Kritik al-Būtī atas Logika al-Tūfī (1)

Siapa yang tak kenal Najm al-Dīn al-Tūfī? Benar, al-Tūfī adalah ulama yang cukup populer melalui konsep maslahat-nya yang kontroversial. Nama lengkapnya adalah Sulaimān Abdul Qawī ibn Abdul Karīm al-Tūfī. Disebut al-Tūfī karena lahir di Tūfā salah satu nama perkampungan di Baghdād, Irak.

Najm al-Dīn al-Tūfī adalah ulama yang hidup di abad ke VII Hijriah. Al-Tūfī dilahirkan pada tahun 656 H dan wafatnya 716 H. Al-Tūfī termasuk ulama produktif karena menulis beberapa karya ilmiah. Misalnya, al-Iksīr fi Qawā’id al-Tafsīr, Mukhtasar al-Tirmizī, Qudwah al-Muhtadīn ilā Maqāsid al-Dīn dan lainnya.

Salah satu karya lain al-Tūfī yang kontroversial adalah kitab “Al-Ta’yīn fi Syarh al-Arba’īn“. Lebih spesifik lagi, saat al-Tūfī menjelaskan hadis “Lā darara walā dirār” yang belakangan kemudian komentar al-Tūfī atas hadis tersebut dikenal sebagai kitab yang berjudul: “Risālah fi Ri’āyah al-Maslahah.”

Dalam kitab tipis Risālah fi Ri’āyah al-Maslahah inilah pokok-pokok gagasan pemikiran al-Tūfī yang berkaitan dengan konsep maslahat dapat dikaji secara kritis.

Al-Tūfī menulis dalam bukunya begini:

وهذه الأدلة التسعة عشر أقواها النص والاجماع. ثم هما إما أن يوافقا رعاية المصلحة أو يخالفها، فإن وافقاها فبها ونعمت ولا نزاع. وإن خالفاها وجب تقديم رعاية المصلحة عليهما بطريق التخصيص والبيان لها لا بطريق الافتئات عليهما والتعطيل لهما.

Lebih lanjut, argumen yang dibangun oleh al-Tūfī terkait konsep maslahatnya yang menempatkan posisi menjaga kemaslahatan sebagai dalil yang paling otoritatif dan independen daripada dalil ijmā dan teks. Hal ini karena secara logis menunjukkan bahwa maslahat adalah dalil yang paling kuat (aqwā adillah al-syari), karena ia dalil yang dianggap paling otoritatif dari yang lainnya berarti itulah dalil yang terkuat (lianna al-aqwā min al-aqwā aqwā).

Inti pemikiran al-Tūfī yang mendapat respon kritis dari para ulama generasi berikutnya adalah bahwa dalil menjaga maslahat itu lebih diutamakan daripada menjaga makna teks (nas) dan konsensus ulama (ijmā). Pemikiran ini dibangun di atas dua logika berikut:

Pertama, bahwa para ulama yang menolak ijmā sebagai dalil hukum bersepakat terhadap otoritas dalil menjaga kemaslahatan (ri’āyah al-maslahat). Dari sini, berarti menjaga kemaslahatan merupakan dalil yang disepakati semua kalangan termasuk bagi para ulama penolak ijmā sekalipun. Sementara di pihak lain, dalil ijmā adalah dalil yang masih diperselisihkan di kalangan para fukaha.

Oleh karenanya, berpegang teguh pada dalil yang disepakati (mā ittafaqa alaihi) seperti menjaga kemaslahatan (ri’āyah al-maslahah) itu lebih utama daripada dalil yang masih diperselisihkan (mā ikhtalafa fih) di kalangan ushuliyūn seperti dalil ijmā.

Baca Juga:  Kritik al-Būtī terhadap Karya Husein Haikāl

Kedua, bahwa dalil teks itu berbeda-beda dan saling kontradiktif. Perbedaan dan kontradiksi antar teks inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan dalam istinbāt hukum yang tercela dalam syariat (al-mazmūm syar’an). Sementara di pihak lain, menjaga kemaslahatan adalah dalil yang substantif dan tidak diperselisihkan di kalangan para ulama.

Oleh sebab itu, maslahat merupakan sebab terjadinya kesepakatan di kalangan ulama yang selalu diharapkan dalam istinbāt hukum (al-matlūb syar’an). Dari sini, maka mendahulukan maslahat atas teks adalah sesuatu yang niscaya dan lebih prioritas (ittibā’uhu aulā).

Sebelum mendiskusikan dua argumen yang dibangun al-Tūfī, menurut al-Būtī bahwa dalam argumen al-Tūfī tersebut ada kerancuan konstruksi berpikir yang perlu diuji.

Sebagaimana sebelumnya disebutkan di bukunya (hlm. 23) bahwa al-Tūfī sejak awal mengakui bahwa teks dan ijmā adalah dalil terkuat dari sembilan belas dalil lainnya, termasuk di dalamnya dalil maslahah mursalah. Ironisnya, al-Tūfī justru mengatakan bahwa menjaga kemaslahatan lebih diprioritaskan daripada dalil ijmā dan teks, baik al-Qur’an maupun hadis yang diklaim sebagai dalil terkuat dan paling otoritatif. Bukankah ini kontradiksi yang nyata dari statemen al-Tūfī sendiri?

Kontradiksi lain dari logika al-Tūfī adalah saat membangun argumen bahwa ijmā adalah dalil yang diperselisihkan di kalangan ulama (al-ijmā mahallu khilāf) dan maslahat dalil yang disepakati (mahallu wifāq). Secara tidak sadar di sini al-Tūfī sedang mereduksi otoritas ijmā dibanding otoritas dalil maslahat. Dan, secara tidak sadar, al-Tūfī membangun opini bahwa menjaga maslahat adalah dikonsensuskan ulama (ijmā) yang kuat otoritasnya.

Seakan-akan al-Tūfī ingin mengatakan bahwa ijmā lebih lemah otoritasnya daripada dalil maslahat. Karena menjaga kemaslahatan adalah sesuatu yang disepakati/dikonsensuskan ulama (mujma alaihā), sementara dalil al-ijmā bukan sesuatu yang disepakati (ghairu mujma alaih). Bukankah ini juga merupakan bentuk kerancuan berpikir? Di satu sisi menggunakan dalil ijmā untuk mendukung pendapatnya, di sisi lain melemahkan dalil ijmā untuk mereduksi otoritasnya.

Baca Juga:  Kritik al-Būtī atas Logika al-Tūfī (Bag. II)

Terlepas dari kontradiksi stateman al-Tūfī di atas, al-Būtī dalam bukunya “Dhawābit al-Maslahah fi al-Syarī’ah al-Islāmiyah” (hlm. 220) memberikan beberapa catatan kritis atas logika al-Tūfī sebagai berikut:

Pertama, menurut al-Būtī, bahwa kesimpulan al-Tūfī akan potensi terjadinya kontradiksi antara dalil teks atau ijmā dengan maslahat adalah sesuatu yang tidak terdeskripsikan di kalangan ushuliyūn (muhāl ghair mutasawar al-wuqū’). Mengapa? Karena maslahat yang hakiki tidak akan pernah bertentangan dengan teks.

Pada titik ini, sejatinya, al-Tūfī terjebak pada kerancauan logikanya sendiri. Karena pada saat yang sama, al-Tūfī berargumentasi bahwa al-Qur’an seluruhnya diturunkan untuk kemaslahatan umat manusia berdasarkan pada QS. Yunūs [10]: 57. Sementara di pihak lain, al-Tūfī mengandaikan adanya pertentangan antara teks yang secara substantif di dalamnya mengandung kemaslahatan bagi seluruh umat manusia dengan maslahat yang dipersepsikan olehnya.

Jika benar bahwa al-Qur’an itu pasti di dalamnya mengandung maslahat dan rahmat bagi umat manusia, maka tidak mungkin (muhāl) terjadi kontradiksi antara teks (yang terkandung maslahat) dan maslahat (hakiki). Jikapun diandaikan adanya teks yang bertentangan dengan maslahat, maka bisa jadi kemaslahatan itu yang bersumber dari persepsi akal yang terbatas dan parsial. Atau, bersumber dari maslahat yang dipengaruhi nafsu pribadi masing-masing (ta’śīr al-syahwāt wa al-ahwā).

Mungkin sebagian kalangan memprotes, bukankah al-Tūfī memprioritaskan maslahat daripada dalil teks atau ijmā itu dengan metode takhsīs, bukan dengan mengabaikan (ilghā) terhadap teks itu sendiri? Dengan demikian, maslahat di sini menurut al-Tūfī berfungsi sebagai penjelas dan pengurai makna (al-tafsīr wa al-bayān) yang dimaksud oleh teks itu sendiri.

Di sini, lagi-lagi muncul kerancuan baru menurut al-Būtī (hlm. 223). Dalam hal ijmā, misalnya, yang diklaim bertentangan dengan maslahat, maka maslahat berfungsi sebagai mukhassis atas dalil ijmā adalah gagasan lā asla lahu (tidak berdasar) karena tidak satupun dari kalangan ushuliyūn yang berpendapat demikian. Karena setelah terjadinya ijmā dalam masalah tertentu, secara otomatis dalil ijmā tersebut menjadi dalil yang otoritatif, universal dan bersifat qat’ī dari berbagai aspeknya sehingga tidak membutuhkan lagi terhadap takhsīs (pengkhususan jangkauan ijmā).

Demikian halnya, dalam hal teks-teks keagamaan otoritatif yang bertentangan dengan maslahat, maka maslahat berfungsi sebagai bayān takhsīs atas teks tersebut juga tidak dapat terdeskripsikan aplikasinya (mā lā yumkin an yatasawwar). Mengapa? Karena jika hal itu terjadi, akan berkonsekuensi krusial pada pembatalan (ibtāl) terhadap sejumlah ketentuan hukum-hukum Allah dengan dalih takhsīs (al-ibtāl ala jumlah syarī’atillāh bi da’wa al-takhsīs).

Baca Juga:  Kritik al-Būtī terhadap Karya Husein Haikāl

Perlu diketahui bahwa dalam disiplin kajian ushul fiqh ada perbedaan mendasar antara konsep al-takhsīs (pengkhususan) atas teks dan al-naskh (pembatalan/penghapusan) atas teks. Jika aplikasi takhsīs adalah dengan mengecualikan sebagian penunjuk dalam teks (dilālah al-nash) yang tidak dikehendaki oleh penutur teks (ikhrāj juz’in min al-madlūl al-nusūs). Sementara konsep naskh berarti membatalkan makna yang dikehendaki penutur teks (ibtāl mā arādahu al-mutakallim).

Dari sini, maka jika al-Tūfī mengklaim bahwa mendahulukan maslahat atas sejumlah penunjuk teks (madlūl al-nash) ketika terjadi kontradiksi keduanya, bagaimana mungkin konsep takhsīs dalam hal ini dapat diaplikasikan?

Jika pun diandaikan bahwa saat maslahat bertentangan dengan sebagian dari penunjuk teks (juz’un min madlūl al-nash) itu dapat terjadi, maka dari mana dapat membuktikan bahwa maslahat yang digunakan untuk mentakhsīs itu benar-benar maslahat hakiki dan Penutur (syāri’) tidak menghendaki sebagian makna yang terkandung di dalam penunjuk teks atas hukum yang bertentangan dengan maslahat yang mentakhsīs teks tersebut.

Lebih jauh lagi, bagaimana dengan para ulama sebelum al-Tūfī dari kalangan tabi’ tabi’in, tabi’īn hingga sahabat yang memahami bahwa teks-teks tersebut di dalamnya terkandung penunjuk teks yang seluruhnya dikehendaki Tuhan dan bukan termasuk teks-teks umum (al-āyat al-‘āmmah) yang dapat dikecualikan (di-takhsīs)? Apakah mereka para generasi awal seluruhnya tidak memahami hal ini?

Oleh sebab itu, mengklaim bahwa men-takhsīs teks yang bertentangan dengan maslahat menurut al-Būtī tidak mungkin dilakukan. Karena yang terjadi justru bukan takhsīs (mengkhususkan kandungan makna teks secara parsial), melainkan akan terjebak pada naskh (menghapus kandungan makna teks secara utuh).

Pada titik inilah, ide dan gagasan al-Tūfī sangat rentan disalahgunakan pihak-pihak tertentu yang konsekuensinya dapat menghapus ketentuan hukum-hukum teks dengan dalih takhsīs melalui maslahat (semu) yang tidak otoritatif. Wallāhu a’lam. [HW]

Moh Mufid
Redaktur Maqasid Centre, Penulis Buku dan Dosen Maqasid Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Santri Alumni PP Mambaul Ulum Dagan Lamongan, PP Tambakberas Jombang, dan PP Salafiyah Safi'iyyah Asembagus Situbondo, Alumni Fakultas Syariah Wal Qanun Al-Ahgaff University Hadhramaut Yaman, Alumni Magister Filsafat Hukum Islam IAIN Antasari Banjarmasin dan Doctoral UIN Alauddin Makassar.

    Rekomendasi

    7 Agenda Strategis
    Opini

    7 Agenda Strategis

    Duet KH. Miftachul Akhyar dan KH. Yahya Chalil Tsaquf adalah duet fakih-intelektual. KH. ...

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini