي/ بونوة ݢاروت غفر الله له/ ولوالديه والمسلمين/ آمين

(Ini// Kitab “Futûh al-Ilâhiyyah fî Bayân al-Tahlîl wa al-Ad’iyyah”, yaitu/ Ini kitab yang dinamakan dengan “Futûh al-Ilâhiyyah” menjelaskan/ tahlil dan beberapa doa, dihimpun oleh hamba Allah yang sangat/ hina Muhammad Siraj anak almarhum Ajengan/ Cibunut Garut, semoga Allah mengampuninya/ juga kedua orang tuanya dan seluruh umat Muslim/ Amin)

Baca Juga:  Warisan Intelektual Ulama Sunda: Manuskrip Kitab "al-Asfar"

Pada bagian berikutnya tertulis keterangan berikut:

اي كتاب هنت كيڠيڠ ڽيتك اڠيڠ كلوان اذن جسم كوريڠ/ ڠران محمد سراج ابن اجڠن چي بونوت دي فسنترين چي/ ماسوك ݢاروة سرتا كلوان چاف

(Ieu kitab henteu kenging nyitak anging kalawan izin jisim kuring/ ngaran Muhammad Siraj bin Ajengan Cibunut di Pasantren Cimasuk Garut sarta kalawan cap [Kitab ini tidak boleh dicetak kecuali dengan izin saya yang bernama Muhammad Siraj putra Ajengan Cibunut di Pesantren Cimasuk Garut, serta dengan adanya cap-stempel]).

Pada tepi bagian tulisan di atas ini, terbubuh cap-stempel milik Syaikh Siraj Garut. Tertulis pada cap-stempel tersebut:

أچيڠ سراج/ بن أجڠن چي/ بونوت/ ۱۳٤۱

(Aceng Siraj/bin Ajengan Cibunut/1341 [Hijri/1922 Masehi])

Sementara itu, dalam muqaddimah kitab, Syaikh Siraj menulis:

أما بعد. اري سڠݢس كيتو منك اي هج كتاب لتك مرتيلاكن فرتڠكه تهليل جڠ دعاء انو سوك دي بچا سبعد تهليل انو كلون رڠكس تݢسنا مچا دعاء ايت تيه لمون هنت تولوى مچا برزنجي سبعد تهليل

(Ammâ ba’du. Ari saenggeus kitu mangka ieu hiji kitab leutik mertelakeun partingkah tahlil jeung doa anu sok dibaca sabakda tahlil anu kalawan ringkes. Tegesna maca do’a eta teh lamun henteu tuluy maca Barzanji sabakda tahlil [Ammâ ba’du. Adapun setelah itu semua, maka ini adalah sebuah kitab yang kecil yang menjelaskan perkara tahlil dan doa yang biasa dibaca setelah tahlil dengan ringkas. Tegasnya, membaca doa tersebut jika tidak dilanjutkan dengan membaca Barzanji setelah tahlil)

* * * * *
Bagi saya sendiri, “penemuan” kitab ini membukakan beberapa pintu informasi dan data sejarah yang sangat penting, yang selama ini tertutup rapat. Data dan informasi tersebut terkait sejarah perkembangan Islam di Tatar Sunda pada peralihan abad XIX ke XX.

Di antara data sejarah tersebut adalah keberadaan genealogi Syaikh Siraj Garut sebagai putra dari Syaikh Muhammad Garut (Mama Ajengan Jabal atau Ajengan Cibunut). Biografi Syaikh Siraj Garut, sebagai seorang guru besar ilmu Qiraat di Makkah dan pelantun al-Quran di Masjidil Haram, banyak tertulis dalam sumber-sumber berbahasa Arab, pun demikian halnya selintas biografi Syaikh Muhammad Garut, sang ayah, sebagiannya tertulis dalam sumber-sumber Belanda (Snouck Hurgronje).

Di samping itu, Syaikh Siraj Garut juga terkoneksi dengan jaringan ulama-ulama Sunda yang berhaluan tradisionalis (Aswaja). Di antara keluarga dan guru-guru beliau di Jawa Barat adalah para ulama yang secara ideologis berhaluan tradisional, seperti Ajengan Umar Basri dari pesantren Fauzan (nama beliau disebut pada halaman terakhir kitab “Futûh al-Ilâhiyyah” ini). Pesantren Fauzan saat ini menjadi basis terpenting jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) di Garut dan di Jawa Barat secara umum.

Baca Juga:  Warisan Intelektual Ulama Sunda, Surat “Istiftâ” Berbahasa Arab dari Sumedang Kaum di Majalah “al-Imtisal” Bertahun 1927

Selain hal di atas, Syaikh Siraj Garut juga ternyata memiliki karya bukan hanya dalam bidang ilmu Qiraat yang ditekuninya. Kitab “Futûh al-Ilâhiyyah” karyanya ini berisi bacaan tahlil dan himpunan doa, sekaligus sedikit kajian bidang ilmu astronomi. Kitab “Futûh al-Ilâhiyyah” ini juga menuntun kita pada sebuah informasi lain, yaitu tradisi keberislaman yang berkembang di Garut dan juga di Makkah pada waktu itu, dalam hal ini adalah tradisi membaca “tahlilan”, doa bersama, dan juga membaca (kitab maulid) Barzanji. Tradisi-tradisi ini di kemudian hari dicap sebagai tradisi “bid’ah” yang sesat oleh kelompok puritan-modernis yang banyak berkembang di Jawa Barat, di antaranya adalah Majelis Ahlu Sunnah Cilame (MASC) yang berbasis di Garut dan dipimpin oleh Anwar Sanoeci (berdiri tahun 1929), juga Persatuan Islam (PERSIS) yang berbasis di Bandung dan dipimpin oleh A. Hassan (berdiri 1923).

Aspek sejarah lainnya yang tak kalah penting yang termuat dalam kitab “Futûh al-Ilâhiyyah” karya Syaikh Siraj ini adalah aspek sejarah keberaksaraan (literacy) cetak karya-karya ulama Sunda. Kitab tersebut dicetak oleh “Mathba’ah al-Taraqqî al-Qârûtiyyah” milik Haji Muhamad Suyuthi yang berbasis di Garut. Hal ini menunjukkan keberadaan sebuah aktivitas percetakan kitab-kitab keislaman yang ternyata eksis di Garut pada awal abad ke-20, hal yang selama ini sering luput dan terlupakan oleh banyak para pengkaji.

Percetakan yang membawa nama “al-Taraqqî al-Qârûtiyyah” tersebut juga sekilas memungkinkan adanya hubungan dengan percetakan (mathba’ah) “al-Taraqqî al-Mâjidiyyah” yang berbasis di Makkah dan didirikan oleh Syaikh Mâjid b. Shâlih al-Kurdî pada tahun 1327 H (1909 M). Mâjid b. Shâlih al-Kurdî sendiri adalah adik ipar dari Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau (w. 1916), seorang ulama besar Makkah asal Minangkabau, imam dan khatib Masjidil Haram, sekaligus pengarang banyak kitab.

Nama antara kedua percetakan di atas sangat mirip, yaitu “al-Taraqqî al-Qârûtiyyah” dan “al-Taraqqî al-Mâjidiyyah”. Percetakan “al-Taraqqî al-Mâjidiyyah” banyak mencetak kitab-kitab karya ulama Nusantara yang berbasis di Makkah, termasuk di antaranya adalah kitab-kitab berbahasa Sunda Pegon karya Syaikh Mukhtar Bogor (w. 1930), seorang mahaguru ulama Sunda di Makkah. Wallahu A’lam. [HW]

Ahmad Ginanjar Sya'ban
Alumnus Mahasiswa Al Azhar, Dosen UNUSIA Jakarta, dan Peneliti Ulama Islam Nusantara.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Kitab