Turats: yang Terlupa dari Rasm Utsmani

Risalah akhir kuliah saya yang lalu berbicara tentang aplikasi kaidah rasm utsmani (selanjutnya disingkat rasm) dalam tafsir Faidl al-Rahman karya Mbah Sholeh Darat. Tepatnya seberapa besar prosentase penggunaannya dalam penulisan ayat Al-Qur’an-nya, bukan pada tafsirnya.

Pemilihan karya tafsir sebagai objek kajian rasm memang terdengar asing. Iya. Karena sejauh ini kajian mengenai rasm memang hanya menyasar pada mushaf Al-Qur’an, dengan berbagai variannya: deskriptif analitis aplikatif atau komparasi.

Beberapa imam dan pakar mengartikan rasm dengan berbagai pilihan diksi dan redaksi mereka masing-masing. Namun secara umum dapat disimpulkan bahwa rasm merupakan seperangkat kaidah yang digunakan dalam detail penulisan kata dan kalimat tiap-tiap ayat Al-Qur’an. Jika demikian, maka rasm tidak semestinya di‘reduksi’ hanya pada kajian mushaf Al-Qur’an saja.

Apabila membaca literatur rasm yang ada, pembahasan objek aplikasi yang sering dimunculkan memang spesifik pada kajian permushafan. Itu pun hanya tertentu, pada upaya penelusuran terhadap sisa-sisa mushaf ‘Utsman terdahulu. Yang kemudian melompat pada sejarah mushaf masa transisi penulisan tangan menuju masa awal munculnya percetakan modern. Sependek yang saya tahu, belum ada yang membicarakan aplikasi rasm pada turats secara khusus.

Dalam hal ini (rasm pada turats), Saya sendiri hanya mendapati sebuah nukilan, semacam fatwa dari ulama Mesir dalam buhus qur’aniyah, mengenai aplikasi rasm dalam turats Islam. Nukilan ini ditulis oleh allahu yarham KH. Maftuh Basthul Birri, muqri’ asal Lirboyo, dalam bukunya Mari Memakai Al-Qur’an Rasm Usmaniy (RU). Disana disebutkan bahwa belum ada ketentuan pasti hukum penerapan kaidah rasm dalam turats. Masih terjadi tawaqquf antara: apakah harus menyesuaikan kaidah rasm semestinya atau cukup ‘membiarkan’ pada model rasm konvensional yang ada.

Baca Juga:  Bughyatul Ikhwan wa Riyadhatus Shibyan Karya Imam Ramli

Saya sendiri cukup antusias dengan kutipan ini. Selain sebagai dasar penulisan risalah akhir saya kala itu, ada beberapa kemusykilan yang menggugah hati saya.

Pertama, fatwa rasm dalam turats ini agaknya memiliki pressure yang tidak begitu kuat. Dibanding pada mushaf, disini tampak ada kelonggaran hukum, meski berangkat dari kesepakatan yang sama: tauqifi rasm. Kelonggaran ini terlihat pada opsi yang diberikan, alih-alih mewajibkan.

Sementara pada masalah mushaf, mayoritas ulama dengan tegas menyatakan kewajiban penerapan rasm. Dalilnya, adalah dhawuh Imam Malik dan Imam Ahmad yang melarang penulisan Al-Qur’an menggunakan rasm konvensional: la! illa ‘ala al-kitbah al-ula (Tidak! kecuali jika menganut model tulisan yang pertama).

Kedua, jika pertimbangan opsional ini berdasar pada tingkat kesulitan (‘usrun) dan aspek kepayahan (masyaqqah) dalam melakukan pembacaan, maka pertimbangan yang sama juga ada pada mushaf Al-Qur’an. Sehingga opsi yang sama juga dapat dimunculkan dalam masalah mushaf Al-Qur’an.

Lepas dari kemusykilan saya terhadap nukilan fatwa di atas, saya mendapati, dari hasil kajian saya, sepertiga lebih kasus rasm yang muncul dalam tafsir Mbah Sholeh Darat ditulis tidak sesuai dengan kaidah yang ada. Ini memberi kesimpulan kepada saya bahwa penggunaan rasm dalam turats dan mushaf Al-Qur’an pada kurun yang bersamaan agaknya memiliki hubungan.

Tafsir Mbah Sholeh Darat ini selesai ditulis pada 07 Muharram 1311 H. atau sekitar tahun 1893 M. dan dicetak pada 29 J. Akhirah 1311 H. Di masa ini mushaf-mushaf yang ada juga masih banyak menggunakan campuran ‘utsmani dan imla’i. Karena kebangkitan rasm, baik aspek kajian maupun aplikasi, di Indonesia baru terjadi pasca tahun 1970 M.

Namun demikian, terhadap sisa dua pertiga penulisan yang sesuai dengan kaidah rasm, saya juga tidak buru-buru memberikan apresiasi. Bahkan saya pribadi tidak begitu percaya bahwa hal itu sengaja dilakukan oleh penulis. Apa alasannya?

Baca Juga:  Al-Mahshul Fi Ilm Al-Ushul Karya Fakhri Al-Din Al-Razi (1)

Dari sekian banyak kata yang saya temukan, beberapa diantaranya ditulis secara acak dan tidak ajeg, seperti salat, zakat, hayat, dan rahmat. Tampak disini bahwa penulis (khatthat) kurang atau bahkan tidak memiliki keahlian bahasa Arab atau bahkan rasm. Kata salat misalnya, saya temukan ditulis dalam empat model penulisan yang berbeda, padahal disana tidak ada sesuatu yang mengharuskan perbedaan tulisan. Keempat model tersebut adalah الصلاة – الصلوة – الصلوت – الصلواة.

Alhasil, kiranya rasm dalam turats masih belum (untuk tidak mengatakan) mendapat banyak perhatian. Status Al-Qur’an sebagai teks sekunder dalam turats sangat mungkin menjadi penyebab utama. Meski jika dirujuk kembali, penerapannya tak mengenal pemilihan kata utama atau tidak utama, dan upaya penyeragaman rasm ada baiknya juga menyasar pada turats ini. Semoga. [HW]

Nor Lutfi Fais
Mahasiswa Pascasarajana UIN Walisongo Semarang program Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. […] membakar mushaf-mushaf yang lain. Mushaf yang berhasil disatukam tersebut dikenal dengan sebutan Rasm Utsmani sebagaimana Al-Qur’an yang kita kenal hingga masa […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini