Kesetaraan Gender Dalam Diskursus Teologi Pembebasan Asghar Ali Engineer

Berbicara perempuan dari masa ke masa selalu menarik untuk diperbincangkan kembali ke permukaan. Hal ini karena adanya stigma negatif perihal perbedaan antara laki-laki dan perempuan baik dari segi substansi kejadian maupun peran yang diemban dalam masyarakat menjadi problem tersendiri. Di masa jahiliah, kaum perempuan dipandang sebelah mata dalam kehidupan, direndahkan, tidak dihargai bahkan apabila lahir seorang anak perempuan, maka bayi tersebut dikubur hidup-hidup. Sebelum Islam datang, seorang perempuan tidak memiliki peran apa pun kecuali persoalan kasur, dapur, dan sumur. Dari perspektif sejarah, perempuan kerap menjadi korban mitologi, ketidaknyamanan saat hamil, dan rasa sakit yang dialami ketika melahirkan. Hal tersebut dianggap sebagai hukuman atas dosa pertama (dosa Hawa).

Di tengah sosio-kondisi kaum perempuan yang memprihatinkan itu, Islam datang sebagai petunjuk, kabar gembira, dan peringatan bagi umat manusia, dengan seketika pandangan terhadap perempuan berubah. Status kaum perempuan diangkat dan dicabut dari segala bentuk kezaliman dan kesewenang-wenangan. Dalam ajaran Islam, kedudukan antara laki-laki dan perempuan sama, artinya Islam tidak memihak di antara salah satunya. Hal ini diperkuat oleh firman Allah bahwa “Wahai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa di sisi Allah”. (QS. Al-Hujarat: 11)

Ayat ini mengindikasikan bahwa Islam sejak kedatangannya, merupakan agama yang sangat menjaga harkat dan martabat kaum perempuan dengan berpegang pada prinsip persaudaraan, kesetaraan, dan keadilan sosial. Dengan demikian, Engineer mamandang Islam sebagai agama yang didalamnya sarat akan semangat pembebasan. Maka Engineer mencoba untuk membangun kembali nilai-nilai pembebasan tersebut sebagai bentuk teologi pembebebasan.

Baca Juga:  Laboratorium Kesetaraan Gender Itu Bernama Pesantren
Sekilas tentang Asghar Ali Engineer

Asghar Ali Engineer merupakan seorang feminis yang memiliki semangat kuat untuk membela hak-hak kaum perempuan dalam Islam. Selain itu, Engineer merupakan aktivis sekaligus pemikir yang terkenal dengan kontribusinya pada studi Islam dan gerakan progresif. Engineer lahir di India pada tanggal 10 Maret 1939 di sebuah daerah bernama Salumbar Rajasthan. Ia berasal dari keluarga Bohras yang merupakan sekte dari Syiah Ismailiyah. Ayahnya, Syekh Qurban Husain, salah seorang ulama dan pemimpin Dawoodi Bohras, dan ibunya bernama Maryam. Komunitas Bohras, termasuk sekte Syiah yang beraliran ekstrem-fundamental. Kendati demikian, ayah Engineer lebih dikenal sebagai ulama liberal, terbuka dan berpikiran inklusif terutama ketika melakukan diskusi-diskusi dengan kelompok yang berbeda aliran atau agama.

Untuk menyebarkan gagasan-gagasan briliannya tentang pembebasan manusia dari berbagai belenggu yang mengitarinya khususnya mengenai hak-hak perempuan, ia bergabung pada gerakan reformasi Dawoodi Bohras sekitar tahun 1970-an. Tidak hanya itu, ia kemudian mendirikan dan menahkodai sejumlah lembaga yang bergerak dalam penyebaran ide-ide progresif, seperti Institut of Islamic Studies (IIS), Center for Study of Society and Secularism (CSSS), dan Asian Muslim Action Network (AMAN). Pun juga, ia menulis berbagai artikel yang telah dipublikasikan di berbagai penerbit dan website.

Kesetaraan gender dalam diskursus teologi pembebasan Engineer

Sebagai seorang feminis, Engineer memandang mengakarnya sikap diskriminasi terhadap perempuan perihal ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan, merupakan akibat doktrin teologis. Seperti, adanya anggapan bahwa seorang perempuan tidak boleh beraktivitas di luar rumah karena ia tidak pantas memegang kekuasaan bahkan diklaim tidak memiliki kemampuan laiknya seorang laki-laki. Anggapan seperti ini tidak memberikan kebebasan berkehendak (pilihan) atau secara langsung membunuh kreativitas seorang perempuan dalam menentukan pilihan-pilihannya. Aktivitas seorang perempuan menjadi sempit dan hanya boleh beraktivitas di dalam rumah.

Baca Juga:  Delusi Kesetaraan Gender

Padahal menurut Engineer, Al-Qur’an dengan tegas memberikan tempat yang mulia bagi semua manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Al-Qur’an menyatakan bahwa status sosial perempuan sama dengan status sosial laki-laki. Berdasarkan hal ini, konstruksi pemikiran Engineer tentang kesetaraan gender berangkat dari kecemasan, yaitu status kaum perempuan dalam Islam yang masih memprihatinkan, sehingga gagasan emansipatoris yang digaungkannya patut kiranya untuk dilirik.

Konstruksi pemikiran Engineer hingga saat ini masih sangat menarik untuk diperbincangkan kembali karena ia tidak sekadar memberikan kerangka teoretis bagi pemikiran keagamaan Islam. Tetapi ia juga memberikan landasan teologis dalam memperjuangkan pembebasan perempuan terutama bagi para aktivis kesetaraan gender. Dalam memperjuangkan hak-hak perempuan, Engineer menggunakan paradigma yang bertolak belakang dengan pemikiran Islam yang berkembang selama ini.

Letak perbedaan tersebut sekurang-kurangnya meliputi dua hal: Pertama, ia melihat problem yang berkembang di dunia Islam perihal ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan tidak hanya dari satu aspek metodologis seperti fikih, tetapi juga meliputi aspek filosofis, antropologis, sosiologis, dan sejarah. Kedua, dalam menyajikan karya pemikirannya, ia menggunakan pendekatan sosio-kultural yang dihadapi masyarakat Islam di era modern saat ini.

Dengan demikian, upaya Engineer untuk membangun kembali nilai-nilai pembebasan khususnya perihal status perempuan, adalah dengan melihat konteks sejarah pembebasan yang telah dilakukan Nabi Muhammad Saw dan menilik pesan-pesan yang disampaikan dalam Al-Qur’an. Misalnya, di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang membahas tentang persoalan pembebasan seperti ayat tentang memerdekakan budak, kesetaraan gender, kesetaraan bagi seluruh umat manusia, dan lain sebagainya.

Jadi, asusmi dasar teologi pembebasan yang digagas oleh Asghar Ali Engineer berangkat dari hakikat manusia itu sendiri, di mana manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang mempunyai kebebasan sendiri, makhluk yang cerdas, makhluk yang cenderung pada kesetaraan dan keadilan. Sehingga, secara alamiah manusia akan melawan pelbagai bentuk penindasan yang dapat mengancam harkat dan martabat dirinya. []

Saidun Fiddaraini
Sempat nyantri di PP Nurul Jadid, Paiton, dan sekarang Tinggal di Kepulauan Kangean, Sumenep. Minat Kajian adalah keislaman dan filsafat.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini