Hikmah

Bagaimana Berilmu yang Rendah Hati?

(Ilustrasi: darulazis.blogspot.com)

“Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah hati) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.” – (HR. Muslim)

Ilmu adalah laksana cahaya yang penting dan perlu bagi kehidupan. Dengan ilmu, kita bisa dikeluarkan dari dunia yang gelap menuju ke dunia yang penuh cahaya dan terang benderang. Dengan ilmu orang bisa hidup sehat dan selamat. Dengan ilmu orang bisa raih bahagia. Dengan ilmu orang bisa terbebaskan dari ketidaktahunan. Dengan ilmu orang bisa meraih kemenangan. Dengan ilmu orang bisa memperoleh kehormatan. Dengan ilmu orang bisa selamat di dunia hingga di akhirat.

Ingat Hadits Rasulullah Saw : ”Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia maka wajib baginya memiliki ilmu, dan barang siapa yang menghendaki kehidupan Akherat, maka wajib baginya memiliki ilmu, dan barang siapa menghendaki keduanya maka wajib baginya memiliki ilmu”. (HR. Turmudzi).

Betapa beratinya ilmu bagi insan, anak Adam. Walaupun ilmu itu sangat penting untuk kehidupan, dalam realitasnya tidak semua insan itu mau belajar dengan sungguh. Memang godaan hidup tak terkira. Belajar ilmu secara benar sangat membutuhkan banyak pengorbanan, bisa pengorbanan finansial, fisik, mental, sosial, dan mental atau paduan di antaranya. Apalagi seseorang yang sudah dihinggapi dengan pandangan hidup yang pragmatis, realistik, maupun materialistik. Belajar adalah berat sekali. Tidak ada dan sulit membangun cita-cita untuk meraih hasil belajar yang terbaik. Apalagi hasil studi terbaik bukan merupakan faktor yang paling utama untuk raih karir terbaik.

Betapapun sulit membangun semangat belajar, kita semua yakin bahwa salah satu strategi dalam meningkatkan derajat kita dan bangsa kita adalah semangat menuntut ilmu. Ingat bahwa “Allah akan meninggikan beberapa derajat orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan (iImu) beberapa derajat” (QS Al Mujadalah:11). Betapa tingginya kedudukan menuntut ilmu yang selevel dengan beriman. Karena itu tidak alasan yg tepat, kita jadikan menuntut ilmu sebagai kebutuhan, bukan larena diwajibkannya oleh Allah swt.

Baca Juga:  Ilmu Perbandingan Agama (III): Menuju Abad Modern

Manusia sudah diberi potensi aqal dan hati serta keseluruhan indra. Ada di antara kita yang diberi kemampuan mental pas-pasan, ada yang dianugerahi kemampuan mental yang luar biasa. Siapapun bisa kembangkan potensinya yang bisa mencapai prestasi spektakuler, terutama yang diberi keunggulan. Orang-orang yang diberi prestasi unggul sering kali merasa hebat dan tergoda oleh syaitan menjadi takabur. Hal inilah yang sering lali merugikan orang lain dan dirinya sendiri.

Sikap uang paling tepat untuk menyikapi keunggulan yang dimilikinya itu seharusnya dengan segera menyadari atas keterbatasan yang dimiliki. Ingat bahwa ilmu sehebat apapun yang kita miliki itu sedikit. Allah SWT berfirman dalam QS Al Isra’:85

“Wayasaluunaka anirruh, Qulir ruhu min amri rabbi wama utitum minal ilmi illa qalila” (Dan kalau ada yang bertanya kepadamu tentang Ar-Ruuh, katakanlah Ar-Ruuh adalah urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberikan ilmu kecuali hanya sedikit).

Menyadari akan sedikitnya ilmu di mata Allah SWT, maka kita harus rendah hati (tawadlu), dan suka menghargai pendapat orang lain, sebagaimana yang dituntut dalam bersikap ilmiah.

Untuk menjadikan ilmu kita, betapapun sedikit bisa bermanfaat, maka kita harus bersikap proaktif untuk mengamalkannya dengan mengharapkan ridlo Allah. Karena masih banyak terjadi ilmu yang dimiliki hanya untuk mendapat insentif finansial sebanyak-banyaknya, lupa mengharapkan ridlo-Nya. Karena dengan ilmu yang bermanfaat tidak hanya bernilai duniawiyah melainkan juga ukhrawiyah.

Dewasa ini kita dibuat heboh dengan hadirnya RI 4.0 dan Society 5.0. Hidup ini seakan-akan mau kacau balau, apalagi disertai dengan sebutan era Disrupsi. Hidup serba tudak ada kepastian. Menurut saya kok aneh. Ingat hidup kita berjalan ribuan tahun hingga kini. Saya meyakini kehidupan kita tudak bisa lepas dari sunnatullah. Bahkan sudah dipastikan bahwa Al Qur-An dan As Sunnah merupakan dua sumber rujukan hidup Ilaa yaumil Qiyaamah. Kita memang perlu waspada dengan hadirnya perubahan, tapi sebagai orang beriman perlu manfaatkan potensi kita untuk menggali nilai-nilai dan ilmu yang terkandung dalam Al Qur-An dan As Sunnah beserta sumber-sumber ilmu terbaru untuk merespons perubahan yang ada, sehingga hidup kita dakam kedamaian.

Baca Juga:  Bagaimana Cara Memiliki Ilmu yang Berkah?

Mari kita belajar dari Jepang. Bahwa Jepang yang kemajuan ipteks tingkat tinggi, ternyata belum bisa menjadi solusi terbaik. Buktinya setiap tahun tercatat 30-an ribu orang yang bunuh diri. Belum yang tak tercatat. Mengapa demikian, karena Jepang krisis persoalan humaniora. Atas dasar itu Jepang Launching Soviety 5.0, yang diharapkan teknologi hadir untuk manusia, bukan seperti RI 4.0 yang membawa misi manusia untuk teknologi. Manusia jadi obyek, bukan subjek. Karena itu Indonesia yang memiliki keunggulan di bidang humaniora sebagai local wisdom perlu dijaga dan direvitalisasi kan.

Akhirnya, kita sangat menyadari bahwa hidup ini sangat bergantung pada kehadiran ilmu. Begitu pentingnya ilmu, kita wajib menuntut ilmu. Orang yang dikarunia ilmu yang terhebat bukan untuk disombongkan, apalagi menantang Tuhan, di atas langit masih ada langit, apalagi kebenaran ilmiah itu bersifat tentatif, hanya Tuhan yang memiliki kebenaran mutlak. Untuk itu sebanyak apapun ilmu yang kita miliki sebaiknya difokuskan untuk kemaslahatan ummat. Marwah kita semakin terjaga jika kita bisa selalu istiqamah bersifat tawadlu, mau berbagi ilmu dengan motivasi yang terpuji. Inilah wujud tanggung jawab tertinggi sebaga tanda syukur akan kemuliaan yang tidak selalu diberikan kepada semua orang.

Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A.
Beliau adalah Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pendidikan Anak Berbakat pada Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. Ia menjabat Rektor Universitas Negeri Yogyakarta untuk periode 2009-2017, Ketua III Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) masa bakti 2014-2019, Ketua Umum Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKhI) periode 2011-2016, dan Ketua Tanfidliyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DIY masa bakti 2011-2016

    Rekomendasi

    Opini

    Habib

    Saya belum masuk kategori muhibbin, para pecinta Habaib. Level saya masih awam. Tahap ...

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah