Dunia pesantren adalah dunia yang menjunjung tinggi moral. Di dalamnya, kita mengenal para abdi ndalem. Mereka adalah orang yang secara tulus ikhlas mengabdikan diri sepenuhnya untuk membantu Kiai/Bunyai. Raganya dipersembahkan untuk mengurus segala kebutuhannya. Sepenuh waktunya dihabiskan untuk melayaninya.
Abdi ndalem bukanlah mereka yang dalam tanda kutip dianggap tidak mampu membayar biaya pondok, sehingga jalan tengahnya adalah diikutkan ndalem. Abdi ndalem tak bisa dikonotasikan dengan asisten rumah tangga, bukan pula pembantu. Sebab materi tidak menjadi prioritas utamanya dalam mengabdi.
Status abdi ndalem adalah status yang sangat istimewa. Ya, istimewa. Karena tidak semua orang memiliki kesempatan untuk menempati posisi mereka yang bisa berkhidmah lebih dekat dengan Kiai. Abdi ndalem juga tidak berarti memiliki kompetensi yang terbatas dibanding para santri yang lain.
Menjadi abdi ndalem adalah suatu keberkahan dan kebanggaan tersendiri, memiliki banyak kesempatan berinteraksi langsung dengan kiai/bunyai, bisa mendengarkan beberapa cerita yang jarang di publish, bisa mengambil hikmah dari kehidupan sehari-hari, bisa berkontribusi lebih banyak untuk melayani kebutuhannya, memiliki intensitas komunikasi dan belajar langsung darinya.
Abdi ndalem mungkin terkadang pernah merasa takut jika berbuat salah, lelah dengan segala amanah yang diemban, merasa sedih jika ada satu pekerjaan yang mereka anggap tidak memuaskan Kiai. Namun mereka hanya bisa terdiam. Mereka cenderung menerima dawuh dan melaksanakannya. Jeritan sakitnya mungkin hanya sesaat dan lekas bangkit.
Demi apa? Demi rida dan berkah. Itulah tujuan mereka. Itulah yang mereka cari-cari, bukan yang lain. Sehingga menjadikan mereka berada di tempat yang mulia. Karena ketulus-ikhlasannya, mereka selalu memprioritaskan urusan Kiai dibanding urusan pribadi, dan bahkan keluarganya sendiri.
Abdi ndalem adalah manusia. Ia layak dimanusiakan sebagaimana manusia pada umumnya. Ia layak diperlakukan seperti yang lainnya. Ada banyak hal kecil yang barangkali membahagiakannya. Seperti secuil kalimat “nyuwun tulung” sebelum ada perintah, dan juga “matur nuwun” setelah melaksanakannya. Ringan dan sederhana, tapi mereka tentu akan bahagia.
Berkat dedikasi yang ditunjukkannya, biasanya Kiai memberikan bentuk apresiasinya dalam rangka ‘idkhal as-surur‘. Bentuk apresiasi Kiai terhadap abdi ndalem berbeda-beda. Seperti misalnya; diberangkatkan ibadah Haji, atau ibadah umroh. Ada juga yang sampai diangkat menjadi anaknya sendiri, atau menjadikannya sebagai menantu.
Selain itu, ada pula yang membangunkan rumah, supaya kelak ketika sudah berkeluarga, masih tetap bisa berdekatan dan berkontribusi lebih banyak. Ada pula bentuk ‘idkhal as-surur‘ yang lain seperti diajak pariwisata ke suatu daerah, berkunjung ke tempat-tempat yang mungkin tak pernah mereka singgahi. Hal ini menunjukkan sepaket perhatian besar yang diberikan Kiai untuk orang-orang di sekelilingnya.
Abdi ndalem, dengan segenap kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya, namun mereka adalah sehebat-hebatnya manusia. [HW]
[…] Dalam kehidupan pesantren kita akan diajarkan tentang bagaimana cara menguasai ilmu sekaligus adab mencari ilmu. Seperti halnya, menghormati kiai sebagai guru di pesantren. Di sini kita mulai dikenalkan dengan istilah ‘mengabdi dengan kiai’ atau biasa dikenal dengan istilah pesantren santri khidmah. […]