Childfree dalam Pandangan Istihsan

Childfree merupakan  sebuah keputusan atau pilihan hidup untuk tidak memiliki anak, baik itu anak kandung, anak tiri, maupun anak angkat. Istilah ini mulai terkenal di Indonesia  akhir abad 20, walaupun sebenarnya Childfree sudah ada dan berkembang di negara barat seiring dengan meluasnya liberalisme.

Namun bagaimana dengan tujuan dari menikah itu sendiri,  jika dalam pembahasan ini menikah tapi memilih untuk tidak mempunyai anak ? padahal di dalam hadist sudah terdapat anjurannya. Seperti hadist yang  berbunyi :

مَنْ تَرَكَ النِّكَاحِ مَخَافَةَ الْعِيَالِ فَلَيْسَ مِنَّا ثَلَاثًا رواه أبو منصور الديلمي في مسند الفردوس من حديث أبي سعيد بسند ضعيف

Artinya, “Siapa saja yang meninggalkan nikah karena khawatir kesulitan mengurus anak istri maka tidak termasuk dariku. Nabi saw mengatakannya tiga kali.” (HR Abu Manshur ad-Dailami dalam Musnadul Firdaus dari hadits Abu Sa’id dengan sanad dha’îf).

Namun beberapa ulama dari 4 madzhab memiliki pandangan berbeda  terhadap tujuan dalam menikah. Salah satunya menurut ulama Maliki, tujuan pernikahan adalah untuk memperoleh sakinah atau kebahagiaan. Hal itu disebutkan dalam Qs. Ar-Rūm 21 yang artinya, “Aku ciptakan kalian berpasang-pasangan, suami dan istri, tujuannya agar engkau dalam berpasangan ini memperoleh sakinah.” Oleh karena itu memperoleh anak itu bukan tujuan utama dari menikah, jika dalam hubungan pernikahan itu mendapatkan anak maka itu sebagai bonus dalam pernikahan karena tujuannya adalah kebahagian.

Sedangkan menurut ulama Syafi’i tujuan pernikahan bukan hanya mencapai sakinah atau bahagia, melainkan tujuan utama dalam pernikahan adalah memperoleh keturunan. Seperti yang dijelaskan dalam hadis :

الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ اشِرٌ اْلأَنْبِيَاءَ الْقِيَامَةِ

Nikahilah perempuan yang penyayang dan dapat memiliki anak banyak karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab banyaknya kamu dihadapan Nabi nanti pada hari nanti” [Shahih Riwayat Ahmad, Ibnu Hibban dan Sa’id bin Manshur dari Anas bin Malik].

Baca Juga:  Apakah orang awam wajib bermadzhab?
Hubungan antara Childfree dengan azl

Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa hukum ‘azl atau menumpahkan sperma di luar vagina hukumnya boleh seperti hukum memilih tidak menikah sama sekali. Adapun sabda Nabi saw: “Maka tidak termasuk dariku”, maksudnya adalah tidak sesuai dengan sunnah dan jejak langkahnya, yaitu melakukan pilihan amal yang lebih utama. Jika Childfree yang dimaksud adalah menolak wujudnya anak sebelum potensial wujud, yaitu sebelum sperma berada di rahim wanita, maka hukumnya adalah boleh.

Azl sendiri merupakan salah satu cara untuk terjadinya Childfree, azl sendiri terdapat beberapa pandangan dari ulama’. Pendapat pertama menyatakan boleh (tanpa syarat), baik diizinkan oleh istri atau pun tidak. Namun jika seseorang meninggalkannya, maka itu lebih baik. Menurut Syafi’iyah Inilah pendapat yang rojih. Dengan menggunakan hadits dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata:

كُنَّا نَعْزِلُ وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ

Kami dahulu pernah melakukan ‘azl di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Al-Qur’an turun ketika itu”.

Pendapat kedua membolehkan dengan bersyarat (ada hajat). Namun jika tidak ada hajat, maka dimakruhkan. Inilah yang menjadi pendapat ‘Umar, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud dan Imam Malik. Pendapat ini merupakan pendapat kedua di kalangan Syafi’iyah dan pendapat ini juga menjadi pendapat ulama Hanafiyah. Namun pendapat ini membolehkan ‘azl tanpa izin istri jika zaman telah rusak dan bisa memberikan pengaruh buruk pada anak yang dilahirkan nantinya. Pendapat ini menggunakan hadits dari ‘Umar bin Khottob, ia berkata:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُعْزَلَ عَنِ الْحُرَّةِ إِلاَّ بِإِذْنِهَا

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang melakukan ‘azl terhadap wanita merdeka kecuali dengan izinnya.”

Baca Juga:  Katib Aam PBNU: Halaqah Fiqh Peradaban, Strategi Menguatkan Jamaah dan Jam'iyyah
Istihsan 

Dalam hal ini,  hukum Childfree bisa menggunakan metode Istihsan, istihsan sendiri menurut ushul fiqh seperti yang dikemukakan  Wahbah az-Zuhaili yaitu memakai qiyas khafi dan meninggalkan qiyas jali karena ada petunjuk untuk itu. Hukum pengecualian dari kaidah-kaidah yang berlaku umum karena ada petunjuk untuk hal tersebut. Karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan yang dimaksud. Menggunakan dalil istihsan hakikatnya merupakan istidlal (mencari dalil).

Sebagian orang yang memilih Childfree dengan alasan antara lain: finansial yang belum mencukupi, mempunyai penyakit bawaan, kesiapan mental yang belum terpenuhi, atau bahkan mempunyai luka pada masa kecil. Maka dari itu dalil yang menunjukkan agar mempunyai keturunan dan anjuran untuk mencari istri yang dapat mempunyai banyak anak seperti sebgian dalil-dalil yang sudah saya sebutkan diatas atau dalil-dalil lain yang menuju untuk mendapatkan anak di dalam pernikahan bisa disampingkan dengan dalil tentang azl. Dalil itu bisa disampingkan jika memang dengan adanya keturunan menambahkan kemudhorotan dalam banyak segi, misalnya dalam segi mental maupun finansial. Childfree ini bisa masuk ke dalam macam istihsan bil maslahah mursalah. Jadi hukum Childfree boleh jika terdapat ketentuan yang memenuhi kemaslahatan sehingga mengharuskan pasangan tersebut mengambil jalan Childfree ini.

Adapun dalil umum yang menjelaskan tentang mempunyai keturunan yaitu

الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ اشِرٌ اْلأَنْبِيَاءَ الْقِيَامَةِ

Nikahilah perempuan yang penyayang dan dapat memiliki anak banyak karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab banyaknya kamu dihadapan Nabi nanti pada hari nanti” [Shahih Riwayat Ahmad, Ibnu Hibban dan Sa’id bin Manshur dari Anas bin Malik].  Sekilas makna yang dapat kita ambil dari hadis ini adalah anjuran mencari istri yang mempunyai sifat penyayang dan subur dalam reproduksi. Kemudian terdapat dalil yang khusus dari Jabir bin ‘Abdillah dan pendapat azl dari Imam Ghazali

Baca Juga:  Fikih Berkurban

كُنَّا نَعْزِلُ وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ

Kami dahulu pernah melakukan ‘azl di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Al-Qur’an turun ketika itu”.

Dan Imam Al-Ghazali menjelaskan yang artinya : “Saya berpendapat bahwa ‘azl hukumnya tidak makruh dengan makna makruh tahrim atau makruh tanzih, sebab untuk menetapkan larangan terhadap sesuatu hanya dapat dilakukan dengan dasar nash atau qiyas pada nash, padahal tidak ada nash maupun asal atau sumber qiyas yang dapat dijadikan dalil memakruhkan ‘azl. Justru yang ada adalah asal qiyas yang membolehkannya, yaitu tidak menikah sama sekali, tidak bersetubuh setelah pernikahan, atau tidak inzal atau menumpahkan sperma setelah memasukkan penis ke vagina. Sebab semuanya hanya merupakan tindakan meninggalkan keutamaan, bukan tindakan melakukan larangan. Semuanya tidak ada bedanya karena anak baru akan berpotensi wujud dengan bertempatnya sperma di rahim perempuan. Maka hukum Childfree boleh jika terdapat kemaslahatan ataupun ketentuan seperti yang telah saya sampaikan diatas. Dan yang tidak dibolehkan yaitu  menghilangkan sistem reproduksi secara total maka hukumnya haram. Wallahu a’lam. []

 

Sumber :

Wahhab, Abdul. 2014. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang. Dina Utama
Effendi, Satria. Zein, M. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta. Kencana
https://islam.nu.or.id/post/read/130891/hukum-asal-Childfree-dalam-kajian-fiqih-islam

Rizqi Amalia
Mahasiswi Fak Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hukum