Melewati fase quarter life crisis akan banyak menemui halang rintang. Antara keresahan, impian, dan rencana kadang tidak selaras. Namun, apapun hasilnya segala sesuatu mesti tetap diusahakan. Quarter life crisis sebagai fase peralihan dari setengah dewasa, menuju dewasa seutuhnya, dari rentan umur 21 tahun hingga 25 tahun.
Pada fase tersebut, sebagai tonggak awal pembentukan pribadi akan berkiprah pada jenjang karir di masa mendatang. Sedikit kesalahan, dapat berakibat besar bagi keberlangsungan hidup. Fase inilah yang membutuhkan upaya membangun citra positif, bukan hanya sekedar pencitraan apalagi sampai pada kondisi krisis citra.
Antara pencitraan dan membangun citra dua hal berbeda, perlu di berikan pandangan kategorisasi agar tidak fallacy pemahaman. Sumber rujukan utama menulis ini, ketika melakukan diskusi bersama seorang dosen mantan aktivis pada masanya. Melihat realita masa pandemi, mahasiswa mulai goyah, cukup abai untuk memperhatikan citra.
Dosen tersebut, pada masanya acap mendapat justifikasi sebagai mahasiswa yang suka pencitraan lantaran sering mampang nama pada dinding kampus. Padahal, ucap beliau pencitraan dan membangun citra, apalagi krisis citra memiliki perbedaan.
Membangun citra itu relevan dengan kenyataan, dan berbanding lurus pula akan usaha yang dilakukan. Sederhananya, jika dinarasikan pada kondisi pandemi. Di tengah kecamuk alasan mahasiswa untuk tidak produktif, lantaran berbagai aspek tidak mendukung. Bagi yang membangun citra itu bukan alasan. Membangun citra sebagai sebuah kondisi atas penilaian kinerja di mata orang lain. Bukan hanya sebatas perbaikan portofolio atau curriculum vitae. Meski perlu diakui kualifikasi untuk masuk pada dunia kerja berbanding lurus dengan usaha serta membangun citra di mata publik.
Pencitraan merupakan pengejawantahan dari membangun citra. Pencitraan berbanding terbalik dengan membangun citra. Sederhananya, dalam kondisi pandemi ini, ada sosok mahasiswa yang menggembar-gemborkan perihal kepentingan pribadi namun diselipkan pada kepentingan umum. Keinginan untuk terlihat baik di mata di muka umum, tidak selaras akan usaha yang dilakukan.
Jika dilihat secara tekstualis merujuk pada kamus besar bahasa Indonesia (KBBI). Dua hal ini nyatanya relevan, meski secara praktik dari hasil pembicaraan dengan seorang dosen itu dinyatakan berbeda. Tergantung pada praktik di saat berada di lapangan.
Krisis citra, sebagai kondisi negasi dari kedua hal tersebut. Krisis citra terarah pada keadaan seseorang yang pasrah pada kondisi. Pandemi telah membunuh segala usaha melewati fase quarter life crisis. Keadaan ini bukan harapan tentu, mengingat beberapa tahun mendatang Indonesia telah merancang gold great generation. 2040 akan menjadi bonus demografi apabila pemudanya mampu membangun citra baik. Pandemi covid-19, nyatanya bukan halangan untuk berupaya membangun citra. Apapun usaha remeh temeh yang dilakukan, akan berguna meski entah kapan.
Politik Pencitraan
Pada kelas global, kata pencitraan dan membangun citra identik dengan dunia politis. Pencitraan sebagai suatu laku tidak sehat guna meraup simpatis publik. Berkontradiksi dengan membangun citra, sebab membangun citra membutuhkan proses matang, dan tidak hanya dilakukan saat menjelang tahun politik saja.
Yasraf Amin Piliang menyatakan bahwa momen kebenaran telah tergantikan oleh momen citra. Politik terperangkap dalam permainan bebas citra dan teks, sehingga politik kehilangan pondasinya. Sebagai homo politics, melepas diri dari politik sama saja melepaskan hidup. Politik sebagai seni, bukan kontrol demi meraih kepentingan terselubung.
Pencitraan identik dengan personal branding politisi menjelang pemilihan umum. Tendensi untuk meraup suara publik agar memenangkan percaturan politis dengan lawan politik. Kondisi ini memunculkan calon ketokohan, sehingga masyarakat terdorong memilih karena tokoh bukan kualitas dan rancangan program. Membangun citra, bukan berorientasi pada kepentingan politik. Murni sebagai personal branding yang didapatkan karena pencapaian karir akademis, struktural, maupun organisasi.
Namun, antara pencitraan dan membangun citra masih cukup relevan terpakai di dunia politik. Yang cukup melenceng saat krisis citra. Terlepas dari kepentingan politis, struktural, organisasi, atau pribadi membangun citra penting, karena berhubungan pada pemunculan stigma di benak orang lain. [HW]