Dari Islam Perspektif sampai Islam Inklusif

Mutlak bahwa hari ini adalah hari di mana kita sebagai muslim sudah terlampau jauh dari awal turunnya Islam. Wahyu pertama yang turun tepat di gua Hira hanya tertinggal kisah dan spiritnya hingga saat ini. Kesempurnaan ajaran Islam ditandai dengan wafatnya nabi Muhammad, sebagai pionir jalan beragama umat.

Islam sebagai ajaran bisa diklaim sempurna, tetapi dalam ranah implementatif patut dipertanyakan kembali. Maka, dari saking jauhnya kita hari ini dengan awal mula turunnya, eksplorasi keberagamaan dalam ranah implementasi terus berlanjut. Hal ini diperkuat dengan kenyataan, bahwa problem yang dihadapi setiap masa berebeda, itulah sebabnya mengapa eksplorasi nilai adalah hal yang niscaya.

Dalam khazanah Islam sendiri, sudah terlampau banyak melahirkan corak keagamaan. Corak keberagamaan tersebut seringkali komunal, namun tidak jarang yang individual. Corak keagamaan yang komunal sejatinya juga berangkat dari hal-hal individual. Mazhab Syafi’iyah (yang komunal) adalah orang-orang yang mengikuti dan berada di jalur pemikiran dan hasil ijtihad Imam as-Syafi’i—sebagai corak individual.

Dari tesis ini kemudian bisa diambil kesimpulan bahwa sejatinya Islam hari ini adalah Islam perspektif cum subjektif. Tersebab dari perspektif dan subjektivitas ini, maka kelainan corak juga bukan sesuatu yang naif. Hal-hal diferensial dari setiap corak adalah hal yang patut diterima dengan senang hati.

Persoalannya kemudian, berapa banyak orang yang paham atas ragam jalan memahami Islam (?). Saya kira, tidak banyak orang yang paham betul kedudukan hal-hal diferensial dan plural dalam khazanah Islam. Dari kegagalan atas pemahaman itu, maka fanatisme sektarian sungguh menjadi hal yang nyata. Ketika fanatisme sektarian membelenggu, dampak dan implikasinya adalah eksklusivisme.

Sebisa mungkin untuk menegasikan orang-orang yang diklaim berbeda dan tidak sama dalam corak beragama. Itu belum seberapa, yang lebih parah lagi, jika klaim kebenaran hanya milik diri sendiri dan corak yang ditawarkan, seolah-olah ia adalah wakil Tuhan yang paling otoritatif. Padahal, ia hanya mengikuti satu corak saja dari sekian banyak corak yang sering dilupakan.

Baca Juga:  Memahami Istilah Islam Nusantara, Bukan Islam di Nusantara

Di sini, kemudian menjadi relevan kritik Khaled M. Abou el-Fadl. Ia mengkritik komisi pemberi fatwa hukum Council For Scienstific Research and Legal Opinion(CRLO) di Timur Tengah. Dalam kacamata Khaled, pemecahan masalah yang ditawarkan komisi fatwa sebagai jalan menjawab tiap permasalahan adalah hal yang niscaya selama tidak menafikan eksistensi komunitas lain.

Artinya, keseragaman sebisa mungkin dihindari dan tetap pada keberagaman. Hal-hal perbedaan itu tetap dipegang teguh dalam kritik Khaled, agar tidak ada klaim kebenaran sepihak dan kesesatan di pihak lain. Sebab, kebenaran paling fundamental hanya berada di sisi Tuhan, bukan di pihak hamba. Sehingga, dalam Islam yang serba perspektif ini, semuanya seleluasa mungkin memilih coraknya.

Bukan perkara mudah menjadi berbeda di tengah orang-orang yang hampir seragam. Adalah perkara yang sulit menjadi orang yang menganut corak modernis di tengah masyarakat yang tradisionalis. Begitu pula sebaliknya, menjadi sangat sulit sebagai penganut tradisionalis di lingkaran orang-orang dengan Islam modernis. Agaknya hal tersebut bisa didamaikan dengan kesadaran bahwa Islam sampai titik ini adalah sangat subjektif. Sehingga, yang dibicarakan bukan tentang siapa yang paling Islamis dan tidak, melainkan mana yang lebih ideal serta relevan atau tidak.

Untuk itu, keterbukaan atas hal ideal ini sangat mungkin dan akan dibuka seluas-luasnya. Siapapun dan dari kelompok apapun ditekankan untuk mewujudkan misi ideal ini, di mana Islam menjadi jalan untuk kemanusiaan (for humanity).

Puncaknya, penerimaan terhadap hal-hal yang sejatinya memang tidak bisa untuk diselaraskan. Sehingga inklusivisme bukan hanya bergaung di dunia ide. Kata kunci yang harus dipegang tidak lain, bahwa di dalam Islam yang subjektif ini semua umat beragama berhak untuk mengekspresikan perspektifnya. Namanya perspektif  tentu tergantung pada diri sendiri atau bahkan kelompok sendiri yang sering sarat atas kepentingan kelompok.

Baca Juga:  Manusia Jawa dan Islam (Seri ke-2)

Begitu juga dengan orang-orang yang tidak selaras dengan perspektif kita, mereka adalah orang yang menggunakan perspektif sendiri dan kelompoknya. Pembicaraan atas keagamaan hanya dibatasi tentang yang ideal atau tidak dalam kacamata manusia. Bukan yang paling benar menurut Tuhan atau tidak, sebab kita sendiri tidak tahu Islam seperti apa yang dikehendaki Tuhan. []

Moh. Rofqil Bazikh
Mahasiswa Perbandingan Mazhab UIN Sunan Kalijaga

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini