Peran Ulama dalam Memahami Al-qur’an dan Hadits Tak Boleh Dinafikan

‘Artis hijrah’ bukanlah hal baru dalam semesta selebritas. Tidak perlu disebutkan karena mungkin teman-teman lebih tahu siapa saja ‘artis hijrah’ ini, atau barangkali di antara teman-teman ada juga yang jadi fans-nya beliau-beliau itu. Nah, yang menarik adalah beliau-beliau itu (para artis hijrah) ternyata nggak sekadar hijrah, tapi malah banyak yang kemudian juga ikut berpartisipasi dalam dunia dakwah. Tampaknya mereka berusaha menaati salah satu perintah Nabi saw yang terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari berikut ini.

بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً…

“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat!.

Iktikad baik mereka perlu diapresiasi, tapi ada dua hal yang mesti kita sadari.

Pertama, dakwah itu butuh bekal ilmu yang banyak dan harus proporsional. Kendati Nabi saw memberi perintah seperti yang telah disebutkan tadi, bukan berarti kita bebas menyampaikan setiap ayat. It’s okelah kalau dalil yang disampaikan itu temanya etika/akhlak. Tapi kalau fiqh? Nggak bisa kita langsung menyatakan suatu hal itu ‘haram/sunnah/makruh dsb’ hanya dengan berbekal satu ayat/hadits dan pemahaman kita sendiri. Selain itu, perlu diperhatikan pula bahwa lahirnya sebuah teks pasti membawa konteks. Tidak ada teks yang terlahir dari ruang hampa. Sama halnya dalam kasus perintah Nabi saw di atas, harus diperhatikan dulu konteksnya. Nabi saw menyampaikan hadits di atas ketika beliau berada di depan para sahabatnya, yang notabene memiliki kapasitas ilmu yang mumpuni. Artinya, hadits tersebut secara tersirat sebenarnya mewajibkan setiap orang, khususnya pendakwah, untuk memiliki bekal ilmu yang cukup sebelum menyampaikan sesuatu.

Kedua, sepakat atau tidak nyatanya para artis hijrah lahir dari industri hiburan. Mereka dikenal oleh masyarakat melalui layar kaca. Dengan kata lain, apa yang mereka lakukan sebelumnya adalah demi melayani kepentingan pasar. Fenomena artis hijrah yang kemudian berdakwah ini bisa kita baca sebagai hal yang sama dengan sebelumnya, yakni pelayanan kemauan pasar tapi dengan wajah yang berbeda. Anwar Kurniawan menulis bahwa kurang tepat rasanya bila tujuan artis hijrah berdakwah itu hanya untuk mendakwahkan Islam. Penyebabnya apa? Umat Islam di Indonesia itu sudah sangat banyak. Dakwah artis hijrah tersebut sebenarnya bisa dilihat sebagai sebuah fenomena berebut tafsir keislaman. Apa yang mereka lakukan, secara tidak langsung, menantang dakwah keislaman yang telah ada sebelumnya yang berbasis di pengajian-pengajian dan pesantren.

Hal tersebut bisa dipahami salah satunya dari slogan yang sering mereka lontarkan yakni, “Kembali ke Al-qur’an dan Hadits”. Oke! Saya pun menyadari bahwa Al-qur’an dan Hadits adalah dua sumber utama ajaran Islam. Tapi, ijtihad ulama―berupa ijma’ dan qiyas―juga menjadi sumber ajaran Islam (di bawah Al-qur’an dan Hadits). Ijtihad ulama tersebut tetap berdasar pada Al-qur’an dan Hadits. Artinya, kita tak bisa begitu saja menafikan peran ulama dalam proses pemahaman dalil. Slogan “Kembali ke Al-qur’an dan Hadits” seolah terkesan melupakan posisi ulama sebagai mujtahid. Lagi pula, kalau kita diajak kembali ke Al-qur’an dan Hadits, memangnya selama ini kita ke mana?. Kita (masyarakat awam) itu anut ulama dimana apa yang mereka sampaikan selalu mengacu pada Al-qur’an dan Hadits. Dengan kata lain, ajakan tadi (kembali ke Al-qur’an dan Hadits) serasa seperti ajakan pulang ke rumah bagi orang yang sedang ada di rumahnya sendiri. Lha ngapain coba orang yang di rumah diajak pulang ke rumah?.

Kembali ke Al-qur’an dan Hadits itu tak sesederhana yang dikatakan, ya akhi!. Al-qur’an dan Hadits itu tidak bisa dipahami hanya dengan berbekal terjemah. Eh, maaf! Maksud saya dipahami sih bisa, tapi untuk mendapat pemahaman yang benar itu harus punya bekal ilmu yang banyak. Kalau bekal ilmunya belum cukup, ya anut ulama. Contoh, dalam penggalan surat al-Isra’/17 ayat 23 disebutkan.

فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ…….

“…Janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (orang tua) perkataan ‘cih!’…”.

Secara tekstual, ayat tersebut bisa dipahami bahwa berbakti pada orang tua itu cukup dengan kita tidak berkata kasar pada keduanya. Tapi, ini pemahaman yang kurang benar. Adalah sesuatu yang tidak dibenarkan ketika orang tua sedang tak punya uang, kita cuma diam dan tidak berkata kasar pada keduanya?. Kita mesti memberi mereka uang―dengan catatan kita sudah bekerja―sebagai bentuk bakti kita pada mereka. Kasus ini merupakan contoh ‘mafhum muwafaqah’ dari surat al-Isra’/17 ayat 23 tadi. Bagaimana kita bisa tahu? Ya dari ulama pastinya.

Tak berhenti di situ, dalam Al-qur’an maupun hadits ada hal yang dinamakan ta’arudh al-adillah (pertentangan dalil). Jika dalilnya bisa dikompromikan (diketahui titik temunya), okelah. Tapi ketika bertemu pertentangan dalil yang cukup rumit, apa yang mesti kita lakukan?. Lagi-lagi di sini peran ulama sangat dibutuhkan. Jadi, mulai sekarang jangan sering-sering bilang, “Mari kita kembali ke Al-qur’an dan Hadits”, wahai akhi dan ukhti!. Kalau pun mau mengajak kembali ke Al-qur’an dan Hadits, setidaknya belajar dulu ilmu naskh-mansukh; pahami dahulu apa itu amr-nahi, ‘am-khas, mutlaq-muqayyad, mujmal-mubayyan; ketahui asbabun nuzul  dan asbabul wurud; jangan lupa pula menelaah ilmu mukhtalif al-hadits, ilmu jarh wa al-ta’dil, dan  masih banyak lagi. Jika belum mampu memenuhi syarat-syarat itu, ya jangan menafikan peran ulama!.[BA]

Mohammad Azharudin
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya dan Alumni Pondok Pesantren Miftachussa'adah Genteng, Banyuwangi.

    Rekomendasi

    1 Comment

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini