Peran Istri dalam Regulasi Kompilasi Hukum Islam

Al-Quran dan Hadis dijadikan sumber utama sebagai sumber hukum islam. Dalam menggali jawaban dari berbagai masalah kehidupan terdapat sebuah penyelesaian. Salah satu proses kehidupan yang dianggap dan dinilai ibadah adalah perkawinan. Dalam ayat-ayat suci –Nya, Allah Swt., menyebutkan bahwa Dia menciptakan manusia berpasang-pasang. Melalui perkawinan yang sah menurut agama serta kepercayaan masing-masing diharapkan bisa membangun dan menciptakan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.

Dalam hal keluarga, juga dijelaskan pada UUD NKRI 1945 pasal 18 (b) yang mana setiap warga negara berhak untuk meneruskan keturunan melalui perkawinan yang sah. Lain halnya dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 yang menyebutkan bahwa: perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku I Pasal 3 disebutkan bahwa: “perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Selanjutnya dalam UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada pasal 1 disebutkan bahwa: “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”.

Banyak pasal-pasal dalam kompilasi hukum islam (KHI) yang menyebutkan berbagai kedudukan istri dalam rumah tangga. Tidak lain halnya seperti tugas istri, kewajiban istri sampai peranan istri sebagai ibu rumah tangga. Termasuk hak asuh anak yang terjadi karena perceraian maka akan jatuh di tangan ibu atau istri selagi anak belum berusia 12 tahun.

Anak adalah tanggung jawab bersama, baik istri maupun suami. Keberadaannya harus benar-benar dijaga, karena anak merupakan anugerah dan rezeki dari yang maha kuasa. Baik perawatan dan penjagaan serta pengembangan dari segi jasmani maupun rohani. Termasuk di dalamnya adalah mendidik dan memberikan pendidikan kepada anak tanpa pilih kasih.

Baca Juga:  Perempuan Menjadi Imam Tarawih bagi Laki-Laki

Usia pada anak yang belum dikatakan mumayyiz akan memiliki kemampuan yang berbeda dengan anak yang telah berusia atau di katakan mumayyiz. Perkembangan secara psikis anak yang belum mumayyiz lebih membutuhkan pendampingan, baik dari orang tua ataupun pengasuh lainnya. Sedangkan anak yang sudah mumayyiz secara psikis bukan berarti tidak membutuhkan pendampingan dari orang tua maupun pengasuh lainnya.

Pengasuhan anak yang belum mumayyiz lebih berhak diasuhkan kepada ibunya, karena baik secara perasaan maupun sisi psikologis batin ibu lebih dekat kepada anaknya dimulai sejak anak dalam kandungan, melahirkan hingga memberi susu sebagai makanan pokok juga didapatkan serta dilakukan oleh ibu. Hal yang wajar jika ibu lebih berhak dalam pengasuhan anak khususnya saat anak belum mumayyiz.

Pada dasarnya waktu yang di punyai ibu lebih banyak daripada seorang ayah. Hal ini disebabkan ayah atau suami wajib untuk memberikan nafkah kepada istri beserta anak-anaknya. Tapi juga tidak menutup kemungkinan atas ridha dari suami, seorang istri juga bisa bekerja atau mencari nafkah untuk keluarga hanya saja sifatnya tidak wajib. Maka dari hal tersebut, hak asuh anak yang lebih berhak di berikan kepada ibu, bisa dialihkan kepada pihak lain yang memenuhi syarat-syarat sebagai pengasuh anak.

Melihat perkembangan di abad ke 21 ini, sudah banyak sekali istri atau ibu yang bekerja di luar rumah atau memiliki kesibukan. Bahkan hal tersebut sebenarnya bukan hal yang baru lagi. Berkembangnya waktu akan merubah pula proses dan pola pikir tentang peran dan kedudukan seorang istri sekaligus ibu bagi anak-anaknya.

Hak ibu atas hak asuh anak di atas seorang suami. Karena merupakan hak, maka istri sekaligus ibu ini juga memiliki hak untuk memilih pengasuhan anak-anaknya.  Ibu kandung bisa mempercayakan pengasuhan anaknya kepada orang yang dipercaya. Bukan hanya percaya, tapi memenuhi syarat-syarat yang di haruskan. Seperti, seorang hadhinah (ibu asuh) adalah yang beragama islam dan berperilaku baik.

Baca Juga:  Rekonstruksi Makna Ibu secara Holistik

Saat anak di asuh oleh pengasuh lain, maka baik istri maupun suami dapat beraktivitas. Bukan berarti saat istri menyerahkan anaknya kepada pengasuh, istri tidak mau untuk merawat dan mengasuh anak. Selagi tidak ada yang dipermasalahkan dalam pengasuhan kepada ibu asuh yang bukan ibu kandungnya maka hal tersebut tidak menjadi masalah.

Ketentuan hak asuh anak pada pasal tersebut tentu berkaitan dengan sejarah dari penyusunan KHI yang banyak menggunakan atau bersumber dari kitab-kitab klasik memang benar adanya. Pada faktanya tidak bisa disalahkan total dari bunyi pasal yang dianggap belum maksimal. Hak asuh anak yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, nampaknya membatasi ruang gerak perempuan untuk beraktivitas lebih jauh. Bila kita mencermati KHI, memang tak seluruh aturan-aturan yang dimuat disitu merugikan perempuan. Ada beberapa di antaranya terlihat lebih progresif dibanding kebanyakan kitab fikih yang dipakai masyarakat.

Melihat fakta KHI yang dikeluarkan pada tahun 1991 di zaman presiden Soeharto, kedudukan dan peranan perempuan dirasa sangat sempit. Tidak kalah dalam fakta empirisnya, masyarakat berpandangan bahwa, istri yang bertanggung jawab atas segala kebutuhan rumah tangga, mengasuh anak, mendidik hingga masih banyak lainnya. Ironisnya, anak perempuan yang telah menjadi istri bagi suaminya, baik sebagai istri pertama, kedua maupun ketiga seakan-akan harus sepenuhnya untuk berbakti dan mengabdi kepada suami.

Masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa pernikahan dijadikan sebagai satu-satunya cara untuk menambah pahala, bukan berarti menolak pernikahan. Justru dengan menikah yang dilakukan sesuai dengan syarat dan rukun agama akan menjadikan sumber pahala dalam keluarga. Akan tetapi, masih ada anggapan bahwa kedudukan istri sepenuhnya untuk melayani suami dan kewajiban untuk berbakti. Hal ini dijelaskan pada pasal 83 KHI. Tidak ada salahnya  memang ketika KHI menyebutkan yang demikian. Karena dalam pasal tentang kewajiban suami terhadap istri hanya disebutkan mengenai kewajiban nafkah, pendidikan anak dan suami sebagai pelindung bagi istri.

Baca Juga:  Wanita Akhir Zaman, Sibuk Percantik Diri dan Persoalkan Jodoh

Pada pasal-pasal KHI yang menyangkut tentang peranan istri, membuat istri menjadi tidak mandiri. Padahal, dalam kehidupan berumah tangga baik istri maupun suami harus bisa menjadi pribadi yang saling melengkapi.

Dalam menjalankan kehidupan berumah tangga, terdapat pembagian peran yang diatur dalam UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam Pasal 31 ayat (3) di sebutkan bahwa suami sebagai kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga. Secara sepintas, melihat pembagian peran ini kurang tepat jika harus diimplementasikan di zaman sekarang. Merujuk pada kalimat tersebut terdapat hubungan yang erat antara pekerjaan atau nafkah yang dipertanggungjawabkan kepada suami, dan segala kepengurusan rumah tangga beserta anak ada pada tanggung jawab istri. Mengenai pembagian peran ini juga diatur dalam Pasal 79 Kompilasi Hukum Islam.

Perkawinan yang ideal adalah perkawinan yang disamping dilakukan sesuai dengan syarat dan rukunnya sesuai dengan agama, juga sesuai dengan nilai-nilai keseimbangan sebagai manusia yang sesugguhnya yang dilaksanakan atas dasar suka sama suka, saling mencintai dan saling mengerti, bukan tentang memberi dan menerima tetapi saling memberi dan berbagi.

Begitu pula dalam hal pasangan yang ideal. Adanya penciptaan manusia yang berpasang-pasang adalah untuk saling melengkapi bukan untuk saling menyaingi. Sekalipun tidak akan terlepas dari adanya paham bahwa yang baik akan mendapatkan yang baik pula. Sejatinya, pasangan bisa dikatakan ideal adalah mereka yang merasa saling membutuhkan dan saling melengkapi antara suami dan istri sebagai induk dalam keluarga. [HW]

Ria Cahyaning Utami
Alumni Hukum Keluarga Islam UIN Sunan Ampel Surabaya 2019 dan Anggota Klinik Etik dan Hukum UIN Sunan Ampel yang bekerjasama dengan Komisi Yudisial RI 2018.

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. […] hukum tidak terlepas adanya hubungan dan korelasi antara agama dan Negara sehingga lahirnya Hukum Keluarga Islam sebagai tawaran untuk menyelesaikan beberapa permasalahan, sebab hukum keluarga dianggap sebagai […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini