Gus Ulil: Takwil dan Semangat Toleransi ala Faishal al-Tafriqah

Faktanya tak ada yang membantah kebesaran al-Ghazali. Pasalnya, di bidang tasawuf, kitab Ihya Ulumuddin, karya monumental al-Ghazali yang di ampuh oleh Gus Ulil Abshar Abdalla melalui “Pesantren Virtual Ghazalian College”, ia mendapatkan sambutan meriah dan antusiasme dari publik Islam sejak dulu hingga sekarang. Kitabnya yang terkenal selain Ihya Ulumuddin adalah kitab Misykat al-Anwar, Faishal al-Tafriqah dan beberapa kitab lainnya.

Kitab ini di tulis oleh al-Ghazali sebagai pembelaan diri terhadap tuduhan kafir atas dirinya. Tak heran jika keseluruhan teks Faishal al-Tafriqah oleh al-Ghazali dicurahkan untuk membicarakan isu pengkafiran (takfir). Misalnya, bagaimana kita membedakan seorang Muslim dari seorang yang kafir. Al-Ghazali menjawab pertanyaan ini dengan rumusan sederhana: bahwa seorang muslim adalah, seorang yang percaya kepada apapun yang disampaikan oleh Nabi Muhammad kepada kita. Dalam hal ini, membenarkan ajaran yang disampaikan oleh al-Qur’an dan Hadits. Sementara seorang yang kafir adalah, seorang yang menolak untuk percaya dan mempercayainya.

Karena itu dalam prolognya, dengan kobaran api, al-Ghazali menyerang para pendahulunya sebagai orang yang dengki yang mentah dan dungu. Semua para penyerangnya ia tuduh sebagai orang yang Tuhannya adalah nafsu; yang sembahannya adalah para sultan; yang arah kiblatnya adalah dinar dan dirham; yang syariatnya adalah kecerobohan dan pemujaan terhadap jabatan kekayaan; yang dzikirnya adalah bisikan syetan; yang tafakurnya adalah pencarian muslihat-hukum demi menuruti hasrat ragawi mereka.

Maklum saat itu, al-Ghazali tak bisa mengelak dari desakan wazir. Maka begitu ia diangkat menjadi guru besar Madrasah Nizhamiyah, dan akhirnya tak lama kemudian menjadi sasaran serangan para ulama Naisyapur yang antipati kepadanya. Berbagai tuduhan dialamatkan kepadanya bahwa, pemikirannya tentang teologi yang di rumuskan salah satunya dalam kitab Misykat al-anwar adalah menyimpang dari ajaran Asy’ariyah, dan bahwa ia banyak meminjam ajaran para filsuf Muslim seperti al-Farabi dan Ibnu Sina (Avicenna).

Baca Juga:  Perangkat itu Bernama Kegigihan

Tentu tuduhan-tuduhan ini ada implikasi politisnya bahwa, jika al-Ghazali terpengaruh dengan pemikiran al-Farabi dan Ibnu Sina, sementara kedua filsuf ini banyak di serap sekte Syiah Ismailiyah yang merupakan musuh politis dan ideologis Dinasti Saljuq. Akhirnya, keluarnya tuduhan bahwa al-Ghazali adalah seorang pengikut dan penganut Ismailiyah yang sesat-menyesatkan dan kafir. Sehingga, sangat tidak pantas untuk diangkat sebagai guru besar Madrasah Nizhamiyah.

Menurut Gus Ulil, sapaan akrab KH Ulil Abshar Abdallah, kitab Faishal al-Tafriqah adalah salah satu kitab al-Ghazali yang semangatnya adalah mengembangkan sikap toleransi. Kitab ini penting dikaji ditengah marak susahnya toleransi. Penting, karena faktanya, toleransi internal lebih susah dari pada toleransi eksternal. Dalam hal ini, pertengkaran didalam rumah tangga (sesama muslim) jauh lebih berat (sering terjadi) dari pada pertengkaran antar tetangga (non muslim).

Walaupun pada umumnya, seseorang bisa bertetangga (sosial) dengan mudah. Tapi, kadangkala konflik dalam rumah tangga malah jauh lebih berat. Karena itu, toleransi internal begitu sangat pentingnya kita diskusikan ketimbang toleransi eksternal. Namun demikian, alih-alih toleransi internal, bukan berarti toleransi eksternal tidak penting, karena kita tidak akan bisa membangun suatu negara tanpa saling menghargai antar satu dengan yang lain. Begitu juga, penghargaan atau saling menghargai antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam agama yang sama (intra moral konflik: istilah Gus Ulil), juga tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan.

Salah satu kelompok dalam Islam yang paling menghindari takwil adalah, kelompok Imam Ahmad ibn Hambal (Mazhab Hambali), yang belakangan di ikuti oleh Salafi dan Wahabi. Namun demikian, tak boleh dipungkiri, keduanya adalah bagian dari umat Islam, walaupun sebagian dari mereka ada yang mengkafirkan pengikut Asy’ariyah (suka mengkafirkan jika tidak satu pemahaman).

Baca Juga:  Workshop Penyusunan Kurikulum Muatan Lokal Berbasis Toleransi Di Kota Malang Oleh PC NU Kota Malang Dan Dinas Pendidikan Kota Malang

Alih-alih menghindari takwil, menurut al-Ghazali, rupa-rupanya Imam Ahmad Ibn Hambal ternyata juga melakukan takwil minimal dalam tiga hadits:

إِنَّ الْحَجَرَ الْأَسْوَدَ يَمِينُ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ

“Sesungguhnya Hajar Aswad merupakan (seolah) tangan Allah di bumi.”

‎ قلب المؤمن بين إصباع من أصابع الرحمن

“Dunia hati seorang mukmin ada di jari-jari tangan Tuhan.”

إني لا أجد نفس الرحمن من قبل اليمن

“Dari tanah Yaman saya merasakan ada nafasnya Allah.”

Tentang tiga hadits diatas, Imam Ahmad juga melakukan takwil. Tak hanya itu, Gus Ulil mengatakan, kita sebagai warga Nahdliyyin jangan mudah menyalahkan serta mengkafirkan seseorang hanya karena berbeda secara pemikiran dan argumentasi. Justru sebaliknya, kalau perlu (mereka yang dianggap melenceng pemikirannya) carikan dalil atau ihtimal-mahamil: kemungkinan, supaya dia tetap berada dalam garis-garis Islam. Tentu, dalam hal ini yang ditegaskan oleh Gus Ulil adalah, semangat kitab Faishal al-Tafriqah yaitu semangat toleransi, bagaimana kita berpendapat dan bagaimana kita menghargai pendapat orang lain.

Dalam memahami teks, sambung Gus Ulil, dua cara yang harus diketahui supaya tidak gampang menyalahkan. Pertama adalah tafsir; bagaimana memahami teks, kalimat berdasarkan makna lahiriahnya, makna bersifat langsung. Sementara yang kedua adalah takwil; bagaimana kita memahami suatu jalan secara tidak langsung, tapi melalui pendekatan metaforis atau majaz.

Syahdan, kita tahu bahwa ciri khas mazhab Asy’ari dan mazhab Muktazilah adalah, cenderung melakukan takwil secara ekstensif. Sementara kelompok Imam Ahmad Ibn Hambal dan para pengikutnya mazhab salaf, tidak terlalu suka dalam hal takwil-menakwil, termasuk Imam Syafi’i tidak terlalu suka dengan takwil.

Menarik, perlu diketahui, bahwa mazhab Maliki yang berkembang di Afrika Utara, Mesir, Libya, Tunisia, Al-Jazair, Maroko dan Spanyol dulu, dalam hal aqidah juga mengikuti aqidah Imam al-Asy’ari atau Asy’ariyah. Berbeda dengan pengikut mazhab Hanafi yang berkembang di Turki, kawasan Asia Tengah, India, Pakistan mereka lebih cenderung mengikuti aqidah Maturidiyah. Meski demikian, baik aqidah Asy’ariyah, Maturidiyah, dan Muktazilah punyak kesamaan yaitu, mereka sama-sama mempergunakan takwil dalam derajat yang lebih besar dari pada pengikut mazhab Hambali.

Baca Juga:  Pesantren Telah Teruji Melahirkan Insan Toleran

Sebenarnya kelompok Asy’ariyah secara aqidah adalah salaf. Artinya, kata Gus Ulil, kita dan orang-orang Wahabi sebetulnya punyak kesamaan. Kesamaan, kita mengikuti mazhab salaf, sementaranya perbedaanya pada hal metode. Bahwa metode kaum Salafi dan Wahabi adalah metode “bilaa kaiifa” yaitu, ketika mereka berhadapan dengan ayat dan hadits yang mengandung makna mutasyabih (antropomorfisme), maka cukup di imani saja tanpa mempersoalkan. Sementara metode mazhab Asy’ari adalah rasionalisme. Jika sesuatu itu berpotensi mengundang kontroversial maka, wajib bagi kita melakukan takwil.

Tidak menutup kemungkinan, tentunya, sedikit banyak Imam Asy’ari terpengaruh oleh rasionalisme Muktazilah. Mengingat pada mulanya, Imam Asy’ari adalah pengikut setia Muktazilah, namun karena tidak puas akhirnya ia keluar mencari jalan lain. Alih-alih keluar, Imam Asy’ari menganggap metode rasional dalam menjelaskan aqidah, seperti yang dikembangkan Muktazilah, sangat relevan. Pendek kata, bahwa yang di ambil adalah tariqah atau manhajnya, tetapi esensinya adalah esensi mazhab kaum salaf. Wallahu a’lam bisshawab. []

Salman Akif Faylasuf
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini