kemarahan dan agama

Kemarahan dan Agama: keduanya merupakan unsur yang tak dapat disatukan bagaikan air dengan api, kertas dengan hujan, dan mata dengan sorot lampu tembak; tabung gas dan api—tanpa selang regulator. Kemarahan dapat dipicu oleh berbagai bentuk, ia merupakan ekspresi yang keluar tidak serta-merta saja—kemarahan pura-pura, tidak demikian.

Kemarahan sering dijumpai ketika seseorang yang lain dengan dirinya memiliki cara pandang berbeda, alternatif, dan baru—termasuk dalam beragama. Selain itu, kemarahan dapat pula timbul dari kekecewaan terhadap orang lain lalu ia mengalami kebuntuan berpikir, hilangnya kesabaran; traumatis terhadap sesuatu di luar dirinya—setidaknya demikian. Gagalnya pengendalian terhadap kemarahan membuat seseorang menjadi brutal, culas, dan tak terkendali tingkah lakunya. Situasi semacam ini dapat melanda di berbagai dimensi: sosial-budaya, pendidikan-pergaulan; agama-peradaban.

Sedangkan agama sendiri, ia sering dicitrakan sebagai kelemah-lembutan, ia juga pintu keselamatan yang memberi janji suci terhadap para pemeluknya atau oase yang mendinginkan atau juga baju pelindung dari gejolak yang tak karu-karuan—termasuk kemarahan. Agama semacam ini adalah agama yang dapat diterima dengan baik oleh semua kalangan.

Selain itu, dalam diri agama juga terdapat ritus-ritus yang menuntun manusia menuju ketenangan paripurna. Agama memberi tuntutan untuk manusia agar dapat seimbang dalam menjalani hidup. Keseimbangan, dalam contoh keseharian—di tengah pandemi, misal—adalah memperhatikan kesalehan sosial, tidak cuma ritual. Kesalehan semacam ini dapat berupa uluran tangan terhadap sesama. Ketika semua kita dihancurkan oleh pandemi, maka agamawan hadir untuk saling berbagi terhadap sesama—tanpa memandang agama—memberi rezeki: uang, bahan pokok sehari-hari, atau makanan. Lebih jauh ialah saling menguatkan.

Kesalehan sosial juga dapat kita lihat dari keramah-tamahan terhadap sesama. Sebagaimana diajarkan oleh pembawa risalah bahwa seorang agamawan yang baik ialah mereka yang mampu menjaga hati saudaranya dari lisan dan juga tangannya. Merawat keharmonisan sosial merupakan hal yang tidak sama sekali receh: kita kerap bertengkar dan berkelahi justru karena dipicu oleh gagalnya menjaga lisan dari hal-hal yang tidak semestinya diucapkan. Maka seringkali timbul cek-cok, saling hujat, dan umbaran kebencian yang sedemikian menjadi-jadi karena ditengarai satu hal: lisan.

Baca Juga:  Khotbah Singkat Idul Adha Masa Pandemi Covid-19

Dulu, ketika belia, saya sering mendapat nasihat dari kakek—dalam bahasa jawa—bahwa jangan sekali-kali kamu mengucapkan apa yang tak ingin kamu dengar dari mulut kawanmu. Lebih jauh kakek sebenarnya mengajarkan bahwa yang diartikan teman bukan hanya mereka yang sebaya atau umurnya selisih hanya beberapa tahun, namun juga mereka yang jauh lebih tua ataupun lebih muda pun turut mesti dijaga perasaannya dari lisan kita.

Demikian adalah cara arif kakek saya mengajari cucunya dalam berbudi pekerti luhur. Yang ternyata setelah saya kuliah, hal itu selaras dengan perintah agama. Menarik sekali: saat saya menyadarinya.

Kisah lain yang juga saya ingat ialah ketika usia masih setingkat sekolah dasar, saya mengingat bahwa teriakan lantang cuma tersulur dari megafon yang membunyikan azan dari seorang kakek tua: memberi tanda bahwa waktu salat sudah manjing—masuk. Selain itu, biasanya suara azan akan dilanjutkan dengan tembangan selawat dilantunkan serupa semilir angin sore hari di ladang luas dari muazin tersebut atau bila pun tidak, maka beberapa anak-anak sudah duduk berjejer bersiap-siap menerima mikrofon untuk menunaikan selawat tersebut.

Saya juga begitu nyaman dan nikmat mendengarkan khotbah yang diusung para khatib salat jumat di masjid yang berjarak lima puluh meter dari rumah. Isu apa pun yang sedang melanda negara, sang khatib selalu mengajak jamaah untuk berlindung kepada Tuhan dan bersabar seraya berdoa agar diberi jalan keluar dan solusi terbaik—semasa kecil, demikianlah kenangan saya.

Keagamaan yang sederhana telah memberikan ruang lembut dan halus: yang demikian adalah cerminan keagamaan sebagai tindakan merangkum semua—kebaikan, tanpa tapi.

Namun ketika saya beranjak dewasa—katakanlah begitu—kemarahan dan agama menjadi sukar dibedakan. Teriakan tak lagi cuma di masjid dan musala, namun juga lantang hingga memekakkan telinga atas nama agama begitu gemuruh di berbagai tempat: televisi, media sosial, dan jalan-jalan umum, telah menjadi pemandangan lumrah. Bahkan yang membuat hati hancur—serupa tersambar petir dan tergilas mobil kontainer roda dua puluh dua —ialah kemarahan yang muncul dari ruang petak kecil tempat orang memberi pitutur luhur—khotbah.

Baca Juga:  Perempuan dan Wacana Agama

Kini—di tengah kemajuan teknologi dan mudahnya belajar agama—suasana demikian semakin mudah ditemukan. Agama—seolah—telah menikah dengan kemarahan: teriakan, pekikkan, dan bahkan umpatan membasmi siapa pun serta apa pun yang tak senada dengannya. Agama seolah menginginkan ruang publik menjadi merah saja, atau hijau saja, atau putih—yang dilambangkan suci—saja tanpa menerima alamiah warna yang lain; dengan tempo yang sesingkat-singkatnya, semua harus sama. Kita lantas kaget, mengapa agama semarah dan sekejam itu? Dan di mana agama yang ramah berada?

Tentu masih ada, di pribadi-pribadi seorang yang arif menggunakan agama dengan cara elegan tanpa harus mengaktualisasikan dirinya berlebih. Keagamaan demikianlah yang beradab, dan yang diajarkan oleh sang pembawa agama itu sendiri. Bukan agama yang gamang: yang menampilkan perilaku kerasnya.

Keagamaan seseorang, sekelompok, atau sebagian golongan—yang menganggap dirinya besar; bahkan mewakili umat—telah menyulap agama menjadi lain sama sekali. Ketidaksetujuan terhadap satu kelompok akan lumrah melahirkan umpatan: kafir, sesat, dan jahanam. Hal sewarna pun turut ditunjukkannya bila ia tak sepakat dengan kebijakan pemerintah; lebih parah. Agama, alih-alih menjadi payung peneduh yang menyiram kemarahan dengan kasih sayangnya pun berubah menjadi bara api yang hidup di dalam laku-laku keagamaan.

Saya, Anda, dan bahkan Kita semua sangat lumrah menyaksikan pekik takbir bukan lagi dari megafon musala, akan tetapi juga terdengar di megafon demonstran yang menuntut klausul yang menurutnya mewakili agama. Lebih jauh, pekik takbir juga diteriakkan untuk memberantas warung-warung ketika puasa, menjarah hal-hal yang menurutnya dilarang, atau memukul saudaranya untuk menutup diskusi, bedah buku, atau bincang film yang lagi-lagi dianggapnya sesat.

Entah disadari atau tidak, perilaku seperti itu telah merubah wajah agama yang ramah menjadi marah. Agama telah berubah wujud menjadi alat untuk memberangus apa-apa yang dikiranya batil atau tidak merepresentasikan agama. Agama telah kehilangan marwahnya yang mulia: di tangan golongan tertentu.

Baca Juga:  Sayyidah Aisyah Juga Cemburu

Akhirnya, saya akan lebih sepakat oleh perkataan Charles Kimbal dalam bukunya Kala Agama Jadi Bencana. Ia mengatakan bahwa agama masa depan adalah agama cinta: bukan Islam, Kristen, Hindu; Budha. Agama yang ditampilkan dengan kekerasan, ia tidak akan memiliki masa depan.

Wallahu A’lam. [HW]

Teni Maarif
Mahasiswa UIN Raden Intan jurusan Pendidikan Agama Islam semester 7 sekaligus Mu’allim (Pengurus Ma’had Al-Jami’ah UIN Raden Intan)

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini