saling serang bisnis gaib

Suatu ketika, seorang pengendara motor berhenti di depan sebuah rumah. Terlihat ia menghampiri seseorang yang menenteng tas kresek berisi makanan. Setelah basa-basi sebentar, ia amati gawainya dengan mimik serius. Sejurus kemudian, pengendara motor tersebut menerima tas kresek lalu meluncur ke suatu tempat.

Adegan di atas pasti sering Anda temui, apalagi saat pandemi saat ini. Sambil bergurau, orang-orang menyebutnya bisnis ‘gaib’. Apa maksud dari guyonan tersebut?

Bisnis ‘gaib’ dalam judul di atas bukan bermaksud menjelaskan hal-hal mistis atau tak kasatmata. Bisnis ini disebut gaib karena tak jelas siapa yang pesan makanan atau barang, ujug-ujug ada orang yang mengambil lalu mengantar makanan tanpa disuruh, lalu ujug-ujug juga makanan tiba kepada orang yang mendaku diri sebagai pemesan.

Model bisnis di atas sedang moncer saat ini. Bisnis yang bisa berlangsung tanpa tatap muka antara pembeli dan penjual. Perdagangan elektronik (e-commerce), platform pesan antar, keduanya menjadi andalan untuk proses transaksi.

Namun, bisnis gaib ini bukan berarti sepi dari genderang perang. Para pelaku bisnis gaib seakan punya hukum tak tertulis bahwa siapa yang kuat, ia yang menang. Ia yang kuat dalam jaringan bahan baku, produksi dan distribusi bisa tersenyum bahkan tertawa di akhir laga.

Genderang perang nampaknya sudah ditabuh lagi. Kali ini suaranya terdengar dari negeri sebelah, India. Penabuh genderang itu akan membuka 100 dapur. Rebel Food, begitu mereka menyebut dirinya.

Soal sejarah Rebel Food di India, Anda akan mudah mencarinya lewat dunia maya. Tapi yang jadi poin menarik adalah mereka memilih dapur, alih-alih restoran sebagai titik utama. Mengapa dapur yang notabene berskala kecil dibanding restoran?

Justru dengan dapur, mereka ingin melakukan pemberontakan. Mereka ingin meruntuhkan status quo restoran yang menyedot banyak modal, ribet dalam pilihan lokasi, hingga tenaga kerja.

Restoran identik dengan area yang luas, lokasi strategis hingga tenaga kerja yang terampil. Hal itu membuat restoran lekat dengan embel-embel modal tinggi. Berbeda dengan dapur yang tak butuh area luas, tak perlu tempat strategis, asal terhubung dengan platform pesan antar untuk menghubungkan mitra pengantar dan penyedia bahan baku, urusan mereka sudah selesai.

Tak heran Gojek berani investasi jutaan dollar pada Rebel Food. Berbekal kompetensi jaringan dapur di atas, cukup rasanya mendompleng kemapanan restoran. Setelah OYO dari India selaku manajemen properti masuk ke Indonesia, kini giliran dapur dari India segera menyusul.

Saling Serang

Kita ingat para pedagang daring ramai berjualan lewat e-commerce. Ribuan hingga jutaan pedagang pemula mencari peruntungan lewat dunia maya. Para pedagang tersebut membangun keramaian pasar dengan mengajak pembeli bertransaksi lewat e-commerce.

Perlahan disusul oleh para pebisnis besar. Awalnya pedagang kulakan baju dari pabrik, lalu dijual lewat e-commerce. Tak mau ketinggalan, pabrik baju itu menjual sendiri lewat e-commerce serupa. Hasilnya, pedagang pemula mulai terpinggirkan. Mereka kalah dari segi harga atau stok barang. Kondisi menjadi berdarah-darah, kecuali pedagang pemula itu punya produk yang khas, atau hanya ia yang punya produk.

Sepertinya sejarah akan berulang. Dulu pedagang kecil ramai mengajak pembeli untuk transaksi lewat platform pesan antar. Setelah platform punya pasar sendiri, ia akan bikin dapur sendiri lalu berjualan sendiri.

Gelanggang pertarungan sudah dibuka. Pemain yang kuat mencitra diri, pemain yang kuat pengelolaan biaya, pemain yang kuat pengelolaan pelanggan, ia akan bertahan dalam pertarungan ini.

Akhir kata, selamat bertarung. [HW]

Hanif Nanda Zakaria
Penulis Buku "Bang Ojol Menulis" Alumnus Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini