Nyawer Pembaca Ayat Tuhan

Seingat saya, yang dulu pernah viral adalah saat Gus Faiqunnuha Mubarok, Lc., M.A., Situbondo, saat melantunkan ayat suci di depan para jamaah di Pakistan. Di atas panggung, dengan menggunakan peci hitam khas Indonesia dan berkalung bunga, suaranya yang merdu memukau jamaah.

Setiap kali jeda, suara takbir berkumandang. Dan, beberapa orang dari arah samping nyawer duit. Polahnya seperti menghamburkan uang dari arah atas kepala qari. Dari depan panggung beberapa jamaah sliwar-sliwer naruh cuan di depan Gus Faiq. Dia tetap melanjutkan. Ekspresinya cuek, lebih tepatnya fokus menyelesaikan bacaannya.

Saya kira ini tradisi nyawer qari di sebagian, ya hanya di masyarakat tertentu, di wilayah Pakistan. Qari lain asal Indonesia, Ustadz Mu’min Ainul Mubarok, tidak mengalaminya saat berada di negeri Sir Muhammad Iqbal itu. Saat melantunkan al-Kafirun, an-Nashr dan al-Ikhlas dia tidak mengalami penyaweran. Jamaah di sampingnya yang menggunakan sorban dan pakaian gaya Taliban pun anteng. Demikian juga dengan qari’ asal Tanzania, Eidi Shaban. Dia melantunkan tilawah, tapi jamaah anteng. Hanya, di video lain, di lokasi lain di Pakistan, jamaah nyawer. Caranya, ketika jeda, jamaah berdiri, bertakbir sambil menengadahkan tangan, lantas menaruh lembaran uang di depannya

Qari’ International, Ustadz Rajif Fandi (Aceh), ketika melantunkan ayat suci juga disawer. Bukan di Pakistan, tapi di tanah airnya. Peci putihnya malah banyak diselipi duit sama jamaah. Ketika peci putihnya sudah penuh selipan duwit pun, seorang tua berpenampilan haji, naik dan memaksakan diri memasukkan beberapa lembar ke dalam peci bulat si qari. Saya tidak tahu di daerah mana. Tapi videonya beberapa bulan lalu juga ramai. Syekh Raja’i Ayoub, qari asal Tanzania, ketika diundang di Cilongok, juga disawer dan lembaran uang dari para jamaah juga diselipkan di peci beliau. Walaupun kemudian beberapa panitia– di tengah beliau sedang fokus menyelesaikan bacaannya– mengambil, merapikan, dan menaruh uang tersebut di depannya.

Baca Juga:  Membaca Fenomena Berislam: Genealogi dan Orientasi Berislam Menurut Al-Qur’an

Dan, kini terjadi lagi. Lebih viral karena yang disawer perempuan, Nadia Hawasyi. Yang nyawer para pria. Ada beberapa versi video. Salah atu peristiwa terjadi di Banten, kalau tidak salah. Acara pada saat Maulid Nabi.

Beberapa pria maju bergantian, menyawer dengan polah membuang-buang duwit ke arah qariah, ada juga yang mengalungkannya, ada pula yang menyelipkannya di sela jilbabnya. Duh. Persis nyawer biduan dangdut. Jamaah ibu-ibu malah bersorak persis melihat lelucon. Yang lebih sopan malah seseibu yang naik panggung, lantas menaruh uang di meja kecil di depan Mbak Nadia.

Dalam ekspresinya, Mbak Nadia tampak risih dengan tetap menahan senyum sembari konsisten menjaga profesionalismenya. Menuntaskan tilawahnya di tengah bunyi suit-suit suara dan sorak sorai diselai tawa jamaah.

Mbak Nadia sudah menyatakan ketidaksetujuannya, sebagaimana dilansir NU.Online, tapi netizen komentar aneh-aneh. “Jika tidak nyaman, kenapa tidak langsung menghentikan bacaannya dan marah?”, atau “Lain kali, kalau nggak mau diperlakukan begitu, langsung berhenti saja.”, juga komentar-komentar lain yang semuanya dari pria–dan tentu saja bukan qari– yang malah menyalahkan Mbak Nadia. Fokus pada menyalahkan qariah, bukan pada penyawer dan “tradisi” saweran.

Saya nggak tahu tradisi nyawer qari’ ini sejak kapan, dan di daerah mana saja. Soalnya di daerah saya nggak ada. Qari’ membaca, jamaah mendengarkan, walaupun sebagian masih ada yang ngobrol dengan berbisik, dan sebagian lain malah main hape, dan saya di antaranya. Hahahaha.

Di antara qari yang tegas menghentikan bacaannya adalah legenda hidup Indonesia, KH. Muammar ZA. Dalam sebuah video, beliau menghentikan bacaannya sejenak, lantas menegur jamaah ibu-ibu yang masih ramai dan tampak ribet soal distribusi konsumsi jamaah.

Baca Juga:  Bersegeralah menuju Sajadah Tuhan

**

Saya kira memang kudu dipertegas etika berkaitan dengan sawer menyawer qari. Niatnya memang memuliakan, tapi jika dilakukan dengan cara yang niretika, juga nggak pantes. Ini standar kepantasan. Kalaupun mau ngasih, bisa setelah acara dengan cara yang elegan pula.

Para kiai dan ajengan bisa meluruskan tradisi ini dalam beberapa ceramahnya, walaupun beresiko “dijauhi masyarakat”. Mau ngasih uang atau bingkisan silahkan tapi nanti setelah acara. Saya kira semua jamaah menyukai lantunan merdu firman-Nya, termasuk mengormati pelantunnya, tapi cara yang lebih beretika dalam memberi, itu lebih elok, elegan dan ekselen (ahsan). []

Rijal Mumazziq Zionis
Pecinta Buku, Rektor INAIFAS Kencong Jember, Ketua LTN NU Kota Surabaya

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini