menulis dan sisi baiknya

Kegagapan literasi di Indonesia salah satu hal yang menyebabkannya adalah masih jauhnya tradisi literasi membumi di masyarakat Indonesia. Jangankan untuk menulis, untuk membaca pun terlampau enggan untuk melakukannya dan lebih memilih menghabiskan waktu dengan bermedia sosial atau melakukan aktivitas tak produktif lainnya.

Maka wajar bila peradaban dan kebudayaan kita saat ini justru kurang maju—untuk menghindari kata tidak maju. Alih-alih melampaui Barat, kita malah tertatih-tatih untuk sekedar mentas dari kegagapan aksara—setidaknya hal demikian begitu lekat dirasakan oleh aktivis literasi dalam berbagai bentuk warnanya.

Mengapa menulis menjadi penting, rasa-rasanya pertanyaan itu akan mudah dijawab oleh para penggiat literasi—dan tentunya bukan saya—atau oleh mereka yang membaktikan dirinya sebagai motivator bagi khalayak publik. Meskipun terkadang jawabannya sungguh klise, dan alih-alih memberi solusi atas permasalahan tentang menulis, mereka justru melakukan promosi gadungan berbasis literasi dengan mengajarkan menulis sekenanya dan serampangan saja demi mendapatkan pundi-pundi uang—saya termasuk yang memiliki pengalaman pahit itu.

Untuk mengetahui pentingnya menulis, mari rentangkan sedikit pikiran kita ke belakang, tak perlu terlalu jauh sampai abad klasik, kuno, atau zaman-zaman yang dalam tradisi peradaban terlampau jauh untuk dijangkau. Kita cukup menilik ada apa di abad 18 di Eropa / Barat. Mengapa mereka memiliki kemajuan pengetahuan yang meletihkan sekali untuk kita kejar. Padahal dulu Barat sempat dicekam oleh keadaan yang sering disebut sebagai zaman kegelapan. Namun alih-alih terpuruk, mereka justru bangkit dan membalikkan keadaan peradabannya.

Hal tersebut salah satunya ditengarai oleh hidupnya kembali pengetahuan. Barat yang semula anti terhadap pengetahuan—hanya menjadikan dogma sebagai prinsip hidup—lantas melakukan terjemahan besar-besaran karya-karya Timur. Sehingga melahirkan banyak tokoh besar dan tak terkecuali dalam dunia kepenulisan.

Baca Juga:  Maknai Hari Kartini, Sitta Rosdaniah: Literasi Keuangan bagi Perempuan Sangat Penting

Tentu bila seorang anak atau remaja diminta langsung untuk menulis esai atau opini, atau cerpen dan bahkan novel maka hasilnya akan tak karu-karuan. Ketakkaru-karuan itu setidaknya menyasar di wilayah konten atau isi. Apalagi bila seorang tersebut adalah pembaca yang terlampau rajin (baca:pemalas) maka berharap tulisannya berisi ialah serupa berharap wakil rakyat menepati janji-janjinya ketika nomenklatur ‘Wakil’ belum tersemat di dadanya.

Namun setidaknya untuk mengatasi problem tersebut dan berkaca pada generasi abad 18, maka menyalin karya para pesohor dalam bidang kepenulisan adalah satu langkah jitu. Ya, menyalin.

Dengan kebiasaan demikian yang dilakukan rutin, konstan, dan konsisten setidaknya generasi ini melahirkan para tokoh adiluhung. Sebut saja Jack London, Benjamin Franklin, atau Robert Louis Stevenson. Ketiga nama tersebut tentu sedikit dari sekian banyak nama yang lain yang melakukan aktivitas menyalin untuk melatih kecakapannya dalam menulis. Dan yang sedikit berbeda dari mereka ialah Goethe, ia tidak menyalin, namun membaca berulang kali Kisah Seribu Satu Malam di mana kisah itu sampai menjadi bagian dari hidupnya yang kemudian melahirkan karya monumentalnya berjudul Faust.

Kebiasaan menyalin karya penulis kenamaan setidaknya akan memberi banyak manfaat pada diri seseorang ketimbang menulis apa adanya yang ada di kepala.

Dengan menulis ulang karya mereka, diri kita dituntut membaca secara seksama dengan hikmat sambil-lalu merasakan setiap kalimat yang dituliskan dengan cermat oleh mereka. Apakah benar mereka menuliskannya dengan cermat? Tentu saja, setidaknya bila kita membaca karya Ernest Hemingway The Old Man and The Sea, Hemingway sampai butuh empat puluh lima kali untuk sekedar mengedit paragraf pertamanya. Peraih nobel sastra itu tentu ingin menyajikan karya yang benar-benar ciamik dan tak serampangan.

Baca Juga:  Kebiasaan Membaca

Selain daripada merasakan kalimat, hal lain yang bisa diperoleh ialah untuk melatih sintaksis. Saya, Anda, dan siapa pun kerap disuguhi wejangan usang bahwa menulis itu mudah dan menulis itu tinggal menulis saja tak perlu dihiraukan hal-hal teoritis dan tetek-bengek lainnya.

Petuah itu sekilas benar, namun bila dicermati ulang, tutur demikian hanya akan menjadi penjebak bagi generasi yang akan mengenal kepenulisan. Mungkin mereka akan mematuhi petuah tersebut dengan menulis setiap hari, namun lama-kelamaan mereka akan jenuh, letih, lelah karena kapasitas linguistiknya tidak bertambah sama sekali, dan kalau pun bertambah, akan butuh waktu seperempat abad untuk mencapainya. Tak heran bila ribuan penulis selalu lahir, namun yang sampai pada taraf mahir dan mutakhir malah semakin semakin menipis.

Menyempurnakan kecakapan adalah panggilan sepanjang hayat, dan kekeliruan adalah bagian dari permainan. Meskipun upaya untuk memperbaiki diri bisa didapatkan melalui pembelajaran dan diasah dengan latihan, tetapi pertama-tama ia harus dikobarkan oleh kegembiraan menikmati karya terbaik para master dan dorongan untuk mendekati keunggulan mereka, ucap Steven Pinker suatu ketika.

Saya termasuk pribadi yang menggunakan metode klasik tersebut, dengan per harinya menyalin minimal dua ribu kata dari para penulis—menurut saya—besar semacam Eka Kurniawan, Ayu Utami, Kashuo Iziguro, Fyodor Dotoevski, Paul Coelho dan yang lain. Meskipun baru seumur jagung, namun efek yang saya rasakan sungguh kentara. Seperti dikatakan di atas, saya jadi tahu lebih tentang bagaimana mereka menulis dengan sangat cermat dan berlinguistik dengan gaya yang menarik.

Membaca cerita—karya—mereka memang lantas membuat saya—seperti—merasa hina-dina mendapati begitu mengagumkannya tulisan yang mereka lahirkan dal seolah mustahil untuk disaingi. Namun hal tersebut tetap saya lakukan ketimbang membaca cerita yang buruk, yang bisa jadi tak ada bedanya dengan efek membaca cerita yang baik—menular. Dan itu menyebalkan sekali. [HW]

Teni Maarif
Mahasiswa UIN Raden Intan jurusan Pendidikan Agama Islam semester 7 sekaligus Mu’allim (Pengurus Ma’had Al-Jami’ah UIN Raden Intan)

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini