New Normal. Dua kata tersebut ramai disebut-sebut dalam banyak perbincangan, mulai obrolan daring sampai meja makan. Obrolannya beragam, dari pembahasan serius disertai adu argumen dan teori ala-ala iklim akademik hingga santai ala-ala jagongan.

Munculnya new normal ini mengajak masyarakat untuk tetap menjalankan aktivitas dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan dari pemerintah. Berdagang, bekerja di pabrik atau kantor lain, bisa dilanjutkan dengan catatan seabrek perihal protokol kesehatan seperti memakai masker, penggunaan hand sanitizer selepas bersentuhan dengan apa pun atau siapa pun, menjaga jarak dan lainnya. Dengan protokol itu diharapkan kegiatan masyarakat, utamanya ekonomi, tetap berjalan meski dengan beberapa penyesuaian. Perihal pengertian ini sudah banyak dijumpai di media massa.

New normal pula membuat istilah kerja dari rumah (work from home) menemukan momentum untuk makin dianggap normal karena akibat Corona, orang tetap bekerja meski dari rumah dan menerima gaji seperti biasa, itu pun bila tempat kerjanya tak terdampak secara ekonomi. Sebelumnya orang normal dianggap bekerja bila keluar dari rumah untuk mencari nafkah. Dengan kenormalan baru (new normal), orang yang bekerja di rumah saja jangan dianggap sedang memelihara tuyul dan sejenisnya, karena sejatinya mereka masih melakukan pekerjaan harian mereka tanpa keluar dari rumah.

Akibat hal diatas, kedepannya akan banyak pekerjaan yang sebelumnya terdengar asing perlahan diakui dan dikenal secara luas.

Copywriter, web developer, social media specialist, digital marketer dan lainnya akan terdengar lumrah. Pekerjaan yang bagi generasi baby boomer terdengar aneh itu berpotensi banjir pelamar di masa depan. Makin masifnya kemunculan kelas-kelas daring membuat orang mudah mendapat keterampilan sebagai bekal melamar pekerjaan-pekerjaan tersebut.

Tantangan yang muncul kemudian adalah pengakuan akan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Pengakuan itu minimal orang tahu bahwa pekerjaan itu benar ada, bahkan bila perlu orang-orang paham apa pekerjaan itu.

Baca Juga:  Ujian Nasional dan Covid-19; Analisa Dampak Covid-19 Di Dunia Pendidikan dan Solusinya

Bagi orang yang sudah berkeluarga, bisa dibilang cukup mudah memahamkan anggota keluarganya terkait kenormalan baru ini. Ia cukup menjelaskan bahwa keadaan yang demikian membuat pekerjaan harus dilakukan di rumah karena interaksi di tempat kerja berpotensi besar pada masifnya penularan virus Corona. Nah, bagi mereka yang belum menikah dan sedang menghadapi obrolan serius dari calon mertua terkait pekerjaan, seperti apa tantangannya?

Setidaknya pendekatan persuasif bisa jadi pilihan dalam kondisi seperti itu. Mengapa pendekatan ini dipilih?

Jamak diketahui bahwa calon mertua banyak menanyakan tentang pekerjaan pada seseorang yang akan meminang anaknya. Bukan tanpa sebab pertanyaan itu muncul. Calon mertua umumnya butuh kejelasan seperti nasab seseorang, pekerjaan dan masih banyak lagi.

Pendekatan persuasif dipilih karena masih banyak dijumpai calon mertua berkategori baby boomer yang tidak banyak mengikuti perkembangan teknologi dan pekerjaan terkini. Butuh obrolan yang tidak singkat untuk meyakinkan mereka bahwa bekerja tidak melulu keluar dari rumah. Saat ini, dari rumah saja orang bisa bekerja tanpa harus berdesakan di lift kantor atau bermacet di jalan. Yang jadi halangan misalnya menjelaskan istilah-istilah dalam pekerjaan yang sedang dilakoni.

Pendekatan ini patut untuk dicoba. Selain pendekatan diatas, adakah cara lain? Saya sedang memikirkannya, jadi mari sama-sama berusaha.
Wallahu a’lam. [HW]

Hanif Nanda Zakaria
Penulis Buku "Bang Ojol Menulis" Alumnus Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini