regulasi agama dan negara di indonesia

Di Indonesia meskipun bukan Negara Islam sebagaimana yang berlaku di beberapa Negara di dunia, namun dalam realisasinya penerapan hukum tidak terlepas adanya hubungan dan korelasi antara agama dan Negara sehingga lahirnya Hukum Keluarga Islam sebagai tawaran untuk menyelesaikan beberapa permasalahan, sebab hukum keluarga dianggap sebagai inti syariah.

Pada hakikatnya bukan dimaksudkan untuk mengajarkan kepada umat Islam agar kelak dalam berumah tangga dapat mempraktekkannya, akan tetapi hukum disini bersifat solutif, artinya hukum Islam memberikan solusi-solusi dalam menyelesaikan permasalahan keluarga yang terjadi. Akan tetapi terkadang, hukum-hukum yang telah ada belum dapat dipahami terkait hikmah dan filsafatnya, sehingga berakibat kepada anggapan hukum Islam yang tidak lagi representatif dalam menyelesaikan perkara perdata keluarga Islam.

Secara historis, berbagai regulasi hukum keluarga di Indonesia dijabarkan secara personal oleh para ulama atas dasar pembacaan dan pembelajaran mereka dari guru-guru mereka. Pada sisi inilah maka progresivitas hukum menjadi terhambat karena penjelasan dari para ulama dianggap sakral dan tidak boleh dipertentangkan apalagi di evaluasi dan direvisi. Tidak bisa dipungkiri bahwa era stagnasi (jumud) ilmu pernah terjadi pada masa lalu akibat sakralisasi masyarakat terhadap ulama, baik pribadinya maupun pemikirannya.

 Di Indonesia, upaya konkret pembaruan hukum keluarga Islam dimulai sekitar tahun 1960-an yang kemudian berujung lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sebelum hukum perkawinan diatur, urusan perkawinan diatur melalui beragam hukum, antara lain hukum adat, hukum Islam tradisional, ordonasi perkawinan Kristen, hukum perkawinan campuran dan sebagainya sesuai dengan agama dan adat istiadat masing-masing penduduk.

Upaya pembaruan hukum keluarga berikutnya terjadi pada masa Menteri Agama Munawir Syadzali. Upaya ini ditandai dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada tanggal 10 Juni 1991 yang materinya mencakup aturan perkawinan, kewarisan dan perwakafan yang diperuntukkan untuk umat Islam.

Baca Juga:  Apakah Gaswul Fikri menjadi Problem sebagian Umat Islam di Indonesia?

Saat ini umat Islam di Indonesia merasa nyaman dengan kehadiran Kompilasi Hukum Islam dan berimplikasi pada sakralitas baru sehingga KHI seolah-olah tidak lagi dapat dievaluasi apalagi direvisi. Padahal, sejarah banyak mencatat dan menggambarkan tentang evolusi hukum termasuk dalam hal hukum keluarga. Oleh karena itu, melalui pendekatan historis, makalah ini akan menggambarkan secara holistik sejarah evolusi hukum keluarga Islam di Indonesia seputar konsep, metode dan model pembaharuannya serta aspek pembaharuan yang dilakukan.

Hubungan Agama dan Negara

Dalam praktik kehidupan kenegaraan masa kini, hubungan antara agama dan negara dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk, yakni integrated (penyatuan antara agama dan negara), intersectional (persinggungan antara agama dan negara), dan sekularistik (pemisahan antara agama dan negara.Bentuk hubungan antara agama dan negara di negara-negara Barat dianggap sudah selesai dengan sekularismenya atau pemisahan antara agama dan negara.

Paham ini menurut The Encyclopedia of Religion adalah sebuah ideologi, dimana para pendukungnya dengan sadar mengecam segala bentuk supernaturalisme dan lembaga yang dikhususkan untuk itu, dengan mendukung prinsip-prinsip non-agama atau anti-agama sebagai dasar bagi moralitas pribadi dan organisasi sosial.Proses sekularisasi yang berimplikasi pada marjinalisasi agama ini bisa berbeda antara satu negara dengan negara lainnya, yang terutama dipengaruhi oleh latar belakang budaya dan sejarah masing-masing masyarakatnya.

Negara-negara yang mendasarkan diri pada sekularisme memang telah melakukan pemisahan ini, meski bentuk pemisahan itu bervariasi. Penerapan sekularisme secara ketat terdapat di Perancis dan Amerika Serikat, sementara di negara-negara Eropaselain Perancis penerapannya tidak terlalu ketat, sehingga keterlibatan negara dalam urusan agama dalam hal-hal tertentu masih sangat jelas, seperti hari libur agama yang dijadikan sebagai libur nasional, pendidikan agama di sekolah, pendanaan negara untuk agama,keberadaan partai agama, pajak gereja dan sebagainya. (The Encyclopedia of Religion, Vol. 13)

Baca Juga:  Peringatan 76 Tahun Indonesia Merdeka di Pondok Pesantren Jatinom Blitar dan Penanaman Pohon 76 Biji Pohon Pala

Bahkan sebagaimana dikatakan Alfred Stepan kini masih ada sejumlah negara Eropa yang tetap mengakui secara resmi lembaga gereja (established church) dalam kehidupan bernegara, seperti Inggris,Yunani dan negara-negara Skandinavia (Norwegia, Denmark, Finlandia, dan Swedia). Pemisahan agama dan negara tersebut memerlukan proses yang disebut sekularisasi, yang pengertiannya cukup bervariasi, termasuk pengertian yang sudah ditinjau kembali. Menurut Peter L. Berger berarti “sebuah proses dimana sektor-sektor kehidupan dalam masyarakat dan budaya dilepaskan dari dominasi lembaga-lembaga dan simbol-simbol keagamaan”.

Sekularisasi politik juga terjadi dalam konteks modernisasi politik di negara-negara berkembang, termasuk di negera-negara Muslim. Dalam kaitan dengan halini Donald Eugen Smith beberapa dekade lalu mengatakan, bahwa sebenarnya sekularisasi politik dan pelibatan agama dalam politik ini berjalan secara simultan. Namun menurut dia,sekularisasi ini betul-betul merupakan proses yang lebih mendasar, dan hal ini lambat laut akan melenyapkan fenomena partai politik dan ideologi keagamaan.

Sekularisasi politik dalam hal-hal tertentu dan tingkat tertentu memang terjadi di negara-negara Muslim,seperti pembentukan lembaga-lembaga negara modern sebagai perwujudan sistem demokrasi yang menggantikan lembaga-lembaga negara berdasarkan keagamaan,pembentukan partai-partai politik, penyelenggaraan pemilihan umum, dan sebagainya.

Bahkan proses sekularisasi secara terbatas juga terjadi di negara-negara agama (religious states), yang mengintegrasikan agama dan negara seperti Arab Saudi dan Iran, dengan melegislasi aturan-aturan operasional tertentu yang awalnya berasal dari negara-negara Barat sekuler, seperti peraturan hukum tentang perdagangan internasional, imigrasi, dan sebagainya.

 Namun dalam kenyataannya, umat Islam tetap memperhatikan faktor agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, meski negara itu telah melakukan modernisasi dan sekularisasi politik bersamaan dengan proses globalisasi.Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari karakteristik ajaran Islam itu sendiri, yang tidak hanya merupakan sistem teologis, tetapi juga cara hidup yang berisi standar etika moral dan norma-norma dalam kehidupan masyarakat dan negara. Islam tidak membedakan sepenuhnya antara hal-hal sakral dan profan, sehingga Muslim yang taat menolak pemisahan antara agama dan negara.

Baca Juga:  Radikalisme dan Separatisme di Indonesia

Oleh karena itu, sekularisasi yang terjadi di negara-negara Muslim umumnya tidak sampai menghilangkan orientasi keagamaan masyarakat dan negara. Bahkan adopsi sistem sekuler, seperti sistem demokrasi dan penegakan hak asasi manusia, dalam banyak hal dilakukan dengan pemberian legitimasi keagamaan melalui ijtihad dan penyesuaian-penyesuaian tertentu.

Wallahu ‘alam bishawab. Wallahu Muaffiq Ila ‘Aqwamith Thariq. [HW]

Helmi Abu Bakar El-Langkawi
Dewan Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga, Pengajar di IAI Al-Aziziyah Samalanga, Ketua PC Ansor Pijay.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini