Belakangan ini terjadi perbedaan ketika menentukan awal bulan kamariyah yang berdampak dalam memulainya ibadah puasa. Metodologi yang digunakan dalam menentukan kalender Islam terjadi pertentangan kemudian berubah menjadi ideologi, perbedaan- perbedaan dan konflik pun mulai terjadi.
Dalam kasus penentuan awal bulan kamariah di Indonesia terdapat berbagai metode yang berkembang. Metode yang digunakan dalam penentuan awal bulan kamariah di Indonesia adalah wujudul hilal, visibilitas hilal, dan rukyatul hal yang berpegang pada wilayatul hukmi atau matlak lokal (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Awalnya perdebatan berkisar antara hisab dan rukyat. Masing-masing pihak merasa lebih sesuai dengan perintah nas dan menegasikan pihak lain. Seiring perkembangan teknologi dan tuntutan zaman masing-masing pihak mulai menyadari pentingnya sebuah sistem kalender Islam yang mapan untuk keperluan yang lebih luas. Namun perdebatan masih muncul seputar fungsi kalender Islam ibadah dan muamalah.
Hikmahnya terjadinya antara hisab dan rukyat yakni, hendaknya umat Islam berlomba-lomba dalam kebaikan dalam menentukan awal bulan, baik melalui hisab maupun rukyat. Dan yang pasti adanya perbedaan ini sikap saling menghormati itu harus ada di dalam pribadi setiap muslim.
Integrasi Metode
Lahirnya perbincangan Badan Hisab Rukyat pada tanggal 5-6 Juli 1974, adanya badan ini untuk menumbuhkan prinsip keadilan, kesejajaran, saling mengakui eksistansi masing-masing, dan berkesinambungan. Kemudian prinsip ini ditindaklanjuti oleh Mentri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara yang menerapkan kebijakan Tilogi Kerukunan Umat Beragama, yakni: kerukunan umat intern beragama, kerukunan antarumat beragama, dan kerukunan antarumat beragama dengan pemerintah.
Setelah adanya perbincangan antara tokoh-tokoh pengguna hisab dan rukyat, tokoh-tokoh pengguna hisab menunjukkan bahwa mayoritas responden berharap hisab dan rukyat bisa diintegrasikan dengan memperhatikan kemaslahatan objektif, mengkaji persoalan penentuan awal bulan kamariah (Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah) secara terus menerus untuk mencari titik temu dalam membangun kalender Islam pemersatu.
Hasbi ash-Shiddiqey merupakan tokoh awal yang menggagas perlunya penyatuan kalender Islam global melalui artikel yang terbit pada tahun 1969 dengan judul “Tempuhlah Satu Djalan Sadja dalam Menentukan Awal Ramadan dan Syawal”. Selanjutnya Hasbi menawarkan konsep penyatuan melalui penyatuan matlak. Menurutnya perbedaan matlak tidak harus menjadikan perbedaan dalam memulai puasa dan Idul Fitri.
Menurut Hasbi tidak ada riwayat yang menjelaskan di masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin terjadinya perbedaan dalam memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan. Perbedaan itu terjadi pada masa Mu’awiyah.Hal ini, adalah karena akibat perbedaan pandangan politik, akibat kurang baiknya hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, sebagaimana yang lazim terjadi pada masa sekarang ini. Begitupun Hamka yang terkenal dengan “Tafsir Al-Azhar” yang berpendapat sama dengan Hasbi, meminta pemerintah tidak membiarkan umat Islam terkotak-kotak dalam mengawali dan mengakhiri Ramadan sesuai ormas masing-masing agar terjadinya penyatuan Kalender Islam Nasional.
Upaya menyatukan kalender Islam melahirkan Konferensi Internasional Penyatuan Kalender Islam di Istanbul Turki diadakan pada tanggal 28-30 Mei 2016. Dalam konferensi ini diusulkan 2 konsep konsep kalender Islam yang telah dikaji oleh Scientific Committee, yaitu kalender Islam Bizonal dan kalender Islam Terpadu.
Berdasarkan hasil voting dari para peserta, kalender Islam terpadu terpilih sebagai kalender yang diusulkan untuk dipedomani agar terwujud kesatuan umat Islam sedunia dalam mengawali dan mengakhiri Ramadan serta kebersamaan dalam melaksanakan Idul Adha. Dengan kata lain “Satu hari satu tanggal untuk seluruh dunia”. Hasil keputusan ini direspons positif oleh Muhammadiyah karena pada Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar, salah satu keputusannya menyerukan penyatuan kalender Islam.
Pandangan kedua menganggap hasil konferensi tersebut dapat diterima sebagai visi bersama untuk mewujudkan kalender Islam yang mapan, sedangkan implementasinya bertahap dengan mempertimbangkan problem yang berkembang di Negara masing masing. Mardi Ghadban dari Libanon dengan semangat menyampaikan kepada Qamar Uddin dari London perlu melakukan konferensi lanjutan untuk mengkaji hasil konferensi-konferensi sebelumnya.
Pandangan ketiga menanggapi secara negatif hasil konferensi tersebut dan masih mempertanyakan proses yang dilakukan. Bahkan Salman Zafar Syekh koordinator Panitia Penampakan Hilal of North America (HSCNA) menganggap metode voting yang dilakukan dalam memilih sistem kalender tidak memiliki landasan syar’i yang kuat dan tidak dicontohkan oleh rasulullah saw. Penolakan hasil konferensi Turki juga disampaikan oleh Sultann Alam dari Pakistan.
Uhadi dan Talwifi
Upaya kalender pernyatuan Islam telah lama dilakukan baik tingkat nasional maupun internasional, setidaknya 25 pertemuan tingkat dunia diselenggarakan, pada tahun 1437 H/ 2016 M pertemuan yang digelar di Turki menghasilkan keputusan tentang penggunaan kalender Islam unifikatif (satu hari satu tanggal untuk seluruh dunia). Malaysia menganggap konsep kalender Uhadi (kalender Islam unifikatif) dapat diterima sebagai alternatif mewujudkan penyatuan kalender Islam.
Kalender Uhadi salah satu pilihan menuju penyatuan kalender Islam sebagai model ideal dalam penyatuan. Pada pertemuan tanggal 21-23 Syakban 1437 H diputuskan penggunaan kalender Uhadi melalui pemungutan suara. Keputusan tersebut menyatakan bahwa kaidah kalender Uhadi menyebutkan bahwa seluruh dunia dinyatakan memulai bulan baru apabila telah terjadi Visibilitas hilal (imkanur rukyat) di belahan bumi manapun di muka bumi sebelum pukul 12.00 malam, dengan ketentuan (1) sudut elongasi setelah matahari terbenam minimal 8 derajat dan (2) ketinggian hilal di atas ufuk setelah matahari terbenam minimal 5 derajat. Pengecualian jika visibilitas pertama di muka bumi terjadi melewati pukul 12.00 malam maka bulan baru tetap dimulai apabila terpenuhi 2 syarat yaitu (1) visibilitas hilal memenuhi ketinggian hilal 5 derajat dan elongasi 8 derajat serta telah terjadi konjungsi sebelum waktu fajar di New Zealand dan (2) visibilitas hilal itu terjadi di Daratan Amerika bukan di lautan.
Apabila model uhadi masih menyisakan persoalan maka kalender Tawlifi (kalender Islam sintesa) dapat menjadi pilihan sekligus solusi awal. Kalender ini dibangun berdasarkan sistem kalender Muhammadiyah dan data hasil rukyat yang dimiliki oleh Nadhaltul Ulama’. Sistem yang dimaksud memberlakukan bulan-bulan kamariah sama dari Muharam hingga Zulhijjah seperti yang disyaratkan Q.S. At- Taubah ayat 36. Persoalan kalender Islam sesungguhnya masuk ranah fikih yang melibatkan proses ijtihad, masing-masing memproduksi konsep yang diyakini dan dipedomi berdasarkan “kemampuan” olah pikir terhadap Nash secara individual maupun kolegial yang memungkinkan adanya perubahan sesuai tuntutan zaman yang mengitarinya.
Dalam diskursus mengenai penyatuan kalender Islam sangat diperlukan wawasan yang luas, pengetahuan yang mendalam, dan keterbukaan dalam menerima pandangan dari luar sehingga akan memudahkan proses integrasi atau sintesa dalam perumusan kalender Islam pemersatu. Kendala yang dialami ini salah satunya yakni cara berpikir. Kini saatnya umat Islam bersepakat untuk bersama menuju peradaban yang mencerahkan dengan ” Merukyatkan Muhammadiyah dan Menghisabkan NU” melalui kalender Tawlifi.
Buku ini dapat memecahkan persoalan yang terjadi di Indonesia, dengan cara berfikir integrasi. Tak lupa perlu adanya sikap saling menghormati di dalam pribadi setiap muslim agar terjadinya persatuan. []
Judul : Penyatuan Kalender Islam
Penulis : Suskinan Azhari
Penerbit : Absolute Media
ISBN : 978-602-492-058-6