Peran Pesantren Melawan Radikalisme di Era Society 5.0

Pesantren sebagai lembaga pendidikan agama yang mengkaji berbagai ilmu keislaman dari para ulama memiliki andil dalam menjunjung tinggi nilai kebangsaan dan kedamaian melalui ajaran agama yang moderat. Menebar kasih sayang dan menolak kekerasan adalah wujud cerminan ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin sebagaimana telah diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw dari Allah Swt.

 وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ

 “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. Al-Anbiya’:107)

Sikap-sikap yang diterapkan pesantren tersebut berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang menjadi ciri khas pesantren sebagaimana yang diajarkan ahlu as-sunnah wa al-jama’ah diantaranya yaitu tawassut (moderat), tawazun (seimbang), i’tidal (berkeadilan), dan tasamuh (toleran). Sikap-sikap ini telah lama diajarkan oleh Walisongo dan para pendiri pesantren di Indonesia (Badruz Zaman:2021). Dengan adanya hal ini menunjukkan bahwa pesantren sedari awal dia lahir, tidak memiliki upaya sekecilpun untuk menyebarkan agama dengan melakukan tindak kekerasan atau yang saat ini sering digencarkan dengan aksi radikalisme dan terorisme.

Aksi radikalisme sendiri di Indonesia saat ini semakin masif menyebar ke berbagai kalangan khususnya remaja, wanita dan anak-anak. Jika dulu aksi propaganda radikal terorisme dilakukan dengan pendekatan hard approarch atau aksi secara langsung, saat ini mereka beralih ke soft approach dengan memanfaatkan teknologi yakni melalui berbagai platform daring dan media sosial.

Orang-orang pesantren dalam hal ini para santri dan kiai memiliki peran menangkal tindak radikal terorisme dengan menyebarkan narasi keagamaan. Melihat saat ini dunia sedang menghadapi berbagai tantangan dan problematika sosial terlebih dalam bidang teknologi, para pelaku teroris memanfaatkan teknologi dalam menyebarkan propaganda radikalnya. Setelah hidup di era Revolusi Industri 4.0. yang ditunjukkan melalui adanya kecerdasan buatan atau yang biasa disebut Artifficial Intelligent (AI) saat ini ditemui era baru, Society 5.0. yang menunjukkan ciri evolusi manusia disebabkan perkembangan teknologi yang megacanggih. Gagasan yang ditemukan oleh Jepang ini lahir pada 2017 lalu ditandai oleh menurunnya kondisi penduduk Jepang berupa penurunan tingkat produktifitas disebabkan perkembangan teknologi menjadikan manusia lebih manja dan menggantikan potensi dirinya dengan kemudahan mencari atau melakukan sesuatu hanya dengan memijatkan jari di gadget.

Baca Juga:  Menakar Kualitas Santri dan Mahasiswa

Belum lagi Indonesia sebagai negara berkembang menyelesaikan masalah di era Revolusi Industri 4.0., ia sudah dihadapkan masalah baru di era Society 5.0. terlihat oleh mayoritas penduduk lebih banyak melakukan aktivitas hariannya di media sosial. Tantangan yang dialami seluruh dunia saat ini adalah bagaimana memberdayakan manusia dengan memanfaatkan teknologi yang ada, bukan malah menjadikan hal sebaliknya, bermalas-malasan, dan menjadikan manusia serba manja. Jika orang-orang baik yang memiliki potensi kecerdasan tidak memberdayakan diri dengan baik, ia bisa kalah dengan kelompok lain yang memanfaatkan teknologi dengan niat buruk. Hal ini ditunjukkan dengan maraknya aksi penyebaran radikal terorisme melalui kanal daring. Propaganda ini dilakukan melalui bentuk informasi video yang mengajak melakukan aksi kekerasan, dan narasi-narasi digital.

Pesantren dalam hal ini menunjukkan aksi kepeduliannya dengan dibantu oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk mengajak para santri melawan radikalisme dan terorisme yang terhubung dengan terbentuknya Duta Damai Santri (DDS). Para santri yang menjadi bagian dari DDS ini menunjukkan peran penting pesantren dalam menolak radikalisme. Bentuk perlawanan yang sangat memungkinkan saat ini adalah melalui media online, karena aksi radikal terorisme ini lebih gencar dilakukan di dunia maya. Santri diharuskan melawannya dengan menyebarkan narasi keagamaan melalui kontra narasi ataupun narasi alternatif.

Kontra narasi ini dibuat secara terang-terangan menolak adanya tindak radikalisme dan terorisme yang merugikan banyak pihak. Sedangkan narasi alternatif dibuat dengan menebarkan nilai-nilai kedamaian dan kasih sayang, toleransi terhadap seluruh agama, tidak membedakan ras atau suku tertentu. Menguatkan tali persaudaraan yang rahmatan lil ‘alamin berupa ukhuwwah islamiyyah, wathaniyyah, dan insaniyyah. Menyampaikan kepada khalayak umum bahwasannya Islam yang diajarkan di pesantren bukanlah ajaran radikal, akan tetapi ajaran yang mengandung nilai-nilai moderasi. Sebagaimana tugas manusia di bumi sebagai khalifah, selain beribadah kepada Allah Swt (ibadatullah) juga bertugas untuk memakmurkan bumi (imarat al-‘ardh). Tugas kedua ini dapat dilakukan dengan upaya mewujudkan kedamaian dan kemaslahatan bersama.

Baca Juga:  Wiridan Kitab

Dengan begitu mengindikasikan bahwasannya peran pesantren dalam menghadapi radikalisme di era Society 5.0. diupayakan dengan memaksimalkan penggunaan internet dengan baik dan benar. Perlawanan tersebut dilakukan melalui literasi digital berupa kontra narasi ataupun narasi alternatif. Memecah adanya pertikaian di media online contoh kecilnya dengan menggiring pemahaman yang moderat diantara dua kubu ketika menemui warga net yang berselisih dan menyebarkan ajakan kedamaian yang penuh kasih sayang.

Wallahu a’lam bisshowab. []

Vina Rahma Sania
Santri Ma'had Aly Pesantren Maslakul Huda fi Ushul al-Fiqh, Kajen-Margoyoso-Pati

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini