Ini memang soal klasik dan Muhammadiyah jelas membantah, sebab nilai amal hanya dihitung dari hasil kerja individual bukan kolektif, jadi jangan harap ada kiriman doa dari tetangga sebelah rumah atau teman seperjuangan setelah meninggal kelak.

Bagi santri Muhammadiyah, Prinsip “barang siapa mengerjakan amal kebajikan maka untuk dirinya sendiri dan seseorang tidak dapat memikul dosa orang lain’ dipegang kukuh —-inilah salah satu prinsip puritanisme di samping taawwun: kerja keras, kompetitif, hemat, suka membantu dan suka memberi.

Belum ada kajian khusus apakah puritanisme di kalangan santri Muhammadiyah memiliki kemiripan dengan Protestan Ethics yang digagas Webber, satu sikap puritan yang melahirkan kapitalisme dan liberalisme di Eropa paruh pertama abad 20 kala itu.

Maka pertanyaan mengemuka: benarkah cara beragama Muhammadiyah sangat indvidualistik ? Bahkan cenderung egois sebab apapun amal yang dilakukan cenderung berpulang pada dirinya sendiri.

Jargon berlomba-lomba berbuat bajik (fastabiqul khairat) dimaknai sebagai ikhtiar personal untuk mendapat banyak maslahat, pun dengan prinsip sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi manusia lainnya (khairun nas anfa’ahum lin-nas) juga kurang lebih sama.

Yaitu perbuatan perbuatan individual yang diperuntukkan bagi banyak orang. Prinsip-prinsip puritanisme di kalangan santri Muhammadiyah memang melahirkan ghirah, semangat kompetitif, egaliter dan menghapus kelas agama.

Karena itu puritanisme juga menghapus hierarki kepatuhan, status sosial dan keistimewaan nasab, sebab semua orang dilihat setara. Kedudukan seseorang dilihat dari ketakwaan sebagai representasi prestasi tertinggi—bukan atas dasar nasab atau keturunan.

Hal mana berbeda dengan fenomena keberagamaan umat Islam keseluruhan yang secara dialektik justru mengambil posisi berbalik. Di NU misalnya, prinsip jamaah dan tanggung renteng demikian kental mewarnai persepsi teologis yang dibangun secara utuh.

Baca Juga:  Sebelum Lahir, Mbah Maimoen Sudah NU

Prinsip saling memberi syafaat misalnya, bahkan termasuk prinsip (khusushan Ila ruuhi) adalah ikhtiar saling berkirim pahala kebaikan dan pemaafan kolektif agar bisa bergotong royong berbuat kebaikan dan masuk surga, di NU juga menganut prinsip pahala tidak pernah terputus, menjadi sesuatu yang sangat menarik bahkan mungkin menjadi promo yang menggiurkan untuk mendapat banyak pengikut.

Artinya, tradisi NU dan MUHAMMADIYAH ibarat dua mata uang terpisah meski punya irisan yang saling berkait —- sebab prinsip merit sistem individualistik yang ditawarkan Muhammadiyah dan prinsip kolektif gotong royong yang ditawarkan NU adalah hal yang niscaya, —antum tak perlu khawatir sebab kedua cara itu bersanad dan punya sandaran telogis kepada dua pusaka utama al Quran dan Sunah sahihah —pada akhirnya hidup memang pilihan —Wallahu ta’ala a’lam. [HW]

Nurbani Yusuf
Komunitas Padang Mahsyar

    Rekomendasi

    Merdeka Belajar
    Opini

    Merdeka Belajar

    Banyak cara dari kita dalam memperingati hari kemerdekaan setiap 17 Agustus ini, mulai ...

    1 Comment

    1. […] itu dikatakan Prof. Dr. Abdul Mukti, M.Ed., Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dihadapan 80 mahasiswa peserta Pendidkan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat Nasional (DIKLATPIMNAS) […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini