Opini

Menyoal Ujian Nasional (UN)

source:radarcirebon.com

Saat ini sedang memuncaknya pro dan kontra terhadap pelaksanaan UN. Biasanya eksekutif berjuang keras untuk pertahankan UN, di pihak lain masyarakat yang terus berjuang keras untuk penghapusan UN. Kini semakin dapat dipastikan bahwa mulai tahun 2021 Ujian Akhir satuan pendidikan akan dilakukan perubahan yang sangat berarti. Untuk SD yang semula menggunakan USBN akan dirubah menjadi Ujian Sekolah (US). Sementara untuk SMP dan yang semula UN akan dirubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter.

Perubahan ujian akhir untuk SD yang akan dikembalikan ke sekolah dengan cara tes tulis, portofolio, tes kelompok, dan karya tulis. Apakah kita yakin bahwa sekolah dan guru bisa melakukan ujian dengan baik? Jika ya, bagus sekali. Untuk bisa compliance dengan perundang-undangan yang ada, standar nasional, terutama standar kompetensi lulusan dan standar Isi, apakah setiap guru SD yang pegang kelas akhir dan sekolah bisa dengan mudah melakukan uji akhir. Kelihatannya lebih mudah, tetapi belum tentu implementatif. Sementara itu USBN, di satu sisi relatif mendekati standar nasional. Ujian akhir dibuat soalnya secara bersama-sama dalam suatu rayon. Memudahkan untuk membuat materi ujian, pelaksanaan ujian dan melakukan pengolagannya. Tentu pemberian kelulusan selalu memperhatikan kepribadian dan akhlaq anak.

Perubahan ujian akhir SMP dan SMA-SMK yang semula menggunakan UN tahun 2021 menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter.

Ujian ini bakal dilakukan oleh siswa yang berada di tengah jenjang sekolah, yakni kelas 4, 8, dan 11. Pemerintah berharap hal ini bisa mendorong guru dan sekolah untuk memperbaiki mutu pembelajaran. Hasil ujian ini tidak digunakan untuk basis seleksi siswa ke jenjang selanjutnya. Jika penjelasan perubahan ini yang dimaksudkan, maka yang tepat adalah UN dihapuskan dan penggantinya bukan sebagai ujian, tetapi sekedar asesmen. Fungsinya jelas berbeda. Jika ujian akhir (UN) berfungsi untuk mengetahui sejauh mana siswa bisa memenuhi standar kompetensi lulusan dan standar penilaian. Maka Asessmen Kompetensi Minimal berfungsi untuk mengetahui kompetensi minimal atau berfungsi sebagai tes diagnostik yang selanjutnya untuk memperbaiki program dan strategi pembelajaran sehingga siswa kompetensi minimal.

Penghapusan UN salah satunya disebabkan oleh penilaian Mendikbud, bahwa UN hanya andalkan hapalan. Itu tuduhan yang kurang mendasar, karena materi tes tidak semata-mata menilai hafalan, tapi juga memahami, menganslisis, bahkan mengevaluasi, sehingga ada juga materi yang bermuatan HOT. Jika penyusun soal itu profesional, maka soal bisa dibuat materi dengan tingkat kesulitan sesuai dengan tujuan tes dan kepentingannya.

Jika UN diberlakukan tahun 2020 untuk kelas 4, 8 dan 11, maka untuk mengetahui kemampuan pemenuhan standar kompetensi lulusan kelas 6, 9, dan 12 dengan apa? Memperhatikan kebijakan Merdeka Belajar, ada kesan bahwa kebijakan ini lebih kuat diduga berangkat dari asumsi, bukan berangkat dari hasil kajian yang komprehensif daripada terhadap pelaksanaan UN, sehingga alasan dan kebijakan yang diambil kurang komprehensif.

Menurut pendekatan psikologis bahwa target atau harapan (hope) itu sangat penting dalam kehidupan, sehingga hidup ini penuh dinamika dan perjuangan. Jika dipersoalkan bahwa UN itu menimbulkan stres. Jawaban ya. Tapi ingat stres itu ada dua, ada stres negatif dan stres posutif. Stres negatif memang bisa menyebabkan orang depressi, bisa-bisa neurosis yang lebih berat jika tidak diatasi dengan cepat dan serius. Namun positif bisa tumbuhkan motivasi dan spirit untuk maju. UN hakekatnya menimbulkan stres positif. Ini yang sering terabaikan. Banyak yang cenderung menggudiring UN timbulksn stres negatif.

Fenomena lain yang menarik, bahwa anak-anak berlaku juga terutama orang tua, jika anak-anak ikut UN nilainya dengan skor rendah, mereka marah besar, bahkan orangtua pun dak ketinggalan. Namun ketika ikut Ujian Sekolah, skor anaknya berkiprah 8 sd 10 dengan rata-rata 9, mereka diam dan senang. Padahal kenyataannya kemampuan anak tidak sebaik itu. Mana ada orangtua yang protes, mengapa anaknya dinilai baik? Tidak ada kan! Inilah yang Karang-kadang menjadi salah satu sumber masalah.

Nah sekarang Mas Menteri menghapus UN, spontan semua bersorak sorai. Karena kebijakan ini di bawah payung MERDEKA BELAJAR yang memberikan kesempatan kepada guru dan sekolah mengembangkan program dan pembelajaran. Sungguh Indah jika guru dan sekolah semakin semangat, gigih, kreatif, dan inovatif. Namun jika sebaliknya dengan kebebasan yang ada tidak dimanfaatkan optimal, bisa jadi berakibat sebaliknya. Tidak terjadi perbaikan mutu. Idealnya menang anak yang bisa merdeka untuk belajar, guru dan sekolah menfasilitasi.

Akhirnya kita menyadari bahwa posisi kualitas pendidikan kita yang semakin menurun memang harus dicarikan solusi yang tepat. Kini Mas Menteri telah tunjukkan hasil ijtihadnya dengan perubahan substansi dan cara USBN menjadi US dan penghapusan UN. Persoalan ini tidak bisa dianggap enteng, harus diselesaikan secara komprehensif, sehingga bisa selamatkan anak dari korban yang tidak perlu.

Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A.
Beliau adalah Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pendidikan Anak Berbakat pada Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. Ia menjabat Rektor Universitas Negeri Yogyakarta untuk periode 2009-2017, Ketua III Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) masa bakti 2014-2019, Ketua Umum Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKhI) periode 2011-2016, dan Ketua Tanfidliyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DIY masa bakti 2011-2016

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini