Taubat Orang Awam dan Orang Khusus

Taubat dalam agama dipahami sebagai kembalinya seorang hamba kepada Tuhannya karena telah berbuat kemaksiatan. Orang-orang awam yang tergelincir dalam godaan nafsunya sehingga terjebak pada kemaksiatan, maka saat itulah dituntut untuk melakukan pertaubatan kepada Allah.

Hal ini berbeda dengan kalangan orang-orang khusus (al-khawas). Menurut al-Buthi, orang khusus ini dituntut bertaubat dari sikap lalai (ghaflah) dari Allah. Para kekasih Allah (para wali) yang lalai dalam setiap hembusan nafasnya, dituntut untuk bertaubat, meminta ampun kepada-Nya.

Dalam konteks inilah, Imam al-Nawawi dalam biografinya disebutkan selalu beribadah di setiap waktunya. Tak sedetikpun melewatkan waktunya kecuali hatinya selalu terkoneksi dengan Allah. Sehingga tak heran, saat mengarang buku beliau merasa ghaflah dari-Nya, segera mengucap: “astaghfirullah“.

Begitulah kondisi para kekasih Allah. Dalam setiap kondisi apapun senantiasa terhubung hatinya dengan Allah. Jika pun terjadi gangguan dalam koneksi, maka segera meminta ampunan dari-Nya.

Jadi, taubatnya orang awam adalah dari kemaksiatan, tetapi taubatnya para kekasih Allah dari perbuatan ghaflah. Termasuk para Nabi dan Rasul, karena mereka terjaga dari maksiat, tetapi mungkin “tergelincir” dalam ghaflah.

Inilah maksud dari ayat: “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian bertaubat kepada Allah, supaya kalian mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat”. [QS An Nuur: 31]

Ini juga sejalan dengan kaidah dalam tasawuf: hasanat al-abrar sayyiat al-muqarrabin. Sesuatu yang dianggap kebaikan bagi orang biasa, itu tidak cukup bagi para kekasih dan orang-orang yang dekat dengan Allah.

Akhirnya, kesadaran untuk bertaubat, kembali kepada-Nya adalah ajaran universal bagi semua kalangan (awam-khusus). Meskipun sebabnya bisa jadi berbeda-beda. Maka, mari bertaubat di setiap kekalahan kita atas melawan hawa nafsu kita yang selalu menggoda kepada kemaksiatan.

Baca Juga:  Kisah Sufi Taubat dalam Hobi Berburu

Moh. Mufid
(Penulis Buku”Islam Teduh: Nasihat Spiritual Syaikh Al-Buthi“)

Catatan: mohon pembaca berkenan membacakan Surah Al-Fatihah untuk Syaikh al-Buthi karena hari ini adalah tanggal wafat beliau (21/3/2013). Syaikh al-Buthi adalah sang ulama Rabbani yang bergelar “Syahid al-Mihrab“. Lahul Fatihah. [HW]

Moh Mufid
Redaktur Maqasid Centre, Penulis Buku dan Dosen Maqasid Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Santri Alumni PP Mambaul Ulum Dagan Lamongan, PP Tambakberas Jombang, dan PP Salafiyah Safi'iyyah Asembagus Situbondo, Alumni Fakultas Syariah Wal Qanun Al-Ahgaff University Hadhramaut Yaman, Alumni Magister Filsafat Hukum Islam IAIN Antasari Banjarmasin dan Doctoral UIN Alauddin Makassar.

    Rekomendasi

    neoplatonisme-5
    Opini

    Neoplatonisme (5)

    Para Cendekiawan muslim ketika itu berusaha memasukkan filsafat Yunani sebagai bagian dari metodologi ...

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah