Bagi kita (seorang santri), pastilah begitu sering mendengar atau membaca beberapa kalam hikmah dan kisah hebat bagaimana perjuangan seorang santri di masa lalu dalam memenuhi perintah seorang guru. Sangat iri rasanya ketika mengingat seberapa besar rasa cinta mereka pada ilmu, hingga menjadikan sumbernya, yang tak lain seorang guru sebagai sosok yang begitu dimuliakannya. Hal ini memang sebuah kewajiban bagi seorang murid untuk isa memperoleh keberkahan ilmu. Tidak hanya sibuk belajar, menghabiskan waktu dengan ilmu, keberkahan dan kemanfaatan ilmu juga perlu diimbangi dengan tindakan-tindakan sirri melalui pengabdian pada guru, memulyakan derajatnya, melaksanakan perintahnya, menjauhi apa yang dilarangnya, menyenangkan hatinya, dengan tujuan akhir memperoleh keridhoannya.
Ada sebuah kisah yang masih terngiyang jelas dalam ingatan, bagaimana kisah KH. Abdul Karim (pendiri Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri) ketika berguru pada Syaikhona Cholil (Bangkalan). Dikisahkan saat itu KH. Abdul Karim bersama temannya yang bernama Abdullah Faqih (Banyuwangi) pergi ke sekitar Banyuwangi dan jember. Disana mereka bekerja mengetam padi bersama warga. Sebagai imbalan dari tenaga yang terkuras, mereka diberi masing-masing satu karung beras.
Abdul Karim kemudian kembali ke Bangkalan. Tidak ada kendaraan yang bisa ditumpanginya kecuali alas kaki yang dikenakannya. Tak terbayang betapa melelahkan perjalanan beliau yang juga harus menyebrangi Selat Madura untuk sampai di tempat tujuan. Sesampainya disana beliau disambut oleh terik matahari yang begitu menyengat. Lelah yang dirasakan dua kali lebih berat, karena kini ada sekarung beras yang dipikul dipunggungnya. Tapi semua itu tak lagi beliau dihiraukan, karena mengingat sebentar lagi beliau akan bertemu Guru yang sangat dicintainya.
Singkat cerita, akhirnya sampailah beliau ditempat tujuan. Disana beliau langsung disambut oleh Sang Guru. Namun ternyata apa yang terjadi? Sang Guru meminta sekarung beras yang dipikulnya jauh-jauh hanya untuk diberikan pada ayam peliharaan sang guru. Dan sebagai gantinya beliau diperintah untuk memakan dedaunan yang tumbuh di sekitar pesantren. “Sendiko dawuh”, itulah kalimat yang diucapkan beliau tanpa perasaan kecewa sedikitpun pada Sang Guru.
Keikhlasan dalam mematuhi perintah Guru dan rasa takdhim beliau ternyata menjadikan ilmu yang diperoleh dipenuhi keberkahan. Saat ini dapat kita lihat sendiri bagaimana hasil pengabdian itu berluber keberkahan. Coba kita lihat, kini pesantren yang didirikan beliau begitu berkembang pesat, bahkan menjadi salah satu pesantren terbesar di Indonesia, yang juga menjadi pencetak tokoh-tokoh hebat, yang terus eksis ditengah peradaban zaman.
Betapa kita tidak iri dengan kisah tersebut. Begitu miris ketika kita mengingat diri yang masih sering mengeluh ketika diperintah seorang guru. Bahkan hanya untuk sekedar membantu roan pembanguan pesantren saja kadang kita banyak mengeluh, dengan alasan capek dan lelah. Padahal itu tidak sebanding dengan banyaknya ilmu yang telah kita ambil dari beliau. Yang bahkan karena itu, beliau menggadaikan waktunya yang berharga hanya demi kita, para santrinya.
Maka dari itu, mari sama-sama kita tanamkan dalam diri kita untuk berusaha membahagiakan guru, meskipun sudah tidak lagi di pesantren. Setidaknya kembali mengingat lagi apa yang menjadi pesan beliau dan berusaha mengamalkannya. Mengunjungi beliau untuk bersilaturrahim dan mencari keberkahan doanya. Dengan begitu insyaAllah kita akan selalu diliputi kebaikan karena senantiasa mendekat dengan orang-orang yang dekat dengan Allah.
Semoga tulisan ini menjadi motivasi bagi kita untuk terus takdhim pada guru. Menjadikan keridhoannya sebagai tujuan utama, agar keberkahan ilmu beliau bisa kita dapat dan mendatangkan banyak manfaat. Aamiin. [HW]