Istilah Masokhisme dalam Perspektif Tokoh Filsafat Barat

Untuk memahami definisi masokhis sendiri, jika dilihat dalam kamus bahasa Inggris, istilah masokhis didefinisikan sebagai bentuk kecenderungan seseorang untuk merasakan seksual yang dilakukan dengan menjadi subjek atas sakitnya fisik yang dialami, yang berasal dari penghinaan dari orang lain maupun juga dari dirinya sendiri.

Dapat diartikan juga masokhisme sebagai suatu kenikmatan yang dirasakan oleh seseorang yang didapatkannya melalui cara didominasi dan dengan merasakan suatu penderitaan bahkan melalui cara disiksa. Dengan begitu, seseorang ketika mendapat siksaan akan merasakan kepuasan nafsu tersendiri dalam hidupnya.

Richard Von Kraff-Ebing di tahun 1895, mengistilahkan masokhisme diambil dari nama belakang Leopold von Sacher-Masoch, ia juga merupakan penulis novel Venus in Futs yang diterbitkan pertama kali tahun 1870, dalam novel ini memuat sebuah kisah seorang laki-laki bersama dengan perempuannya. Dalam kisah yang dituliskan dalam novel tersebut bahwa laki-laki itu mencari kepuasan seksual dengan perempuannya, namun sang lelaki  menginginkan kepuasan seksual yang didapat melalui disiksa dan meminta untuk didominasi oleh si perempuannya secara sukarela.

Dengan begitu, hal ini dikatakan masokisme oleh Krafft Ebing. Berdasarkan riwayat tersebut, dikatakan bahwa yang ditulis oleh Sacher Masoch tentang masokhisme dalam karyanya yang berjudul Venus in Furs, merupakan sebuah gambaran awal dari istilah masokhisme yang dipopulerkan atau dipublikasikan untuk yang pertama kalinya.

Juga dalam kajian psikoanalisis menurut Franklin G. Maleson banyak mengalami perubahan, salah satu dari adanya perubahan tersebut adalah terjadinya perluasan makna dan juga terdapat tambahan makna baru di dalam kajian yang lain, seperti halnya dalam kajian metapsikologis. Dari adanya perubahan ini, maka muncul beberapa pengertian terkait mesokhime, yang mengakibatkan dalam menggunakannya pun memiliki arti yang bervariasi dan luas.

Baca Juga:  Kebenaran: Kenyataan yang Kadang Terasa Memilukan

Semisal, kini masokhisme tidaklah hanya digunakan untuk menyebutkan seseorang yang memiliki kelainan sindrom yang tidak wajar dalam konteks seksualitas, pemikiran, tindakan, maupun perilaku yang luas dan bebas pada umumnya, tetapi hanya sedikit yang memiliki kaitannya dengan sebuah penderitaan. Oleh karena itu, dibutuhkan kembali bagaimana pendefinisian masokhisme secara baik dalam artian sempit maupun dalam artian yang luas.

Tentang masokhisme juga dibahas oleh Sigmund Freud dalam artian yang spesifik atau sempit, sebagai kecenderungan terhadap seksual. Menurut Sigmund Freud, masokhisme dipersepsi sebagai bentuk, pemikiran, karakter dan sikap seseorang dalam hal ingin mencapai kepuasan/kenikmatan seksual dalam hidupnya, yang dipicu oleh adanya rasa sakit secara fisik yang di inginkan.

Jika tidak adanya rasa sakit yang didapat dalam melakukan hubungan seksual, maka seseorang tersebut cenderung tidak mengalami kepuasan sampai ia mengalami penyiksaan/kekerasan seksual yang dianggapnya sebagai puncak kenikmatan. Menurutnya, hal tersebut dianggap normal ketika dalam proses pertumbuhan seseorang, tetapi juga dapat berubah makna terkait perilaku seksual yang tidak wajar jika tindakan tersebut dilakukan secara terus menerus mengalami perkembangan sampai ke titik yang ekstrim (Maleson 1984-327).

Maksudnya, tindakan tersebut dikatakan tidak wajar ketika melebihi batasan rasa sakit yang dapat menimbulkan cedera yang sangat serius, bahkan mengarah pada kematian, hal ini yang dikatakan oleh Freud perkembangan menuju ke titik ekstrim. Dari hal rasa sakit yang hanya dirasakan sebagaimana wajarnya, menuju ke titik perkembangan lebih daripada itu.

Dalam hasil penelitian dari psikoanalisis, terdapat sebuah kesimpulan bahwa umumnya para psikolog menyebutkan bahwasanya masokhisme tidak bisa lepas hubungannya dengan konsep diri yang disebut dengan self. Hal yang semacam itu juga masuk dalam daftar buku yang diterbitkan hasil karya dari Baumeiser yang berjudul Masochism and the Self.  Tertulis dalam buku ini yaitu, penjelasan Baumeister tentang masokhisme merupakan upaya dari manusia untuk melepaskan diri daripada identitasnya yang disebut escape from self.

Jika dilihat seseorang pada umumnya, seseorang lebih mencari kesenangan, kenikmatan, dan justru menjauhi atau menghindari rasa sakit.[1] Tetapi jika dalam masokhisme ini cenderung menginginkan rasa sakit dan igin berbeda dengan orang pada umumnya. Jika umumnya diri memiliki keinginan mengontrol, berbeda halnya dengan masokhis ini yang menginginkan dirinya malah lepas dari kontrol.

Baca Juga:  Agama, Filsafat dan Sains Setelah Pandemi (2)

Dalam sebuah ungkapan Arlow dalam Maleson 1984: 330. Ia berpendapat “Not all self aggressive acts have a sufficient libidinal component to be concidenered masochistic, nor does intense aggression directed by the superego and the ego necessarily imply an unconsciously sexuallixed (that is sadomasochistic) relation between the two.

Dari apa yang diungkapkan oleh Arlow di atas, menjelaskan bahwasanya tidaklah semua tindakan maupun perilaku agresif yang muncul dari dalam diri manusia dikatakan atau dikategorikan sebagai masokhisme, jikalau tidak ada suatu komponen gairah seksualitasnya yang dikatakan mencukupi.[2]

Begitupun tidakan atau sikap super ego maupun ego yang ditujukan untuk menyakiti diri sendiri bukan berarti termasuk ke dalam hal yang berkaitan dengan seksual yang tidak disadari antara keduanya. Terdapat beberapa prinsip dalam mengategorikan perlakuan yang diharapkan masokisme ini. Prinsip yang pertama ialah pain atau rasa sakit. Dalam pengalaman masokhisme, rasa sakit yang diharapkan memiliki sifat yang tidak universal atau pada umumnya, tetapi rasa sakit tersebut dianggap sebagai hal yang wajar.

Rasa sakit yang di peroleh dari masokhisme sendiri antara lain perlakuan menampar, mencambuk, memukul dan sejenisnya yang dapat menimbulkan rasa sakit yang dilakukan pada bagian tidak wajar yaitu pantat. Namun, terdapat cara lain untuk menyakiti dirinya dalam memperoleh gairah seksual yang juga mereka menganggapnya sebagai suatu hal yang sangat wajar, yaitu menggunakan penjepit yang dipergunkan untuk menjepit kulit untuk mendapat rasa sakit yang di inginkan.

Hal yang juga perlu diperhatikan adalah adanya batasan-batasan yang dialami rasa sakit dari masokisme. Rasa sakit yang diraskan merupakan rasa sakit murni yang berasal dari kenikmatan seksual, bukannya rasa sakit yang sampai parah dan juga menyebabkan cedera ataupun luka. Maka dari itu, rasa sakit yang dialaminya akan membuat palaku dari masokhis menggeser tingkat kesadaranya dari dirinya menjadi ke yang lebih rendah. Rasa sakit yang dialami perlahan akan menghilangkan tingkat kesadarannya dan juga mempengaruhi psikologisnya.

Baca Juga:  Ideologi Prematur

Pemahaman dan pengetahuan seseorang tentang dunia akan terlupakan, dan kemudian munculnya rasa sakit tersebut juga akan menghilangkan pemahaman abstrak serta simbol dari kesadaran dirinya. Lalu, prisip kedua yaitu menurut Baumeister tentang masokhisme yaitu pengekangan. Tindakan pengekangan dilakukan ditujukan untuk supaya pelaku masokisme kehilangan kendalinya atas dirinya sendiri dan juga lingkungannya. Dengan begitu, pelaku masokhis ini hanya bisa memasrahkan dirinya dan menerima apa saja perlakuan dari pasangan yang dominan memimpin ketika ingin mendapatkan gairah seksualitasnya. []

 

[1] Hubert L. Dreyfus, “The Current Relevance of Merleau-Ponty’s Phenomenology of Embodyment”, The Electronic Journal of Analitic Philoshophy, 1996, 13.

[2] Michael B. Smith, The Merleau-Ponty Aesthetics, 57.

Ali Mursyid Azisi
Mahasiswa Studi Agama-Agama - UIN Sunan Ampel, Surabaya dan Santri Pesantren Luhur Al-Husna, Surabaya

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini