Progresivitas NU (1): Pemikiran Islam di Nahdlatul Ulama

Paling tidak dalam satu dasawarsa ini kita menyaksikan sebuah dinamika pemikiran Islam di kalangan intelektual muda NU yang sangat menarik. Hampir setiap hari di banyak sudut dan ruang komunitas anak-anak muda NU terpelajar berlangsung perdebatan-perdebatan dan dialog-dialog intelektual yang menarik dan menakjubkan : progresif, dan terkesan bebas, cerdas, keras, tetapi juga luwes. Mereka juga tetap saja menunjukkan sikap-sikap etis ala Islam pesantren, saling menghargai dan bercanda ria.

Saya sungguh menikmati semangat intelektualisme yang disuguhkan mereka. Saya pikir jika demikian keadaannya, maka Islam dan lebih khusus lagi NU punya harapan lebih baik di masa depan. Ini karena saya percaya pada keniscayaan perubahan ke arah kehidupan dunia yang lebih terbuka dan ke depan, bukan ke belakang. “Berhenti berarti mati”, kata Mohammad Iqbal.

Munculnya fenomena progresivitas dan sering menampilkan kesan liberal atau bahkan distigma liberal tersebut konon acap mengganggu dan mengusik ketenangan tradisionalisme dan kenyamanan konservatisme. Sebagian tokoh NU acap dibikin gerah oleh ulah pemikiran mereka yang dinilai konon “kebablasan”, melampaui tradisi.

Sementara masyarakat muslim yang sering disebut fundamentalis radikal, justru memandanganya sebagai gagasan dan pikiran yang sesat dan menyesatkan umat. Istilah yang dipopulerkan mereka untuk kelompok muslim progresif tersebut adalah JIL, Jaringan Islam Liberal. Mereka menganggap kelompok pemikir progresif itu atau JIL tersebut sedang berupaya menggerogoti dan merusak Islam dari dalam. Tokoh JIL paling berpengaruh adalah Gus Ulil Abshar Abdallah.

JIL menurut kelompok radikal itu, membawa sekaligus mengusung ideologi Barat yang sekuler dan anti Islam. Kecurigaan mereka terhadap kelompok NU progresif tersebut begitu kuat. Bahkan mereka tak berhenti memengaruhi dan mengajak para ulama NU untuk mewaspadai gerakan mereka bahkan didesak untuk menghentikan gerakannya.

Baca Juga:  Fikih Berkurban

Akan tetapi saya percaya sepenuhnya bahwa gelombang intelektualisme itu sama sekali tidak menyimpan agenda ideologi manapun, tidak mereduksi, alih-alih merusak Islam dari dalam, melainkan justru dalam upaya menghidupkan kembali agama ini sebagai agama yang maju dan bergerak ke depan sejalan dengan gerak alam. Generasi muda progresif itu melihat dengan sikap prihatin keberadaan kaum muslimin di negerinya yang telah cukup lama dalam keadaan stagnan, berhenti berpikir dan bahkan mundur. Membiarkan keadaan terus berlangsung akan membuat masa depan kaum muslimin semakin suram. [hw]

Husein Muhammad
Dr (HC) Kajian Tafsir Gender dari UIN Walisongo Semarang, Pengasuh PP Darut Tauhid Arjowinangun Cirebon, Pendiri Yayasan Fahmina Institute

Rekomendasi

1 Comment

  1. […] kemudian, berapa banyak orang yang paham atas ragam jalan memahami Islam (?). Saya kira, tidak banyak orang yang paham betul kedudukan hal-hal diferensial dan plural dalam […]

Tinggalkan Komentar

More in Opini