Rupanya ada yang salah paham soal kenabian perempuan (نبوة النساء) ketika saya menjelaskannya dalam pengajian Kitab Fathul Mu’in bulan Ramadan kemarin. Pertama, mereka menyangka bahwa itu pendapat saya. Kedua, mereka menduga yang pro nabi perempuan itu tak punya argumentasi qurani.

Saya jelaskan sekali lagi. Bahwa sejak dulu bahkan hingga sekarang sebenarnya para ulama sudah memperselisihkan tentang ada dan tidak adanya nabi perempuan. Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan cukup singkat pro-kontra itu dalam Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari.

Pertama, ulama yang menerima kenabian perempuan di antaranya adalah al-Imam Abu al Hasan al-Asy’ari, Ibnu Hazm, dan al-Qurthubi. Al-Imam Abu Hasan al-Asy’ari berpendapat; ada banyak nabi dari kalangan perempuan ( أن فى النساء عدة نبيات ).

Khawatir menimbulkan spekulasi liar, Ibnu Hazm segera membatasi nabi perempuan hanya pada 6 orang, yaitu; Siti Hawa, Sarah, Hajar, Ibunda Nabi Musa, Siti Asiyah dan Siti Maryam. Bahkan, al-Qurthubi hanya mengakui kenabian Siti Maryam. Ia menolak kenabian Sarah dan Hajar.

Kedua, jumhur ulama–yang menurut Qadhi Iyadh–menolak kenabian perempuan. Imam Nawawi dalam kitab al-Adzkar mengutip konsensus yang menyatakan bahwa Siti Maryam bukan nabi (أن مريم ليست نبية)

Penolakan yang sama diajukan ulama lain. Al-Hasan misalnya berkata bahwa tak ada nabi perempuan sebagaimana tak ada nabi dari komunitas jin (ليس فى النساء نبية ولا فى الجن).

Pertanyaannya, mengapa para ulama berbeda pendapat? Tak ada jawaban lain kecuali bahwa mereka berbeda dalam menafsirkan firman Allah.

Misalnya ada ayat Quran yang mengisahkan wahyu-komunikasi langsung Allah dengan sejumlah perempuan seperti Siti Maryam dan ibunda Nabi Musa. Dan menurut ulama pertama, orang yang mendapat wahyu adalah nabi, tak dibedakan laki-laki dan perempuan.

Baca Juga:  Abu Bakr Al-Razi (1): Akal dan Kenabian, Kritik terhadap Agama-Agama Wahyu

Namun, sebagian ulama membantah narasi itu. Menurut mereka, yang menyatakan nabi itu hanya dari kalangan laki-laki adalah Quran sendiri. Allah berfirman, وما ارسلنا قبلك إلا رجالا نوحى اليهم.

Tapi argumen itu segera disanggah yang lain. Bahwa yang diekplisitkan Quran itu soal kerasulan yang dimonopoli laki-laki. Beda dengan kerasulan, maka tak menutup kemungkinan ada nabi perempuan. (فالرسالة للرجال أما االنبوة فلا يشملها النص القرأنى).

Itulah perbedaan pendapat para ulama tentang nabi perempuan. Perbedaan pendapat seperti itu sahih apalagi ia muncul dari genius-genius raksasa seperti al-Asy’ari, al-Hasan, al-Qurthubi, Imam Nawawi, Ibnu Hazm, dan lain-lain.

Saya hanya menyampaikan keragaman pandangan para ulama tentang kenabian perempuan. Selebihnya, tentu saya kembalikan ke posisi akademis dan pilihan ideologis masing-masing. Wallahu a’lam bis shawab. [HW]

Abdul Moqsith Ghazali
LBM PBNU dan Dosen UNUSIA Jakarta

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini