Potensial Santri dan Pesantren dalam Menggelorakan Moderasi Islam

Tidak disalahkan, wajah Islam dibilang beragam atau khazanah keislaman penuh dengan pendapat dan pemikiran yang berlainan. Meski rujukan utama Islam hanya berkisar pada al-Qur’an dan al-Sunnah, justru keberagaman pemikiran adalah sebuah kekayaan dan rahmat bagi umat Islam. Namun, jika fenomena demikian malah berujung pada perseteruan dan bercerai-berainya persatuan, inilah yang sangat dipermasalahkan. Hal ini dilatarbelakagi oleh pemikiran radikal dan bahkan ekstrem yang terus menghiasi zona pemikiran Islam. Pola pemikiran ini senantiasa memberikan konsekuensi yang berupa kekerasan, perseteruan serta saling merebut kekuasaan dan hak.

Arti radikal yang berbunyi “berpikir mendasar dan menuntut perubahan” tidak sepenuhnya distigma negatif. Secara umum, justru berpotensi untuk membentuk sikap positif. Hanya saja, potensi negatif yang selalu dihadirkan oleh pemikiran radikal itu yang terus diwaspadai oleh jajaran pemerintah. Sebab, sikap teror dan memberontak sistem pemerintahan adalah sekian tindakan yang sering dibuahkan oleh pemikiran ini sekarang. Ini seperti diungkap oleh Menko Polhukam (Mahfud) mengenai “definisi radikalisme” dan dilansir oleh beritasatu.com. Memang, gagasnya, hukum pemerintah tepatnya tidak pernah memutuskan untuk menangkap orang-orang yang berwacana, namun menangkap orang-orang yang melahirkan tindakan pengeboman dan teror.

Dalam catatan sejarah, buah inovasi dan kreasi pemikiran para ulama’ terdahulu yang bahkan bersifat non-maintream merupakan hal yang diwajarkan. Termaktub, kisah-kisah pemikiran satu ulama’ dengan ulama’ lain yang saling bertentangan, namun tidak berkonsekuensi perseteruan. Seperti, kisah kiai Hasyim Asy’ari dengan fatwanya “tidak boleh” menggunakan kentongan sebagai tanda dilaksanakannya shalat dalam salah satu kitabnya ditentang oleh kiai Faqih Maskumambang Gresik dengan tulisan argumentasinya yang menyatakan “boleh”. Tetapi, perdebatan sengit tersebut tidak pernah merancukan kedekatan persahabatannya. Buktinya, kiai Faqih meminta untuk melepaskan setiap kentongan yang terpasang, sebelum kiai Hasyim Asy’ari datang untuk diundang mengisi ceramah. Demikian sebagai bentuk penghormatan kepada kiai Hasyim Asy’ari.

Baca Juga:  Di Pesantren, Pengajaran Menulis Arab Pegon Lemah

Maka, beragamnya pemikiran sejak dulu telah mentradisi bagi ulama’, namun tidak pernah terjadi sebuah pertikaian diakibatkannya. Keberagaman ini ternyata lantaran satu dengan lain berbeda dalam memahami dan menafsiri teks-teks syar’i (al-Qur’an dan Sunnah). Lalu, teks-teks syar’i tidaklah patut dibilang tidak moderat, jika mengaca pada Islam sendiri sebagai agama moderat. Lantas, buah pemikiran radikal atau ekstrem yang lahir dari teks-teks syar’i adalah disebabkan oleh pola penafsiran dan pemahaman seseorang terhadapnya. Seperti di atas, hanya sikap kekerasan dan pertikaian yang dibuahkan ideologi radikal membuatnya hendak ditiadakan. Mungkin dari sekian alasan, isu-isu islamofobia yang dikenal tahun 1980-an dan di kawasan Eropa semakin ramai diperbincangkan saat ini disebabkan rasa takut terhadap Islam dan menganggapnya sebagai agama yang keras dan intoleran.

Santri dan orang-orang yang pernah berada di pesantren lah yang memiliki peran tinggi mengembangkan jejaring moderasi Islam. Siapa lagi jika bukan mereka? Iya, terdapat lembaga Islam lain di luar sana selain pesantren, seperti UIN, PDF dan lainnya. Namun, lembaga-lembaga ini tidak layaknya pesantren. Hanya para santri yang dapat menggelorakan Islam moderat secara idelogis dan tindakan. Pola berpikir mereka telah dididik dengan melestarikan khazanah kitab kuning yang ditulis oleh para ulama’ terdahulu. Sehingga, dalam memahami teks suci tidak akan jauh dari horizon pemikiran ulama’ salaf dan moderat. Secara tindakan, sejak mereka di pesantren telah dilatih untuk bermoral. Meski santri diharapkan berwacana luas layaknya ilmuan, namun tetap berhati pesantren dan melestarikan gaya pemikiran kitab kuning sebagai rujukan utama. [HW]

Dicky Adi Setiawan
Santri Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini