Sebenarnya malam ini saya ingin menulis tentang haflah Assalam, terutama isi mauidhoh bapak saat mengisi dalam inti acara haflah kemarin. Tapi ternyata keadaan belum memungkinkan untuk menuliskan tentang hal tersebut. Terlalu banyak hal yang ingin saya tulis, berbarengan dengan terlalu banyak hal lain yang terjadi beberapa hari ini. Dan salah satu yang lebih ringan dan mudah dituliskan adalah hasil jagongan dengan salah satu alumni yang kebetulan anaknya ikut wisuda kemarin.

Setelah acara selesai, ada beberapa wali santri khotimin yang bertamu kerumah. Dan kita njagong tentang banyak hal. Mulai dari bagaimana perjalanan, musim didaerah masing-masing, hingga dinamika politik saat ini. Namun rata-rata tamu ini tak lama kemudian langsung pamitan pulang, karena memang waktu sudah mendekati tengah malam. Salah satu rombongan tamu yang bertahan hingga dinihari adalah tamu alumni yang sudah biasa begadang, dan memang sudah akrab dengan saya pribadi. Kita njagong tentang apa saja yang terlintas, dan salah satu yang menurut saya lumayan penting adalah tentang wiridan. Sesuatu yang tidak semua orang, bahkan santri, yang menganggap ini hal penting untuk diamalkan.

Sebagaimana yang diterangkan bapak suatu ketika saat ngaji ihya’:”Kadang enten tiang kang dijak mbahas bab hikmah niku uteke orak teko. Ora usah omong akeh-akeh karo wong seng ngono iku. Lek teko aqale yo ora bakal nentang(kadang ada orang yang kalau diajak membahas tentang ilmu hikmah itu otaknya tidak sampai. Tidak usah omong banyak dengan orang yang seperti itu, kalau memang aqalnya sampai, pasti dia tidak menentang)”. Bapak ngendikan seperti ini ketika membahas tentang banyak amalan hikmah yang bisa membantu keberhasilan proses kita, namun dianggap mustahil bahkan tahayul oleh sebagian orang.

Baca Juga:  Amalan Agar Anak Rajin Ngaji, Kerasan Mondok Dan Menjadi Orang Alim

Namun karena kami yang sama-sama santri Kwagean, kami tahu bahwa salah satu identitas khas santri Kwagean adalah mengistiqomahkan wiridan. Adapun wiridan apa yang dipilih, adalah pilihan masing-masing. Dan kami sepakat, bahwa wiridan inilah yang pada akhirnya menjadi salah satu faktor penting dalam mengantarkan sedikit kesuksesan, kalau memang sedikit manfaat yang telah kami capai ini dianggap sedikit keberhasilan.

Kemudian kami saling membandingkan wiridan yang telah kami amalkan, dan saling memberikan tips bagaimana menjaga istiqomah. Ada yang disambi ngopi, bahkan rokokan biar gak ngantuk. Ada juga yang kadang harus disambi jalan-jalan. Pembahasan kemudian mengerucut pada amalan apa yang paling tepat bagi mereka menurut saya.

Saya pribadi bingung setiap kali ditanya seperti ini, karena memang menurut keyakinan saya, amalan itu seperti jodoh. Dia akan datang dengan sendirinya kepada kita saat waktunya. Kalaupun tidak datang sendiri, maka amalan tersebut akan dipilihkan oleh guru atau oleh seseorang yang menjadi pendidik kita.

Bila satu amalan telah kita dapatkan, maka langkah selanjutnya adalah mengistiqomahkan. Proses panjang pengistiqomahan ini adalah juga perjalanan ruhani dalam menemukan diri. Saat satu amalan telah kita tegakkan dengan paksa, dan kemudian dapat berdiri dengan perkasa, adalah saat kita telah bergelut dengan diri dalam melawan diri sendiri. Kita kadang belum mampu menaklukkan, namun kita bisa punya lebih pengetahuan. Tentang diri sendiri dan ego keakuan.

Proses ini sesuai dengan yang diajarkan bapak pada kami, santri Kwagean: “Ngelakoni yo gal sitok, sitok. Wes cukup terus ditambahi sitok, sitok(dalam menjalankan amalan apapun, lakukan satu persatu. Bila sudah cukup mampu diistiqomahkan, kemudian baru ditambahi lagi, satu satu)”.

Proses satu satu ini, demi menghindari kesalahan prosedur dalam lakon perjalanan ruhani. Sesuatu yang sering terjadi bagi para pencari jati diri dan tuham namun tanpa guru yang mengarahkan. Dia pungut dan kemudian lakukan apapun yang ditemukan, hingga akhirnya edan. Sebagaimana yang diingatkan oleh bapak:”Dek e gak eroh lek kadangkolo wiridan kabeh dibarengke, dek e gak kuat. Enten kang wiridan thoriqoh kabeh dibarengne, terus gak kuat. Kenyataane malah kal majnun. Karepe onjo-onjo, kuabeh dilebokne. Yo ora iso(kadang seseorang itu tidak tahu, kalau semua wiridan dilakukan bersamaan, dia tidak kuat. Kadang ada yang mewiridkan wiridan thoriqoh, lalu semua jenis thoriqoh bareng-bareng diamalkan, kemudian dia tidak kuat. Kenyataanya justru membuat dia seperti orang gila. Pengennya semua diraup, didapatkan. Namun tidak bisa)”.

Baca Juga:  Keutamaan dan Amalan pada 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah, Begini Penjelasan Lora Ismael

Pada akhirnya kita harus fahami, bahwa wiridan adalah perjalanan ruhani. Perlu seorang guru yang mengarahkan dan memilihkan wirid yang dijalani. Dan kemudian harus diistiqomahkan dengan perlahan dan sepenuh hati.

#salamKWAGEAN

Muhammad Muslim Hanan
Santri Alumnus PIM Kajen dan PP Kwagean Kediri

    Rekomendasi

    1 Comment

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah