Pengantar

Tahun ini (2024), beberapa IAIN akan beralih status menjadi UIN, salah satunya adalah IAIN Ponorogo. Pada saat pembahasan alih status dari IAIN ke UIN, sekitar tahun 2022, bertempat di salah satu hotel syariah di Solo, ibu Rektor dan bapak wakrek I menyepakati menggunakan nama UIN Ponorogo saja, tanpa ada embel-embel nama tokoh di belakangnya sebagaimana UIN-UIN yang ada. Keduanya membangun argumen dengan mengambil contoh nama-nama perguruan tinggi yang ada di luar negeri, yang katanya tanpa nama tokoh, dan di dalam negeri terdapat satu UIN yang tidak menggunakan nama tokoh seperti UIN Salatiga.

Terhadap nama UIN Ponorogo yang hampir disepakati oleh forum itu, saya mengusulkan tetap menggunakan nama tokoh lokal karena visi dan misi Kementerian Agama RI dan tentu saja IAIN Ponorogo sendiri senantiasa memunculkan unsur lokalitas, seperti dialog Islam dengan budaya lokal, dan seringkali memunculkan pemikiran tokoh lokal yang berpengaruh dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia. Sejalan dengan itu, saya mengusulkan nama Kiai Ageng Muhammad Besari, salah satu kiai berpengaruh yang membabat Islam di Ponorogo, untuk menjadi simbol lokalitas nama UIN menjadi UIN kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo.

Alih status kelembagaan ini sebagai sebuah keniscayaan dan ia sangat penting dilihat dari tiga sisi: kelembagaan, kepentingan masyarakat, dan bangunan epistemologi keilmuan.

Nilai akreditasi perguruan tinggi akan semakin meningkat ketika IAIN beralih status menjadi UIN. UIN yang boleh membuka fakultas dan prodi umum memberi kesempatan yang luas kepada masyarakat lokal yang ingin melanjutkan studinya ke prodi umum yang selama ini hanya ada di perguruan tinggi umum seperti UGM, UI dan sebagainya, dan berada di Ibukota Propinsi. Apalagi, mereka selalu gagal masuk perguruan tinggi umum itu karena persaingannya sangat ketat. Lebih-lebih, mereka yang ikut berkompetisi itu adalah lulusan pondok pesantren yang tentu saja kemampuan ilmu umumnya lebih lemah daripada ilmu agamanya. Sementara peserta saingannya berasal dari sekolah-sekolah umum yang tentu saja kemampuan ilmu umumnya lebih kuat dari mereka yang berasal dari pondok pesantren atau sekolah agama. Biaya masuk di UIN relatif terjangkau oleh masyarakat menengah ke bawah.

Karena itulah, IAIN Ponorogo yang berada jauh dari ibu kota propinsi Jawa Timur ini penting berubah menjadi UIN. Harapan meningkatnya peserta didik yang masuk ke UIN akan terbuka lebar, karena Ponorogo berada di daerah yang jauh dari perguran tinggi yang menjadi kompetitornya. Ponorogo berada jauh dari ibukota propinsi Surabaya, Semarang dan Yogyakarta. Ponorogo juga jauh dari UIN Satu Tulungagung dan IAIN Kediri. Ponorogo berada di tengah-tengah antara kabupaten Pacitan, Trenggalek, Wonogiri, Madiun, Ngawi dan Nganjuk. Dari segi jarak, tentu saja kabupaten-kabupaten itu lebih dekat ke Ponorogo daripada ke ibu kota propinsi, Tulungagung dan Kediri.

Alih status perguruan tinggi yang memberi mandat yang lebih luas kepada UIN untuk membuka fakultas dan prodi umum secara otomatis memengaruhi pergeseran paradigma keilmuan yang menjadi penyangganya, dari paradigma keilmuan yang menjadi penyangga IAIN ke paradigma keilmuan yang menjadi penyangga UIN sebagaimana bisa kita lihat pada UIN-UIN lain. Bagaimana paradigma keilmuan yang sejatinya digunakan jika IAIN Ponorogo beralih status menjadi UIN? Sebagai bentuk apresiasi atas proses alih status itu, saya coba meneroka (menawarkan) sebuah gagasan paradigma keilmuan UIN kiai Ageng Muhammad Besari dengan fokus pada tiga hal: pertama, korelasi alih status dan paradigma keilmuan; kedua, paradigma keilmuan integralistik; ketiga, workshop dan FGD.

Alih Status dan Pergeseran Paradigma Keilmuan

Penting dicatat, ada perbedaan pandangan antara manusia religius dengan manusia non-religius. Manusia religius memandang dunia secara dikotomis, sebaliknya manusia non-religius memandang dunia secara tunggal. Menurut manusia religius, dunia terbagi menjadi dua kategori, yakni dunia yang sakral dan dunia yang profan, sedang manusia non-religius memandang hanya ada satu kategori dunia, yakni dunia profan. Yang dimaksud dunia di sini adalah kategori ruang dan waktu. Dunia yang sakral adalah suatu ruang dan waktu dimana Tuhan di asumsikan “ada” di dalamnya, dan manusia berhubungan dengan Tuhan, seperti ka’bah, mesjid, mushalla, kuburan para ulama’; bulan romadan, hari jum’at, dan waktu tengah malam. Sedang yang profan adalah dunia murni yang diasumsikan tidak “ada” Tuhan di dalamnya, dan manusia samasekali tidak berhubungan dengan Tuhan sebagaimana tempat-tempat pada umumnya, seperti jalan, lapangan, sawah dan sebagainya; serta bulan-bulan, hari-hari dan waktu pada umumnya.

Di Indonesia, mayoritas manusia bersifat religius, sehingga mereka memandang dunia secara dikotomis. Pandangan dunia yang dikotomis itu tentu saja memengaruhi mereka dalam memandang ilmu pengetahuan, sehingga lahir ilmu agama dan ilmu umum (non-Agama). Ilmu agama khusus berkaitan dengan persoalan-persoalan yang sakral yang ada korelasinya dengan Tuhan dan akhirat, sedang ilmu umum lebih luas untuk persoalan-persoalan yang profan yang berkorelasi dengan kehidupan manusia di dunia ini. Pandangan yang dikotomis terhadap ilmu pengetahuan itu kemudian dijustifikasi dengan berdirinya dua lembaga pendidikan, yakni lembaga pendidikan umum yang mempunyai prodi-prodi umum saja, dan lembaga pendidikan agama yang hanya mempunyai prodi-prodi agama, kecuali lembaga yang disebut belakang berbentuk Institut dan Universitas.

Baca Juga:  Usung Tema Moderasi Beragama, UINSA Kuatkan Nasionalisme 4670 Maba di PBAK 2021

Atas dasar itu, selama kita mewakili manusia religius, selama itu pula, dikotomi dunia, ilmu dan lembaga pendidikan akan tetap ada. Hal itu wajar-wajar saja dan tidak ada masalah pada dirinya. Masalahnya adalah, apakah kedua dunia, ilmu dan lembaga pendidikan itu berjalan beriringan, sehingga bisa maju bareng dan gagal bareng dalam mengarungi bahtera dunia ini? Ternyata tidak. Lembaga pendidikan umum kenyataannya lebih maju daripada lembaga pendidikan agama. Alasannya sederhana, karena pemerintah harus menyediakan lapangan pekerjaan yang menjadi kebutuhan mayoritas manusia untuk menjalani hidupnya di dunia ini, dan lapangan pekerjaan non-agama lebih dibutuhkan daripada lapangan pekerjaan yang berkaitan dengan agama.

Sejalan dengan itu, masyarakat lebih banyak yang berbondong-bondong memasuki lembaga pendidikan umum daripada lembaga pendidikan agama, dan tentu saja perhatian pemerintah terhadap pendidikan umum melebihi perhatiannya terhadap lembaga pendidikan agama. Bahkan bisa dikatakan, lembaga pendidikan umum terkesan “dianakemaskan”, sebaliknya lembaga pendidikan agama terkesan “dianaktirikan”. Baik dari segi fasilitas, maupun lapangan pekerjaan yang disediakan. Atas dasar itu, wajar jika lembaga pendidikan umum lebih maju daripada lembaga pendidikan agama.

Akan tetapi, saat ini, Pemerintah, melalui Kementerian Agama RI memberikan kesempataan kepada lembaga pendidikan agama untuk mengejar ketertinggalan itu dengan mentransformasi lembaga pendidikan agama dari STAIN ke IAIN dan UIN. Transformasi kelembagaan ini menandai dua hal. Pertama, jika STAIN hanya membuka prodi agama, IAIN mulai membuka prodi umum, maka UIN membuka fakultas dan prodi umum. Kedua, proyek integrasi keilmuan. Dari sini bisa dipahami bahwa, transformasi kelembagaan berhubungan erat dengan transformasi paradigma keilmuan Islam. Perubahan dari STAIN ke IAIN dan UIN berarti pula perubahaan paradigma keilmuan, dari paradigma keilmuan yang monolitik-dikotomis ke paradigma keilmuan yang integratif dengan berbagai polanya.

Meminjam bahasanya Kuntowijoyo, pada tingkat STAIN, ilmu pengetahuan yang masih monolitik berjalan involutif, bergerak ke dalam, atau dari teks ke teks, sehingga ia tidak meching dengan konteks. Akibatnya, ia ditinggalkan oleh gerak zaman yang desruptif ini. Mengetahui dunia keilmuan luar berjalan begitu dinamis, sebagian dari mereka memunculkan proyek islamisasi keilmuan yang bergerak dari konteks ke teks, dimana gerakan ilmu pengetahuan umum (konteks) harus disesuaikan dengan ilmu agama (teks). Kuntowijoyo sebaliknya mengharapkan, gerak ilmu agama bermula dari teks ke konteks. Dua yang pertama bersifat mistifikasi, sedang yang ketiga disebut demistifikasi. Dia menawarkan paradigma keilmuan integralistik. Masing-masing IAIN dan UIN menggunakan pola paradigma integrasi keilmuan yang berbeda, tetapi mempunyai semangat yang sama, yakni semangat integrasi.

Paradigma Keilmuan Integralistik

Jika ditelusuri lebih lanjut, paradigma keilmuan integralistik yang masing-masing ditawarkan UIN-UIN itu sebenarnya juga bersifat dikotomis. Mereka tidak menolak dikotomisasi keilmuan. Dan hal itu wajar mengingat sebagaimana disinggung di awal, selama kita sebagai manusia religius, selama itu pula, dikotomi dunia dan keilmuan tetap ada, dan harus ada. Hanya saja, mereka mengintegrasikan kedua disiplimuan itu, agar keilmuan agama bisa membawa kemajuan bagi umat Islam sebagaimana kemajuan yang diakibatkan oleh ilmu-ilmu umum.

Sebagai kelanjutan dari berbagai paradigma keilmuan integralistik yang ditawarkan UIN-UIN dengan berbagai polanya, saya menawarkan paradigma keilmuan integralistik-antroposentris-transformatif. Kendati mengakui dikotomi ilmu sebagaimana sarjana muslim Indonesia pada umumnya, saya memahami “dikotomi” ilmu secara berbeda. Jika pada umumnya para pemikir mendikotomi ilmu menjadi ilmu umum dan ilmu agama, saya mendikotomi ilmu menjadi ilmu ilahi dan ilmu basyari (manusia). Ilmu ilahi bisa disebut agama dan ia bersifat tunggal, sedang ilmu basyari adalah pengetahuan manusia tentang suatu obyek, dan karena objek pengetahuanya beragam maka ilmu manusia juga beragam. Jika obyeknya adalah alam, ia disebut ilmu alam; jika obyeknya adalah manusia, ia disebut ilmu sosial-budaya (sosial-humanaiora); dan jika obyeknya adalah agama, ia disebut ilmu agama.

Kedua ilmu itu berbeda, tetapi tidak bertentangan. Ilmu ilahi berposisi sebagai sumber kebenaran, sedang ilmu basyari sebagai alat menggali kebenaran dari sumbernya. Karena itu, kedua ilmu itu akan berjalan secara harmonis dan dialogis, dan sama sekali tidak akan terjadi pertentangan antara keduanya. Yang mungkin terjadi pertentangan adalah antara disiplin keilmuan manusia (ilmu basyari) sendiri. Disiplin ilmu alam bisa bertentangan dengan disiplin ilmu sosial-budaya dan ilmu agama. Bahkan, pertentangan tidak hanya melibatkan disiplin keilmuan yang berbeda yakni antara keilmuan alam, sosial-budaya dan ilmu agama, tetapi juga antara intern disiplin keilmuan manusia sendiri, karena satu disiplin keilmuan mempunyai mazhabnya sendiri-sendiri. Di dalam disiplin ilmu sosial, ada banyak mazhab, begitu juga di dalam disiplin ilmu alam dan ilmu agama.

Baca Juga:  Gelar Rakor di Gorontalo, Warek III PTKIN Diminta Kembangkan Carier Center

Akan tetapi, kesemua disiplin keilmuan manusia itu bisa dipertemukan (diintegrasikan) dalam bentuk integrasi keilmuan. Integrasi dalam konteks keilmuan itu sejatinya dimaknai “interaksi”. Dalam interaksi, masing-masing disiplin keilmuan tetap memiliki otonomi dan kekuatan khasnya sendiri-sendiri. Interaksi juga bisa mengambil bentuk: menjadikan disiplin keilmuan umum sebagai pijakan memaknai ilmu-ilmu keislaman, seperti menggunakan hermeneutika dalam memahami al-Qur’an sehingga dapat menemukan pesan Islam yang bersifat manusiawi. Juga bisa menjadikan ilmu-ilmu keislaman sebagai pijakan memahami ilmu-ilmu umum sehingga ilmu-ilmu umum tidak melepaskan diri dari spiritualitas agama. Interaksi semacam itu akan memberikan manfaat bagi kemanusiaan manusia. Tujuan itu akan dicapai dengan mengarahkan epistemologi Islam pada manusia. Di sinilah muncul istilah antroposentris.

Dimensi antroposentris atau humanistiknya terletak pada prinsip bahwa baik ilmu ilahi (agama) maupun ilmu basyari sejatinya hadir demi kepentingan manusia, baik dalam konteks membangun relasinya dengan Tuhan sebagai manusia beragama maupun dalam konteks membangun relasinya dengan alam dan manusia sebagai makhluk sosial. Dimensi antroposemtris ini tidak lain karena beragama sejatinya adalah hak asasi manusia. Islam adalah agama yang datang dari Tuhan demi kepentingan manusia. Karena itu, pertama-tama, agama sejatinya bersifat manusiawi, baru kemudian manusia dituntut untuk beragama.

Agar tidak hanya sekedar wacana, paradigma keilmuan seperti ini sejatinya ditansformasikan, baik melalui karya penelitian maupun melalui lembaga pendidikan. Di situlah, UIN menyediakan tempat bagi transformasi paradigma keilmuan yang integralistik itu. Jadi, UIN tidak hanya menjadi tempat bertemunya ilmu-ilmu umum dan ilmu agama, tetapi juga menjadi tempat transformasi kedua disiplin keilmuan itu. Hal ini berkaitan dengan turunan dari paradigma keilmuan integralistik yang sejatinya mewarnai esensi dan eksistensi UIN baik terkait visi, misi, pembukaan fakultas, prodi maupun penyusunan kurikulum dan luarannya.

Bagaimana argumennya?

Penting dicatat, para ilmuwan secara umum membagi ilmu manusia menjadi tiga kategori: Pertama, ilmu-ilmu kealaman (natural science). Ilmu-ilmu kealaman (natural science) merupakan ilmu-ilmu yang mempelajari fenomena-fenomena alam semesta dengan segala isinya.  Yang termasuk ke dalam natural science adalah ilmu-ilmu dasar (basic science), yang lazim juga disebut dengan ilmu-ilmu murni (pure science), seperti biologi, kimia, fisika, dan astronomi dengan berbagai cabangnya. Derivasi dari basic science adalah applied science atau ilmu-ilmu terapan, yakni farmasi, kedokteran, pertanian, kedokteran gigi, optometri, ilmu kelautan, ilmu pertambangan, ilmu teknik, ilmu informatika dan sebagainya.

Kedua, ilmu-ilmu sosial (social science) yang meliputi sosiologi, psikologi, sejarah dan antropologi. Keempat ilmu sosial ini termasuk ke dalam kategori ilmu murni, lalu berkembang menjadi ilmu terapan seperti ekonomi, ilmu pendidikan, ilmu hukum, ilmu politik, ilmu administrasi, ilmu komunikasi dan sebagainya. Ketiga, ilmu humaniora (humanities science) dengan cabang-cabangnya sebagaimana dua jenis keilmuan lainnya seperti filsafat, bahasa, sastra dan seni.

Di sisi lain, ilmu ilahi yang dalam hal ini mengambil bentuk agama Islam dalam pengertian umum istilah itu bisa dilihat dari dua sisi: normatif dan historis. Yang normatif adalah pesan-pesan asasi Islam yang termuat dalam al-Qur’an dan hadis, sedang yang historis berkaitan dengan kreatifitas manusia dalam menggali pesan asasi keduanya. Hassan Hanafi merinci tradisi keilmuan Islam historis kreasi para pemikir muslim klasik itu menjadi tiga kategori: pertama, ilmu-ilmu normatif-rasional, seperti ushuluddin, ushul fiqh, filsafat dan tasawuf; kedua, ilmu-ilmu rasional murni, seperti matematika, astronomi, fisika, kimia, kedokteran dan farmasi; ketiga, ilmu-ilmu normatif murni, seperti ulum al-Qur’an, ulum hadis, sirah nabi, fiqh, dan tafsir.

Selama kedua disiplin keilmuan umum dan agama saling dihadapkan secara diametral maka tidak akan terjadi perdamaian. Sejatinya kita menyadari bahwa selain mempunyai perbedaan, keduanya juga mempunyai kesamaan sehingga terbuka peluang keduanya untuk dipertemukan atau diinteraksikan.

Di antara perbedaan keduanya adalah terkait dengan sumber, mind-set, sikap dan ranah kajian. Agama bersumber pada Tuhan, Ilmu bersumber pada manusia; mind-set dasar agama adalah kepercayaan dan pasrah pada otoritas Tuhan, mind-set dasar ilmu bersifat skeptis dan percaya pada otoritas pemahaman akal; agama bersikap tertutup dari perubahan dan pandangan-pandangan baru, sebaliknya ilmu bersikap terbuka terhadap pandangan-pandangan baru; dan ranah kajian agama adalah misteri-misteri alam beserta makna-makna pengalaman di luar pengalaman inderawi manusia, sedang ranah kajian ilmu adalah fakta-fakta empiris dari misteri alam dan pengalaman-pengalaman inderawi manusia. Sedang kemungkinan terjadinya relasi ilmu dan agama adalah karena adanya kesamaan problem yang dihadapi agama dan ilmu, baik di tingkat internal keduanya maupun pada tingkat global.

Baca Juga:  Stafsus Menag Abdul Rochman: UM PTKIN Jadi Best Practice Seleksi Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri

Oleh karena keduanya mempunyai perbedaan dan kesamaan, keduanya tidak boleh saling dihadap-hadapkan. Justru karena adanya perbedaan dan kesamaan itulah, keduanya bisa saling membantu. Ilmu bisa membantu agama merevitalisasi diri dengan beberapa argumen: pertama, kesadaran kritis dan sikap kritis ilmu bisa berguna untuk mengelupaskan sisi-sisi ilusi agama dengan tujuan untuk menemukan hal-hal yang esensial dari agama; kedua, kemampuan logis dan kehati-hatian tradisi ilmiah dalam pengambilan kesimpulan membantu kita menilai secara kritis segala bentuk tafsir baru terhadap agama yang kini makin hiruk pikuk dan membingungkan; ketiga, lewat temuan-temuan barunya, ilmu dapat merangsang agama untuk senantiasa tanggap memikirkan ulang keyakinan-keyakinannya secara baru sehingga agama mengalami perkembangan dan tidak stagnan; keempat, temuan-temuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat memberi peluang baru bagi agama untuk makin mewujudkan idealisme-idealismenya menjadi sesuatu yang kongkret sehingga menyentuh kemanusiaan manusia secara umum.

Begitu juga agama dapat membantu ilmu agar tetap manusiawi, dan selalu menyadari persoalan-persoalan kongkret yang dihadapinya. Pertama, agama selalu mengingatkan bahwa ilmu bukan satu-satunya jalan menuju kebenaran dan makna terdalam manusia. Dalam dunia manusia, ada realitas pengalaman batin yang membentuk makna dan nilai, yang hanya bisa disentuh oleh agama; kedua, agama juga selalu mengingatkan ilmu dan teknologi untuk senantiasa membela nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan; ketiga, agama membantu manusia untuk menjelajahi wilayah kemungkinan-kemungkinan adikodrati atau supranatural yang berada di luar pengalaman inderawi manusia; keempat, agama selalu menjaga sikap mental agar tidak mudah terjerumus ke dalam realitas pragmentasi-instrumental yang menganggap sesuatu dianggap bernilai sejauh jelas manfaatnya dan bisa diperalat untuk kepentingan manusia.

Workshop dan FGD

Sekilas bisa disimpulkan, ada hubungan timbal balik antara lembaga pendidikan dengan paradigma keilmuan. Perkembangan lembaga pendidikan berjalan lurus dengan perkembangan paradigma keilmuannya. Ketika lembaga pendidikan bertransformasi dari STAIN ke IAIN lalu ke UIN, begitu juga paradigma keilmuan bertransformasi dari dikotomi ilmu ke integrasi ilmu. Integrasi ilmu yang lebih utuh ada pada tingkat UIN, dimana sudah mulai dibuka fakultas dan prodi umum, dan dirumuskannya paradigma keilmuan yang integralistik dengan berbagai pola. Paradigma keilmuan seperti ini bisa diturunkan pada visi, misi, tujuan dan sasaran; desain atau muatan kurikululum: profil lulusan, matakuliah dan SKS; dan tridarma perguruan tinggi: pendidikan dan pengajaran, pengabdian dan penelitian, baik penelitian program strata satu, magister maupun doktor.

Sebagai tindak lanjut dari pemberian basis paradigma keilmuan integralistik pada UIN kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo, diperlukan workshop dan FGD bagi para sivitas akademika, bukan hanya untuk merumuskan dan memahami paradigma keilmuan yang digunakan sebagai penyangga lembaganya, tetapi juga untuk merumuskan turunan-turunan dari paradigma keilmuan itu. Begitu juga perlu workshop dan FGD untuk mengubah mind-set para dosen agar mereka berfikir dan mengajar dalam mind-set UIN, bukan mind-set IAIN apalagi STAIN.

Workshop dan FGD Paradigma Keilmuan UIN kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo setidaknya difokuskan pada beberapa hal berikut: mengapa harus berubah ke UIN? Bagaimana bangunan paradigma keilmuan UIN-UIN yang ada di Indonesia? Bagaimana sejatinya paradigma keilmuan UIN kiai Ageng Muhammad Besari? Bagaimana kerangka kurikulum UIN kiai Ageng Muhammad Besari?

Untuk meneguhkan unsur-unsur itu, perlu dibahas sejarah berdirinya Pendidikan Tinggi Islam; Perubahan Perguruan Tinggi Islam secara umum; dan Perubahan IAIN Ponorogo ke UIN kiai Ageng Muhammad Besari. Begitu juga, perlu merekonstruksi ragam Paradigma Keilmuan UIN-UIN yang ada selama ini, agar kita bisa menempatkan posisi paradigma keilmuan UIN kiai Ageng Muhammad Besari.

Baru setelah itu, kita rumuskan bangunan Paradigma Keilmuan UIN kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo, baik pola paradigma keilmuann yang hendak digunakan, maupun simbol paradigma keilmuannya, misalnya simbol “Piramida Keilmuan” dengan unsur utamanya adalah Tuhan, alam dan manusia. Dari sini kita bisa menurunkan paradigma dan simbol keilmuan itu ke dalam fakultas dan prodi, misalnya fakultas ilmu Agama dengan berbagai prodinya, fakultas Sains dengan berbagai prodinya, dan fakultas Ilmu Sosial dengan berbagai prodinya. Dari sini kemudian kita rumuskan Kerangka Kurikulumnya berdasar Paradigma Keilmuan yang digunakan, termasuk Profil lulusannya.

Selamat dan semoga IAIN Ponorogo segera beralih status menjadi UIN Kiai Ageng Muhammad Besari.

Proliman, Ponorogo, 12 Januari 2024.

Aksin Wijaya
Guru Besar di IAIN Ponorogo, Dewan Pakar ISNU Ponorogo, dan Pengurus Pusat Asosiasi Dosen Pergerakan (ADP).

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. […] Nabi Muhammad pun mengibaratkan Ramadan sebagai laksana sajian atau jamuan Ilahi serta umat Islam yang menjadi […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini