Wali Agung Bertemu Nabi dalam Terjaga Sekalipun Tak Setara Sahabat Nabi

Saya punya hutang kepada kawan-kawan untuk membahas “Dakuan, anggapan sebagian orang, mereka, atau orang yang dianggap saleh diantara mereka selevel dengan sahabat Nabi”.

Saya bisa memulainya dari Syeikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani (1849-1932M) atau dari Syeikh Badiuzaman Said Nursi (1877-1960M), dalam buku-bukunya keduanya menghadapi fenomena yang sama yaitu mulai merebaknya faham Wahabi, komunisme, dan sekularisme di Turki dan Libanon, tempat keduanya berjuang melawan kejumudan akibat wahabisme.

Faham wahabi yang mulai didakwahkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1791M), satu abad sebelum kedua ulama diatas, sudah mulai menyebar, selain melawan bid’ah, khurafat, dan syirik platform-nya adalah اللامذهبية, mempromosikan berislam tanpa mazhab.

Walaupun akhirnya dengan malu-malu mengaku bermazhab Hanbali, setelah diolok-olok sebab mereka mengutip berbagai fatwa ulama lintas mazhab.

Ajakan untuk tidak bermazhab tidak akan laku tanpa membangun opini; دعوالمساوى kesetaraan mereka dengan ulama agung; para mujtahid dan kesetaraan antara mereka dengan sahabat.

Menurut Syeikh Badiuzaman Said Nursi dalam الطلاسم, klaim kesetaraan itu bukan hanya supaya mereka dapat dengan leluasa meremehkan fatwa ulama mazhab (Syafii, Maliki, Hanafi dan Hanbali) dihadapan awam; seakan-akan mereka juga punya reputasi sama dalam berbicara furu diniyah; cabang-agama soal detail fikih, tetapi juga mereka ingin meruntuhkan apa yang disebut oleh ulama الضروريات الدينية atau apa yang di dunia Pesantren dikenal dengan ما هو معلوم بالضرور, kewajiban agama yang niscaya wajib diketahui, masuk dalam ushuluddin; salat, zakat, puasa, haji, dan pokok agama lainnya.

Jika tadi benteng masalah furuiyah sudah diruntuhkan, dengan klaim هم رجال ونحن رجال, jika ulama mazhab itu adalah ulama kami juga ulama atau kami juga sama dengan mereka sama-sama menguasai masalah agama, maka mereka hendak meruntuhkan benteng ushuluddin, pokok agama, siapa mereka? Tiada lain adalah sahabat Nabi رضي الله عنهم.

Baca Juga:  Bertemu Nabi Muhammad lebih Mudah dari Bertemu Wali

Orang-orang yang tidak bermazhab sejak abad 18, barangkali lebih awal dari itu, sudah mengaku setara dengan ulama mazhab dan setara dengan sahabat Nabi saw bahkan lebih unggul. Ini sebenarnya trik penyebaran faham Wahabi, kelompok wahabi hanya bisa menyebar disuatu daerah manakala otoritas keulamaan dalam berbagai hierarkinya diruntuhkan.

Para ulama marah sekali saat pertama kali mereka mendengar klaim-klaim tak tahu diri dan tak punya malu semacam itu, misalnya Baiduzaman menulis;

أن أجماع أهل السنة والجماعة على أن أفضل البشر بعد الأنبياء هم الصجابة حجة قاطعة… فمن ذلك السر لا يستطيع أعظم الأولياء أن يبلغ درجة الصحابة. حتى أن من حظي كثيرا بالصحبة النبوية -يقظة- كجلال الدين السيوطي – وان التقو بالرسول الأكرم يقظة وتشرفوا بصحبته فى هذالعالم لا يستطيعون كذلك أن يبلغوا درجة الصحابة.

” Kesepakatan (konsensus: ijma) ulama Ahli Sunah wal Jamaah manusia paling mulia setelah para Nabi adalah para sahabat Nabi Muhammad saw, itu adalah argumen yang tak dapat dibantah… Oleh sebab itu, tidak akan mampu seorang wali paling agung sekalipun menyampai derajat (kemuliaan) sahabat Nabi (paling rendah sekalipun). Bahkan Wali Agung yang diberi anugerah dapat menyertai (suhbah) Nabi saw dalam keadaan terjaga seperti Imam Jalaludin al-Suyuthi, meskipun berjumpa dan menemani Nabi saw dalam keadaan terjaga, demikian juga para wali Agung lainnya (selama mereka hidup dan bertemu Nabi dalam keadaan terjaga) tidak akan bisa sampai pada derajat sahabat”.

Jadi pembelaan bahwa “Mualaf boleh berdakwah dengan alasan bahwa para sahabat Nabi saw baru Islam saja boleh berdakwah”, adalah pembelaan yang sangat kurang ajar. Sikap congkak yang telah dipelihara selama 3 abad lamanya; menganggap dirinya setara dengan para sahabat Nabi saw.

Baca Juga:  Resep Bertemu Rasulullah dari Habib Umar bin Hafidz

Tidaklah heran jika kelompok tidak bermazhab ini menganggap Nabi pernah sesat, mengaku belajar langsung kepada Nabi, menyamakan mualaf dengan sahabat Nabi. Karena mereka tidak mengenali kemuliaan ulama, kemuliaan Tabiin, kemuliaan sahabat dan akhirnya mereka menganggap Nabi pernah sesat seperti dirinya yang pernah nakal sebelum jadi ustaz.

Lalu apa alasan para ulama bersepakat tidak ada orang saleh setelah era sahabat yang dapat menggapai kemuliaan yang telah diraih para sahabat Nabi? Akan saya uraikan ditulisan berikutnya (setelah luang). Wallahu A’lam. [HW]

Ahmad Tsauri
Dosen IAIN Pekalongan, Alumnus UIN Sunan Kalijaga, dan Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini