Hari ini, menjelang zuhur, ban sepeda motor saya bocor. Saya menambalnya di Mbah Rofiq. Lokasinya di pertigaan Jemur Wonosari, Wonocolo, Surabaya. Pas di depan pertigaan Alfamart. Usai merampungkan tambalan ban, kami ngopi bareng.
Mbah Rofiq kelahiran Nguling, Pasuruan. Sudah 51 tahun tinggal di Surabaya. Berpindah-pindah. Kerjanya sekarang menjadi tukang tambal ban juga jualan pisang. Kulak pisang mentah di Kediri, menjelang matang dibawa ke Surabaya. Setelah ludes, balik lagi ke Kediri. Ngambil stok pisang. Kalau di Surabaya biasanya tidur di beranda rumah depan Alfamart Jemur Wonosari.
Mbah Rofiq menikah tiga kali. Dengan istri pertama bercerai, istri kedua wafat setelah menikah 34 tahun tanpa momongan, dan dengan istri ketiga dia dikaruniai putra. Jarak usia dengan istri ketiganya 25 tahun. Sekarang usia anaknya 10 tahun. Namanya Badar Agus Mubarok, kelas 4 MI, di Tugu, Purwoasri, Kediri.
Obrolan kami soal makna hidup. Kali ini 80 persen saya menjadi pendengar setia. Mbah Rofiq pernah protes kepada Allah, mengapa dapat mertua kaya tapi galak, hingga akhirnya bercerai. Protes juga tentang takdirnya, sudah menikah puluhan tahun lebih tanpa dikaruniai momongan hingga akhirnya istrinya wafat. Juga ketika setelah menikah kali ketiga rumahnya di Kediri malah kebakaran.
Protes setelah salat tahajud biasanya disampaikan menggunakan “doa yang mengancam”. Merasa tidak terima jika Allah menggariskan takdir demikian untuknya. Tapi, kata Mbah Rofiq, pada akhirnya dia mentok, judeg, sampai pada kesimpulan, hidup pada awalnya bersyukur dan terus bersyukur sampai akhir hidup.
Kesumpekan hidup, lanjut Mbah Rofiq, seringkali bermula pada kurang bersyukur menjalani kehidupan. Terlampau sering mengeluh kepada Allah dan suudzon kepada-Nya, sebagaimana dulu pernah dia alami.
Kini, nasehat dia kepada saya, yang paling enak dan tenang itu menjadi “wong sing akeh syukure“. Semeleh, kata orang Jawa. Meletakkan beban hidup, pasrah kepada Allah. Ikut rel yang digariskan Tuhan. Ketika rasio mentok, akal tidak menjangkau, dan tenaga sudah dikerahkan maksimal, maka totalitas sebagai seorang hamba ini yang difungsikan. Mengosongkan pikiran, membodohkan diri, tidak keminter berhadapan dengan Gusti Allah. Tidak menggurui Sang Maha Pencipta.
Menyimak obrolan dengan tukang tambal ban merangkap penjual pisang ini, saya teringat penjelasan Masyai Ulil Abshar Abdalla ketika ngaji Ihya’ Ulumiddin via YouTube itu. Kata Mas Yai Ulil, ada sebuah hadis yang dikutip berkali-kali oleh al-Ghazali. Bunyinya “Aktsar ahli al-jannati al-bulhu“, sebagian besar orang-orang yang akan masuk surga nanti adalah “al-bulhu“.
Kata al-bulhu adalah bentuk jamak dari ablah yang maknanya, menurut kamus Munjid: orang yang lemah akalnya (dla’ufa ‘aqluhu wa ‘ajaza ra’yuhu).
Makna hadis yang dikutip al-Ghazali di atas itu kira-kira adalah begini: Mayoritas orang-orang yang ada di surga nanti adalah orang-orang yang bodoh, yang lemah akalnya.
Makna hadis ini, lanjut dedengkot JIL (Jamaah Ihya’ Lovers) ini, adalah semacam kritik terhadap “elitisme” intelektual: bahwa kebenaran dan kebijaksanaan yang akhirnya akan membawa orang kepada kebahagiaan abadi di akhirat kelak, bukanlah monopoli kaum “intelek” yang berpendidikan tinggi.
Orang biasa, sangat biasa, badui, awam, memiliki cara masing-masing dalam meraih surga. Karena itu, ketika mereka ini bertanya kepada Kanjeng Nabi, amalan apa yang bisa membuat mereka masuk surga, jawabannya beda-beda. Disesuaikan dengan konteks dan latar belakang penanya. Jika penanya tidak akur dengan orangtuanya, beliau menjawab amalan pengantar ke surga itu bernama berbakti kepada orangtua. Tatkala penanya kurang baik bertetangga, maka Kanjeng Nabi dawuh jika salah satu ciri penghuni surga itu adalah berbuat baik kepada jiran-nya. Jika si penanya merupakan sosok pemarah, maka Kanjeng Nabi dawuh jika salah satu amal utama yang dicintai Allah dan Rasul-Nya adalah menahan amarah.
Dalam salah satu ceramahnya, Gus Baha’ juga mengutip hadis ini. Bodoh di sini bukan goblok. Melainkan, pada titik tertentu manusia memang harus menanggalkan akalnya, rasionya, logikanya, manakala bersiap diri menjadi hamba-Nya. Sebagaimana Ibrahim Alaihissalam diperintah untuk menyembelih Ismail alaihissalam, atau dalam konteks lain, pada saat Sayyidina Umar mencium Hajar Aswad dan pada saat itu terlontar kalimat masyhur dari beliau:
إِنِّى لأُقَبِّلُكَ وَإِنِّى أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ وَأَنَّكَ لاَ تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ وَلَوْلاَ أَنِّى رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَبَّلَكَ مَا قَبَّلْتُكَ
“Sesungguhnya aku mencium kamu dan aku tahu bahwa dirimu adalah batu yang tidak bisa memberikan bahaya, juga tidak bisa mendatangkan manfaat. Andaikata bukan karena aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, maka aku tidak bakalan mencium kamu.”
Ketika mencium Hajar Aswad ini, Sayyidina Umar meletakkan rasionya, serta menggunakan cintanya, karena Rasulullah telah melakukannya. Beliau tidak berpikir secara logika, melainkan meneguhkan kecintaannya, dan melaksanakan apa yang dilakukan oleh orang yang beliau cintai.
*
Kembali ke sosok Mbah Rofiq. Sikap semeleh, tidak neko-neko, tidak berburuk sangka kepada Allah atas takdir yang dijalani, membuatnya enjoy, nyaman, dan tidak terbebani pikirannya. Membodohkan diri di hadapan Ilahi. Tidak keminter melawan Allah. Ini salah satu kunci ayem tentram, menurutnya. Lainnya, apa lagi Mbah? Jangan banyak ambisi, katanya terkekeh.
Lainnya, Mbah?
“Akeh wong pinter, nanging ora ngerti. Akeh wong ngerti nanging ora sadar. Maksute ora eling Karo Gusti Allah, ora eling yen urip mung mampir ngombe.” kata Mbah Rofiq.
Kali ini, Mbah Rofiq terkekeh, saya termenung. [HW]