Bangkit Dibalik Keterbatasan

Umumnya orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, emosi dan sosial dalam penampilannya seringkali dibarengi dengan apologi. Tidak bisa melihat atau buta, tidak bisa berjalan karena salah satu atau kedua kaki atau tangannya cacat, atau keterbatasan lainnya terus meminta-minta di perempatan jalan atau dari rumah ke rumah. Secara selintas perilaku ini bisa dimaklumi. Namun bagi siapapun yang cacat seperti tersebut yang memiliki hati dan spirit terpuji, mereka tidak berhenti berusaha untuk mengeksplorasi potensinya, sehingga mereka bisa hidup mandiri baik secara ekonomi maupun sosial.

Individu yang cacat atau berkebutuhan khusus itu ada yang tingkat tingkat berat, menengah dan ringan. Ada yang mereka yang tidak bisa mengatasi hidupnya sendiri dan bergantung orang lain, setengah tergantung dan setengah mandiri serta ada yang mandiri. Soal kemandirian umumnya tergantung pada tingkat berat dan ringannya. Namun ada yang cacat tingkat berat pun bisa mandiri. Demikian pula ada yang tingkat ringan tapi hidupnya tergantung. Semuanya itu akhirnya kembali kepada yang bersangkutan, di samping peran lingkungan yang bisa membuat mereka bisa hidup mandiri.

Kecacatan pada seseorang itu bisa dibawa sejak lahir. Ada juga yang didapat ketika kelahiran dan setelah lahir. Yang dibawa sejak lahir memang ada sifat keturunan yang dibawa oleh orangtuanya dan ada juga akibat konsumsi obat yang mengandung unsur kimia atau benturan yang terjadi ketika hamil, apakah jatuh atau atau lainnya, sehingga mengganggu embrio yang masih ada dalam kandungan. Adapun kecacatan yang diperoleh waktu kelahiran sebagai akibat dari benturan alat bantu untuk proses kelahiran atau lainnya. Demikian juga kecacatan setelah lahir bisa akibat dari pengaruh fisik atau non fisik yang berupa jatuh atau kecelakaan, atau makan yang mengandung racun atau lingkungan sosial yang kurang kondusif, bisa lingkungan jahat dan maksiat serta media masa yang tak sehat.

Baca Juga:  Mengapa Nabi Isa As Diturunkan Kembali di Akhir Zaman?

Pada kenyataannya individu yang cacat cenderung di-victimize oleh masyarakat. Anggota masyarakat menganggap mereka yang cacat itu tak berdaya (powerless). Mereka terkurangi atau terhilangkan kapasitas fisik dan mentalnya. Bahkan ekstrimnya, kehadirannya dipandang sebagai “laskar tak berguna”, atau “anggota masyarakat yang terbuang”. Padahal tidak sedikit ditemui ada sejumlah orang cacat yang mampu tunjukkan kemampuan atau kelihaiannya dalam hal tertentu, apakah di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, atau keagamaan. Mereka yang cacat itu pada hakekatnya memiliki human right, yang wajib juga dilindungi dan dijaga serta dihargai. Karena itu tidak ada alasan untuk diabaikan atau dibuang. Betapapun terbatas potensinya atau parah kecacatannya.

Untuk menjadi manusia yang bisa eksis dan berkembang, individu yang cacat perlu diterima dengan baik. Mereka perlu diasuh, dilatih, dibimbing, diajar, dan dididik dengan baik. Mereka perlu diakses potensinya sedini mungkin, perlu dilayani sesuai dengan kebutuhannya, perlu dibantu menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Dari berbagai perlakuan, ada anak cacat yang tumbuh dan berkembang serta berhasil dengan baik. Ada juga yang gagal dan tidak menunjukkan hasil yang terbaik. Individu cacat yang berhasil mengeksplorasi potensi dan menampilkan prestasi yang membanggakan, kadang-kadang hasilnya tidak hanya layak untuk dipamerkan saja, melainkan juga sangat layak dipasarkan dengan harga dan nilai yang sangat baik. Mereka juga tampil sangat mandiri dan membanggakan. Mereka tampil sangat mengagumkan, apakah sebagai pemain musik, penyanyi, qari’ atau qari’ah, hafidz atau hafidzah, programmer, dan sebagainya. Yang kadang-kadang melebihi dari kita yang normal, sebagaimana dibuktikan anak Autis yang hafal 30 juz Al-Qur’an. Untuk mewujudkan potensi anak-anak cacat, sangat diperlukan pendidikan kompensatif, pembelajaran dengan pendekatan task analysis, pembiasaan (habituating), dan scaffolding, yang bertumpu pada kurikulum dan pembelajaran berdiferensiasi. Di samping kasih sayang dan kesabaran yang luar biasa.

Baca Juga:  Muhammadkah Aku, Muhammadkan Aku

Kepada yang cacat dan memiliki prestasi yang gemilang perlu mendapatkan penghargaan dan rekognisi yang selayaknya. Dengan penghargaan yang layak dan tak berlebihan akan bisa membuat mereka bisa mempertahankan capaiannya dan memajukan prestasinya. Insentif yang baik dan sehat sangat positif pengaruhnya terhadap kinerja anak berkebutuhan khusus itu. Namun jika kita tidak peduli atau tidak memberikan apresiasi yang memadai, boleh jadi bisa men-discourage mereka.

Tidak semua anak cacat atau berkebutuhan khusus itu memiliki semangat yang baik, dan berada di lingkungan yang kondusif atau mendukung serta memfasilitasi. Akibat yang didapat, mereka gagal hidupnya. Mereka sangat menggantungkan diri kepada lingkungan dan membebani sepenuhnya lingkungan keluarga dan masyarakat. Apapun kondisinya mereka tetap manusia. Kita perlu eksplorasi potensi yang ada, sehingga minimal mereka bisa mandiri dalam kehidupan sehari-hari.

Di sinilah sangat diperlukan kepedulian total orangtua, masyarakat, dan pemerintah baik secara sendiri-sendiri maupun secara sinergis. Di samping itu perlu program dan tindak afirmatif dari pemerintah dan masyarakat serta dunia usaha dan dunia industri, sehingga perlu perlakuan khusus untuk mereka yang berkebutuhan khusus untuk bangkit dan berikhtiar mengembangkan diri secara optimal. Tindakan mengayomi ini sesuatu yang sangat terpuji dan mampu membangun peradaban manusia. Apalagi yang tidak kalah pentingnya, adalah melakukan pembinaan kehidupan beragama bagi mereka. Walau di dunia belum bisa meraih kebahagiaan optimal, mereka masih punya harapan besar untuk meraih kebahagiaan di akhirat. Bahkan boleh jadi bisa jauh melebihi dari orang yang tinggi jabatan atau kaya raya yang tidak taat ibadahnya.

Akhirnya bahwa kehadiran insan yang cacat atau berkebutuhan khusus harus kita apresiasi dan hargai. Mereka adalah makhluk ciptaan Allah swt yang diberi ujian kekurangan, biasanya sekaligus diberi kelebihan. Dengan sikap respek yang akan muncul adalah kelebihan di balik kekurangannya. Karena itu kita harus menjauhkan dari sikap underestimate. Buktinya cukup banyak kasus, cacat fisik, buta, dan autis tapi hafal 30 juz Al-Qur’an, sebaliknya kita yang normal, gelar akademik tertinggi bahkan jabatan fungsional profesor pun banyak yang tidak bisa hafal seperti mereka. Semoga hati kita tetap terjaga sehingga bisa bersikap kepada lebih bijak dan membantu untuk tumbuh kembang mereka. Insya Allah dengan sikap kita yang positif, mereka bisa bangkit, sehingga tidak hanya mampu mandiri dalam kehidupan sehari-hari saja, tetapi bisa mandiri secara ekonomi dan sosial, secara spiritual, sehingga mereka menjadi insan yang bermartabat. Aamiin. [HW]

Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A.
Beliau adalah Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pendidikan Anak Berbakat pada Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. Ia menjabat Rektor Universitas Negeri Yogyakarta untuk periode 2009-2017, Ketua III Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) masa bakti 2014-2019, Ketua Umum Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKhI) periode 2011-2016, dan Ketua Tanfidliyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DIY masa bakti 2011-2016

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah