Menelusuri Jalan Sunyi Petapa Katolik

Kami keluarga PCI NU Belanda melakukan kunjungan ke pertapaan (monastery) Koningshoeven Abbey umat Katolik yang berada di kota Berkel-Enschot, Sabtu (16 November 2019) kemarin. Kami diterima oleh seorang biarawan, pak (broeder) Albert, yang telah tinggal 6 tahun di situ.

Seperti halnya sufisme dalam Islam, pak Albert menetapkan langkah hidupnya untuk memilih jalan sunyi. Monastery yang ia ikuti adalah monastery kontemplatif, bukan aktif/karitatif. Sehari-hari, hidupnya (hanya) dihabiskan untuk berdoa 7 kali sehari, dimulai jam 4.15 di pagi hari, dan bekerja selama 6 jam. Pak Albert dikirim oleh pertapaan Santa Maria Rawaseneng Temanggung Jawa Tengah. Hidup di pertapaan, pak Albert menekankan tiga prinsip hidup: selibat, kesederhanaan, dan ketaatan.

Dulu monastery ini dihuni oleh sekitar 100 an biarawan. Kini, tinggal 20 saja. Sekularisme dan hedonisme yang berkembang cukup pesat di dunia Barat memang menjadi ancaman serius bagi komunitas-komunitas keagamaan seperti ini.

Anak muda jarang sekali yang tertarik pada aktivitas keagamaan seperti yang dijalani pak Albert. Pilihan hidup yang ia jalani memang terasa tidak rasional dalam kaca mata modern. Hidup seadanya dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk kepentingan Tuhan. Tetapi, ia justru merasakan kenikmatan di situ.

Selain diajak keliling melihat gereja dan caple kecil tempat ia dan teman-temannya berdoa, kami juga berkeliling melihat sentra-sentra usaha yang menjadi penopang monastery tersebut. Mereka memproduksi coklat, keju, bir dan mengolah lahan pertanian. Dari hasil usaha itulah mereka menghidupi dirinya sendiri.

Sungguh ini merupakan pengalaman menarik yang menginspirasi bagaimana kita di samping berdakwah dan memberi pelayanan bagi umat juga memiliki kemandirian ekonomi melalui usaha-usaha produktif. Pesantren semestinya jauh lebih mampu untuk melakukan yang seperti ini

M. Latif Fauzie
Ketua PCINU Belanda.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini