Dalam beberapa kesempatan, seringkali didapati para ulama atau kiai mendoakan perempuan yang belum menikah dengan doa supaya kelak mendapatkan suami yang salih. Sederhananya, pria yang salih menjadi bidikan utama dalam sebuah pernikahan. Begitu pula dengan perempuan salihah yang menjadi target bagi para pria untuk menjadikannya sebagai istri idaman. Namun kenyataannya, pemaknaan orang salih dan salihah ini seringkali terdapat perbedaan satu sama lain.
Satu sisi, ada yang menggambarkan pria salih dengan seorang pria yang mendalami ilmu agama dengan kaffah (sempurna), atau menguasai keilmuan agama dengan baik dan benar. Cukup sampai di situ saja. Dalam artian, kesalihannya diukur dengan seberapa tinggi kualitas ilmu agamanya. Ada pula yang tidak hanya berhenti sampai di situ. Tidak hanya sekedar berilmu, tapi juga mengamalkan ilmunya. Amalan ilmu ini seringkali dibataskan pada amalan-amalan ubudiyah atau ibadah ritual dan individualnya. Seperti misalnya, rajin jamaah, rajin wiridan, rajin ibadah sunnah, hafal Al-Quran, dan amalan lain yang sifatnya personal.
Di sisi lain, ada pula yang memaknainya berbeda dari kedua kategori tersebut. Yaitu menilai dari yang tampak di depan mata terkait perilakunya. Contoh sederhananya adalah pria yang tidak berani memandang wanita yang dipinangnya, atau bahkan pria yang tidak mau memandang kamera saat difoto, jidat hitam sebagai pertanda rajin bersujud, dan beberapa kategori-kategori lain yang menurut sebagian kalangan termasuk dalam frame pria salih. Sementara itu, salih dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia digambarkan dengan taat serta bersungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah. Kesalihan adalah ketaatan dalam menjalankan ibadah.
Adapun perempuan salihah terkadang dicerminkan pada mereka yang memakai jilbab dan menutup auratnya. Sesimpel itu. Seolah-olah indikator salihahnya perempuan hanya bisa dilihat dan dinilai dari cara berpakaiannya. Yang lebih sempit lagi, perempuan salihah adalah perempuan yang tidak mau mengumbar fotonya di media sosial. Kriteria ini biasanya dimainkan oleh mereka yang sering berkampanye untuk menggunakan jilbab sebagai simbol hijrah dan cenderung merendahkan perempuan lain yang tidak berjilbab.
Di kesempatan yang lain, perempuan salihah dicerminkan pada perempuan yang nurut manut terhadap suami, mentaati dawuh suami, melayani suami, dan sederet pandangan-pandangan lainnya yang mencerminkan perempuan sebagai entitas makhluk yang mana apabila suami bersabda, di situlah perempuan harus menjalankannya tanpa kompromi. Tidak dapat dipungkiri bahwa pendapat ini masih sering menjadi kabut pemahaman yang sangat sempit tentang definisi perempuan salihah.
Kriteria ini -salih dan salihah-, disadari atau tidak, terkadang terbangun dari sebuah subyektifitas kekaguman atau kecenderungan seseorang. Selain itu, adat, budaya, dan tradisi pun mempengaruhi pola pikir semacam ini.
Definisi salih dan salihah terkadang lebur dari hal-hal yang sifatnya ibadah sosial (muamalah). Seperti misalnya sedekah, saling membantu, gotong-royong, toleransi, menjenguk orang sakit, dan kebaikan-kebaikan lainnya. Bahkan, kepiawaian dalam berbisnis pun bisa masuk dalam kategori salih. Sebab bagaimanapun juga, kuantitas fikih muamalah lebih besar porsinya dibanding dengan fikih ibadah. Bukankah Nabi Muhammad, sebelum diutus menjadi Rasul, dulunya merupakan reseller dari perusahaannya Khadijah?
Salih dan salihah harusnya dapat dimaknai lebih luas lagi dari beberapa gambaran di atas. Salih adalah orang yang beramal baik, sekecil apapun itu kebaikan yang dilakukannya, maka ia sudah bisa disebut orang yang salih. Salih seharusnya dideskripsikan secara sederhana sebagai orang yang melakukan kebaikan, entah amal kebaikan itu kembali untuk dirinya sendiri dalam hubungannya dengan Allah (ritual-personal-individual), ataupun yang berkaitan dengan makhluk lain yang justru merambah kebaikan tersebut kepada selain dirinya. Bukankah seseorang bisa mendapatkan rahmat Allah, dengan hanya memberi makan pada seekor binatang yang sangat kelaparan dan hampir mati?
Al-Quran mendeskripsikan salih dengan berbagai macam ayat. Bentuk kata sebagai pelaku (isim fa’il) yang berbentuk plural (jama’) disebutkan dalam dua bentuk, yaitu ash-shalihun sebanyak 3 kali dan ash–shalihin disebut sebanyak 23 kali. Sebenarnya kedua lafaz ini memiliki makna yang sama, yaitu orang-orang yang salih. Yang membedakan adalah kedudukan kalimatnya dalam ilmu gramatika bahasa arab (nahwu). Yang pertama menempati posisi rafa’, yang kedua menempati posisi nashab atau jer.
Secara garis besar, dalam beberapa ayat tersebut menggambarkan siapa orang salih itu dan bagaimana amalannya yang dapat dibagi menjadi empat bagian:
Pertama, orang salih merupakan sifat yang dinisbatkan kepada para Nabi (Al-An’am:85, Al-Anbiya’: 75 dan 86, Al-Ankabut:27, As-Shaffat:112).
Kedua, orang salih dikategorikan sebagai pewaris bumi, seperti yang tertulis dalam kitab Zabur (Al-Anbiya’:105). Yang dimaksud pewaris bumi di sini adalah yang layak menjadi pemimpin di muka bumi.
Ketiga, orang salih adalah mereka yang beriman kepada Allah, hari kiamat, melaksanakan amar makruf nahi mungkar, serta bergegas dalam kebaikan. (Ali Imran 39).
Keempat, orang salih adalah mereka yang beriman dan mengerjakan amal kebaikan. (Al-Ankabut 9).
Kriteria ketiga dan keempat inilah yang merupakan esensi kebaikan (kesalehan), bahwa siapapun manusia yang beramal baik, pasti dia merupakan orang salih. Salih/salihah sudah seharusnya tidak dipersempit lagi maknanya dengan subyektivitas manusia, sementara Al-Quran berbicara lebih luas. Perintah beramal kebaikan selalu diulang berkali-kali di dalam Al-Quran, dan kebaikan itu sendiri tidak terbatas pada amal individual, namun lebih bersifat universal. Ada banyak ladang kebaikan di dunia yang seharusnya tidak dipangkas oleh kecenderungan subyektif manusia dalam memandang segala sesuatu. [HW]