Aplikasi qiyas dalam ekonomi islam
Pengertian Qiyas

Qiyas  diartikan dengan mengira-ngirakan atau menyamakan sedangkan meng-qiyas-kan berarti mengira-ngirakan atau menyamakan sesuatu terhadap sesuatu yang lain. Ada juag pendapat lain menurut para ulama, salah satunya menurut Ulama usul fikih mendefinisikan qiyas sebagai menyamakan sesuatu yang tidak ada nas hukumnya dengan sesuatu yang ada nas hukumnya hal ini di sebabkan karena adanya persamaan ‘illat hukum. suatu penerapan hukum analogis terhadap suatu hukum yang serupa yang disebabkan oleh prinsip persamaan ‘illat yang dapat menghasilkan hukum yang sama pula. ayat di dalam Al-qur’an yang dapat dijadikan lndasan untuk berlakunya qiyas di dalam menggali hukum, yaitu pada Q.S An-Nisa’(4):59 & al-Hasyr (59):2

Aplikasi Qiyas dalam Ekonomi Islam

Dinamika akad-akad dalam ekonomi Islam khususnya dalam keuangan kontemporer mengalami perkembangan dan inovasi. Oleh karena itu, dibutuhkan kejelian dalam menelisik dan merumuskan epistemologinya. Dalam konteks ini, para praktisi perbankan syari’ah berusaha kreatif dalam menawarkan produk-produk akad syari’ah. Salah satu dari sekian aplikasi konsep Qiyas dalam dunia perbankan syari’ah antara lain:

  1. Qiyas Jaminan Fidusia Terhadap Bai’ al-Wafa

Bank syari’ah dengan segala produk layanannya dalam menjalankan kegiatan usahanya juga berpedoman pada ketentuan perbankan secara umum maupun ketentuan lainnya seperti pengaturan tentang jaminan fidusia yang diatur dalam UU nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia. Salah satu pembiayaan yang cukup berkembang pada perbankan syari’ah adalah pembiayaan murabahah, karena pembebanannya dianggap sederhana, mudah dan relatf cepat. Dengan demikian, bila dalam pelaksanaan akad murabahah yang telah disepakati, debitur melakukan wanprestasi maka kreditur penerima fidusia dapat melakukan eksekusi sebagaimana diatur dalam pasal 29 Undang-Undang Jaminan Fidusia. Terkait hukumnya, transaksi murabahah di bank syari’ah dengan menggunakan jaminan fidusia ini dapat di-qiyas- kan dalam hukum bai’ al-wafa’. Bai’ al-wafa’ pada dasarnya adalah penjualan komoditas dengan syarat bahwa penjual dibolehkan untuk mendapatkan komoditas kembali saat membayar harganya. Oleh karena itu, dalam bai’ al-wafa’, penjual dengan mengembalikan harga, dapat menuntut kembali komoditas yang dijual, dan pembeli, dengan mengembalikan komoditas yang dijual, bisa meminta harga yang harus diganti. Dari sini, dalam konteks operasional metode qiyas, yang menjadi ashl adalah bai’ al-wafa’ dan furu’-nya adalah sama-sama jaminan untuk mendapatkan kepercayaan mendapatkan pinjaman. Dengan begitu, hukum fidusia ini berdasarkan metode qiyas, maka sama dengan hukum transaksi bai’ alwafa’.

  1. Qiyas Tawarruq Terhadap Bai’ al-Inah

Menurut Wahbah al-Zuhaili, bai’ al-Inah adalah pinjaman yang direkayasa dengan praktik jual beli. Misalnya, Salwa menjual mobilnya seharga Rp. 125.000.000.-, kepada Najwa secara tempo dengan jangka waktu pembayaran 3 bulan mendatang. Sebelum waktu pembayaran tiba, Salwa membelinya kembali dari Najwa dengan harga Rp. 100.000.000.- secara kontan. Najwa menerima uang cash tersebut, tapi ia tetap harus membayar Rp. 125.000.000.-, kepada Salwa untuk jangka waktu 3 bulan mendatang. Selisih Rp. 25.000.000.-, dengan adanya perbedaan waktu merupakan tambahan ribawi yang diharamkan. Adapun hukum bai’ al-inah identik dengan ba’i al-ajal. Pada dasarnya, transaksi bai’ al-inah menggunakan rekayasa atau hilah akad-akad sah untuk melakukan riba, dengan tujuan mengeksploitasi kelemahan orang lain. Muhammad Shalah Muhammad al-Shawi berpendapat bahwa perbuatan seperti yang dimaksud merupakan usaha penipuan dan mempermainkan tujuan-tujuan atau spirit syari’at; dan tidak diragukan lagi tentang keharamannya karena jalannya menuju keharaman, dan perbuatan manusia diukur sesuai dengan niatnya. Sementara transaksi tawarruq berarti seseorang membeli suatu barang atau komoditas dari penjual (pertama) berdasarkan pembayaran tangguh atau tidak tunai, dengan pengertian bahwa pembeli tersebut akan membayar harga yang telah disepakati secara angsuran, atau dibayar secara penuh sekaligus di masa depan. Tawarruq terjadi ketika barang itu telah dibeli, dan pembeli itu langsung menjualnya kembali ke pihak ketiga, tetapi bukan penjual pertama dengan harga tunai, yang lebih rendah dari harga beli semula. Wahbah al-Zuhaili menegaskan karakteristik dari tawarruq, yaitu tujuannya bykan untuk memperoleh komoditas tetapi digunakan untuk menutupi niat memperoleh likuiditas, tawarruq dan inah pada dasarnya sama sebagai praktik riba.

  1. Qiyas Bunga Bank Terhadap Praktik Riba

Memahami bunga bank dari aspek legal dan formal dan secara induktif, berdasarkan pelarangan terhadap larangan riba yang diambil dari teks (nash), dan tidak perlu dikaitkan dengan aspek moral dalam pengharamannya. Paradigma ini, berpegang pada konsep bahwa setiap utang-piutang yang disyaratkan adanya tambahan atau manfaat dari modal adalah riba, meskipun tidak berlipat ganda. Oleh karena itu, betapapun kecilnya, suku bunga bank tetap hukumnya haram. Karena berdasarkan teori qiyas, dan dalam hal ini praktik riba sebagai ashl dan Bungan bank sebagai far’u. Keduanya, disatukan dalam illat yang sama yaitu adanya tambahan atau bunga tanpa disertai imbalan. Dengan demikian, bunga bank hukumnya haram sebagaimana diharamkannya riba. []

Venda Qanata An Nazily
Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini