Nalar Feminis: Sebuah Tawaran Pencegah Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kekerasan terhadap perempuan menjadi satu dari sekian persoalan hukum yang masih menjadi pekerjaan rumah (PR) pemerintah di Indonesia saat ini. Pemerintah dituntut untuk dapat mengangkat posisi perempuan agar setara dengan laki-laki melalui berbagai institusi yang ada. Kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Indonesia semakin menarik untuk didiskusikan, sebab data kekerasan yang muncul di permukaan jauh lebih sedikit daripada yang semestinya.

Sebagaimana yang dilansir oleh kompas.com (28/09/2021), Komisi Nasional Anti Kekerasan  Perempuan (Komnas Perempuan) Indonesia menyebutkan selama 2004-2021 terdapat kurang lebih 544.452 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), khusus selama lima tahun terakhir, terdapat 36.367 kasus KDRT. Andy (Ketua Komnas Perempuan)memaparkan dari jenis-jenis KDRT, kekerasan terhadap perempuan khususnya istri selalu menempati peringkat pertama dari keseluruhan kasus KDRT yang terjadi.

Faktor budaya tidak terlepas memberi legitimasi atas kekerasan terhadap perempuan. Adanya dominasi budaya patriarkhi telah memunculkan stigma negatif bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah sesuatu yang wajar diterima perempuan.Sementara dalam konteks Indonesia realitas kekerasan tersebut bukan hanya dalam ranah tradisi semata, namun juga bergulir kepada semua tindakan yang mengatasnamakan agama.

Faktanya sebagian besar perempuan selalu tidak berkutik ketika dihadapkan dengan tafsir keagamaan. Padahal hadirnya agama pada hakikatnya berpotensi menjadi aset besar bagi perkembangan taatanan masyarakat. Namun yang tampil di permukaan justru terkesan agama tidak bersahabat dengan perempuan.

Islam dengan kesempurnaan ajarannya sesungguhnya telah mengusung semboyan anti kekerasan, khususnya kekerasan terhadap perempuan. Sebagaimana agama-agama lain, Islam hadir untuk mengajarkan kepada pemeluknya agar tidak berbuat kekerasan tidak terkecuali terhadap insan laki-laki maupun perempuan. Namun rupanya fakta lapangan berbicara lain. Wajar jika kemudian muncul sebuah pertanyaan, apakah Tuhan memang mengajarkan dan membenarkan tindakan kekerasan dengan atas nama agama?

Baca Juga:  Agama dan Konflik Kekerasan di Masa Utsman bin Affan

Jika diamati secara tajam mengapa perspektif subordinatif semacam itu dapat subur dan mengakar kuat dalam pemikiran keagamaan. Beberapa kemungkinan bisa saja terjadi misalnya karena adanya misinterpretation dalam memahami bunyi nash, metode penafsiran yang parsial, dan seringkali menggunakan hadits-hadits lemah atau palsu untuk sekedar menguatkan argumennya.

Kemungkinan-kemungkinan yang muncul di atas pada akhirnya terkumpul dalam interpretasi para elit keagamaan yang diyakini sebagai pewaris otoritas tertinggi keagamaan. Parahnya seringkali mereka kurang memperhatikan faktor sosio-kultural dimana dan kapan teks itu disampaikan. Sementara di sisi lain juga banyak terjadi manipulasi hadits-hadits Nabi yang sarat dengan kepentingan-kepentingan politis.

Konsekuensi logis dari sistem patriakhi yang dimanfaatkan dengan mengatasnamakan agama adalah menyuburnya kekerasan terhadap perempuan. Konsekuensi semacam ini nampak dalam pemahaman parsial pada potongan teks surat An-Nisa’ ayat 34:

… وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

“Perempuan-perempuan yang kalian khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kalian beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur, dan (jika perlu) pukullah (tanpa melukai)  mereka. Tetapi jika mereka menaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, lagi Maha Besar”. (Q.S. An-Nisa’: 34)

Pemahaman klasik memandang lafadz وَاضْرِبُوهُنَّ dalam ayat di atas dominan memaknai dengan amkna memukul secara fisik. Pemahaman semacam ini ternyata bertolak berlakang dari asbab al-nuzul surat An-Nisa’ ayat 34, sebagaimana al-Suyuthi memaparkan kronologis ayat ini diturunkan:

«أنَّ رَجُلًا مِنَ الأنْصارِ لَطَمَ امْرَأتَهُ فَجاءَتْ تَلْتَمِسُ القِصاصَ، فَجَعَلَ النَّبِيُّ ﷺ بَيْنَهُما القِصاصَ، فَنَزَلَتْ: ﴿ولا تَعْجَلْ بِالقُرْآنِ مِن قَبْلِ أنْ يُقْضى إلَيْكَ وحْيُهُ﴾ [طه: ١١٤] [طه: ١١٤] فَسَكَتَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ ونَزَلَ القُرْآنُ: ﴿الرِّجالُ قَوّامُونَ عَلى النِّساءِ﴾ إلى آخِرِ الآيَةِ، فَقالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «أرَدْنا أمْرًا وأرادَ اللَّهُ غَيْرَهُ»» .

Baca Juga:  Menghapus Tompel Pesantren

(الدر المنثور — جلال الدين السيوطي (٩١١ هـ)

Bahwa ada seorang laki-laki golongan al-Anshar yang menampar istrinya, maka istri tersebut mengadu (kepada Rasulullah Saw) dan menuntut balasan. Rasulullah Saw pun mengabulkan tuntutan itu di antara keduanya. Maka turunlah ayat 114 surat Thaha (sebagai teguran kepadanya) dan Rasulullah Saw pun terdiam, lalu turunlah ayat  34 surat An-Nisa’, maka Rasulullah Saw bersabda: “Aku menghendaki sesuatu (qishash/balasan memukul), namun Allah menghendaki yang lain”.

Dalam konteks sosial dewasa ini, alternatif yang ditawarkan al-Qur’an untuk mengatasi nusyuz istri terhadap suami dapat dipandang sebagai kemajuan untuk mewujudkan rekonsiliasi tanpa kekerasan. Al-Qur’an dalam hal ini sesungguhnya menghendaki dihapuskannya cara-cara kekerasan untuk mengatasi nusyuz istri. Rasulullah Saw sendiri nampak mengehendaki agar membalas memukul (qishash) tetapi al-Qur’an melihat keputusan itu tidak dapat efektif jika dilakukan seketika.

Muhammad Syahrur dengan prinsipnya ثَبَاتُ الصِّيْغَةِ وَحَرَكَةُ الْمُحْتَوَى  (tetapnya sebuah teks dan berubahnya sebuah makna) melihat lafadz وَاضْرِبُوهُنَّ dalam ayat tersebut dengan makna المَوْقِفُ الْحَازِمُ اْلعَلَنِيُّ yaitu bertindak tegas-terbuka terhadap mereka. Tindakan tegas-terbuka yang dimaksud dapat diterapkan melalui mekanisme arbitrase. (Al-Qur’an wa al-Kitab: Qira’ah Mu’ashirah, 622)

Arbitrase juga sejalan dengan penanganan suami apabila nusyuz, sebagaimana termaktub dalam surat An-Nisa’ ayat 128:

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ …

“Dan apabila seorang isteri takut dengan sikap tak-acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya melakukan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi keduanya) meskipun manusia itu secara tabiatnya kikir”. (Q.S. An-Nisa’: 128)

Tampaknya tawaran Syahrur ini dipandang lebih relevan dengan konteks Indonesia saat ini. Apabila tawaran itu nantinya disepakati dan mampu dilaksanakan dengan baik dan bijak, kecil kemungkinan akan terjadi adanya nusyuz yang berujung pada tindak kekerasan antara suami-istri dalam rumah tangga. Wallahu a’lam. []

Nano Romadlon Auliya Akbar
Mahasiswa Magister Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini