Liburan, Healing dan Fenomena Kemacetan Lalu Lintas: Refleksi Peringatan Isra’ & Mi’raj Nabi Muhammad Saw.

Baru-baru ini jagat media sosial dihebohkan dengan kemacetan lalu lintas yang terjadi di daerah wisata puncak, Cisarua, Bogor. Kemacetan tersebut terjadi lantaran naiknya volume kendaraan yang menuju puncak pada akhir pekan demi memanfaatkan waktu libur dalam rangka memperingati peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw.

Tambahan waktu libur tersebut merupakan berkah tersendiri bagi sebagian besar masyarakat, utamanya mereka yang telah lama menghabiskan waktu untuk bekerja sehingga menyita waktu bersama pasangan maupun keluarga. Oleh karena itu, ketika ada kesempatan untuk berlibur bersama, tentu tidak akan disia-siakan.

Namun, kenyataan di lapangan kadang tak seindah yang dibayangkan. Akibat antusiasme yang tinggi tersebut, telah terjadi kemacetan yang -bisa dibilang- parah di sepanjang ruas jalan puncak Bogor selama lebih dari 10 Jam. Kemacetan tersebut tidak hanya merugikan para wisatawan tetapi juga aktivitas masyarakat sekitar. (Tempo.co, 2022)

Seseorang yang berlibur tentu bertujuan untuk menyegarkan kembali pikiran dan badan akibat kejenuhan pekerjaan. Rasa suntuk dan bosan bahkan stres tidak jarang dialami oleh masyarakat. gejala-gejala psikis tersebut tentu membutuhkan sarana dan tindakan penyembuhan. Dalam istilah generasi millenial, tindakan tersebut lazim disebut dengan “healing”.

Healing sendiri merupakan kata yang berasal dari bahasa inggris yang berarti penyembuhan psikis dan mental. Seseorang yang memiliki tekanan batin akibat hal-hal negatif rentan mengalami gangguan psikis dan mental yang berpotensi menimbulkan rasa penyesalan berlebihan, patah semangat bahkan kehilangan semangat hidup. Guna menghindari hal buruk tersebut dilakukanlah beberapa terapi yang bertujuan memotivasi agar kestabilan psikis dan mentalnya dapat pulih.

Setiap manusia tentu memiliki permasalahannya masing-masing. Tidak ada satu pun manusia di dunia ini yang tidak pernah tidak bersedih atas masalah yang dialaminya. Bahkan Nabi Muhammad Saw, sosok yang paling sempurna nan mulia ibarat intan di antara bebatuan, juga pernah bersedih atas masalah yang beliau alami.

Baca Juga:  Nabi Muhammad Perangi Khilafah

Salah satunya adalah di saat beliau kehilangan dua sosok terkasih yang senantiasa mengawal jalan dakwah menegakkan agama Allah SWT, yakni Pamanda Abu Thalib dan Sayyidah Khadijah r.a. pada Tahun Kesepuluh Kenabian. Kesedihan tersebut begitu terasa bagi Nabi Muhammad Saw sehingga tahun itu disebut dengan ‘Ām al- Huzn, Tahun Kesedihan. (Sayyid Muhammad bin Alawi Al- Maliki, Sejarah Kehidupan Sang Nabi, Cet. Ke-2, 2021)

Penderitaan Nabi Saw. tidak berhenti di situ. Pasca kedua orang terkasihnya wafat, beliau mendapatkan cobaan di kala berhijrah ke Thaif berupa penolakan dari penduduk setempat. Pada saat itu, masyarakat tidak hanya menolak dengan cacian dan hinaan. Mereka bahkan melakukan kekerasan fisik terhadap Nabi Saw dengan melempari beliau menggunakan batu. Sungguh penderitaan yang tak terperikan.

Mengalami penderitaan bertubi-tubi tersebut Rasulullah Saw. tidak menyerah bahkan tidak gentar sedikit pun. Beliau terus berdakwah menyebarkan agama Allah SWT. Pada saat itu, enam orang pertama dari kaum Anshar dari suku Khazraj bertemu dan beriman kepada beliau. Selain itu, terdapat sekelompok Jin berjumlah sembilan dari Syam beriman kepada beliau Saw sebagaimana dikisahkan dalam QS. Al- Ahqāf ayat 29. (Sayyid Muhammad bin Alawi Al- Maliki, Tārīkh al- Hawādith wa al- Ahwāl al- Nabawiyyah, Cet. Ke-12, 1996)

Kehilangan dua sosok terdekat dan berperan penting dalam kehidupan dan dakwah tentu berdampak besar kepada Nabi Saw. bagaimana pun beliau juga seorang manusia yang memiliki sifat basyariyah (kemanusiaan). Tetapi beliau tetap teguh berjuang dan sabar di jalan dakwah. Berkenaan dengan kesedihan tersebut, Allah kemudian memberikan kabar gembira dengan meng-Isra’ kan beliau dari Masjid al- Haram menuju Masjid al- Aqsha dan me-Mi’rajkan beliau menuju Sidrah al- Muntahā.

Menurut KH. Musthafa Aqil Siraj, peristiwa Isra’ & Mi’raj Nabi Muhammad Saw. merupakan jawaban Allah SWT atas segala kesedihan hidup yang dialami oleh Rasulullah Saw. (NU Online, 2018) Dengan kata lain, segala kepedihan yang sebelumnya beliau jalani dengan kesabaran dan penuh kepasrahan kepada Allah SWT diganjar oleh Allah dengan “wisata” spiritual sebagai pelipur lara, healing, bagi beliau. Bahkan pada kesempatan itu Allah SWT “menghadiahkan” sholat sebagai syariat yang memuliakan umatnya.

Baca Juga:  Refleksi Tahun 2020 & Taushiyah Kebangsaan Nahdlatul Ulama Memasuki Tahun 2021

Berdasarkan beberapa ulasan singkat di atas, kiranya dapat diambil hikmah bahwa setiap manusia pasti memiliki masalah dan kesedihan dalam hidupnya, sekali pun sekaliber Rasulullah Saw. Maka belajar dari sikap Nabi Saw di atas, membiasakan diri untuk tetap berjuang, bersabar dan penuh kepasrahan kepada Allah SWT dalam menjalani setiap cobaan dan masalah dalam hidup merupakan suatu keharusan bagi kita selaku umatnya.

Berlibur ke tempat wisata untuk healing, melepas penat bukanlah suatu hal yang salah. Rasa bosan, suntuk dan stres dalam bekerja merupakan hal yang sangat mungkin terjadi. Tetapi yang perlu dipahami dan diyakini bersama adalah bahwa kehidupan, termasuk pekerjaan dengan segala kepenatannya harus dijalani dengan sabar dan penuh kepasrahan kepada Allah SWT.

Dengan berbekal sabar dan pasrah tersebut manusia diharapkan dapat menjalani kehidupannya dengan tenang. Sebab itu, adalah keliru jika seseorang melalukan healing, mengharapkan ketenangan hanya dengan berlibur ke tempat wisata guna menikmati alam. Alih-alih menghilangkan rasa penat setelah berhari-hari menjalani rutinitas perkerjaan, mereka justru menambah beban karena tubuh terpaksa bekerja ekstra untuk bertahan di tengah kemacetan. []

Wallahu A’lam bisshawab.

Muhammad Alwi al Maliki
MA Zainul Hasan 1 Genggong Probolinggo 2011-2014 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya 2014-2018 Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2019 - sekarang

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini