Saya mulanya terganggu dengan narasi ‘seleksi alam’, ‘survival of the fittest’, dan banyaknya berita tentang kebanyak pasien positif Covid yang meninggal adalah mereka dengan komorbid. Komorbiditas adalah penyakit penyerta selain penyakit utama yang sedang menyerang. Berita itu seolah mengesankan, santai saja yang meninggal memang orang penyakitan, jika kamu sehat kamu akan baik-baik saja.
Hasil kulakan saya dari sejumlah artikel, berita, podcast, dan video, penyakit yang dianggap komorbid yaitu; hipertensi, jantung, infeksi paru, dan diabetes –didasarkan pada riwayat penyakit pasien. Belum ada data pasti dari ilmuwan bagaimana covid menyerang imunitas—apa yang diaktifkan—sehingga penyakit yang tampaknya lebih rentan misal kanker dan lupus tidak masuk dalam daftar tersebut. Apakah ini hanya semacam hasil survei dari pasien postmortem? Apakah hasil ini sebenarnya hanya mencerminkan penyakit mayoritas dalam populasi kita?
Saya hanya orang awam. Tapi berita semacam itu menurut saya tidak sensitif dan mengandung sikap ignorant terhadap orang dengan panyakit penyerta. Ada banyak orang dengan penyakit di atas di lingkungan kita. Berita itu tidak dilanjutkan dengan bagaimana orang-orang dengan penyakit penyerta sebaiknya kita perlakukan? Sementara tenaga kesehatan sudah kuwalahan mengatasi membanjirnya pasien positif dengan komorbid.
Apakah orang dengan risiko tinggi harus kita segel saja? Kita sisihkan dari masyarakat? Agar kehidupan orang sehat kembali normal. Perekonomian kembali melaju seperti yang diharapkan pemerintah. Atau kita biarkan saja nanti tersapu sendiri oleh wabah? Meninggalkan mereka di belakang.
Berdamai dengan siapa?
Presiden meminta kita berdamai dengan covid. Orang sehat bisa berperang lalu memenangi covid. Imunitas mereka bisa bekerja dengan baik dengan catatan harus bergaya hidup sehat. Sementara orang dengan penyakit penyerta tidak akan berdamai dengan covid, Bapak Presiden yang terhomat!
Orang dengan penyakit risiko tinggi juga berhak melanjutkan hidup. Kita harus melindungi mereka agar terhindar dari wabah mematikan. Jangan sampai karena sikap ignorant kita, mereka tersapu secara alami oleh wabah.
Kini waktunya kita memikirkan bagaimana orang dengan penyakit bisa bertahan hidup di tengah wabah. Mereka ini bisa saja orang tua kita, anak, saudara, sahabat atau bahkan diri kita sendiri.
Saya dan anak saya termasuk orang dengan risiko tinggi. Sejak pandemi, saya selalu dihantui kecemasan apalagi jika anak saya kambuh. Intensitas kambuhnya meningkat dua bulan ini. Saya jadi lebih protektif dan overthinking. Hingga akhirnya saya sampai di puncak emosi. Setelah itu saya sadar, saya tidak bisa terus-terusan begini.
Ada banyak manusia lain yang harus survive. Meski masa pandemi lewat nanti, covid dikabarkan akan tetap bersama kita. Tentu hal ini membuat saya makin khawatir. Namun saya segera menepisnya. Saya harus menerima dan berdamai dengan diri saya sendiri. Tubuh saya tidak bisa berdamai dengan covid. Tapi saya harus berdamai menerima bahwa kini orang seperti saya memiliki keterbatasan secara fisik.
Saya harus menerima bahwa lingkungan tiba-tiba menjadi tidak aman bagi orang dengan penyakit risiko tinggi. Saya sebaiknya mempertahankan protokol covid sepanjang hidup, bergaya hidup sehat, mengontrol penyakit dengan baik, dan mengambil jarak. Saya juga mulai memikirkan bagaimana anak saya yang masih balita bisa tumbuh baik ke depan. Bagaimana ia memahami bahwa ia memiliki keterbatasan? Bagaimana ia menggunakan keterbatasannya untuk membuat terobosan? Agar ia bisa tetap hidup bahagia dan berguna.
Binatang ketika melahirkan anak dengan kecacatan akan dimakan oleh induknya. Pertama, karena anak itu tidak akan bertahan di alam liar. Kedua, induknya perlu energi untuk menghidupi anak-anaknya yang probabilitas hidupnya lebih tinggi. Tapi peradaban manusia tidak hidup dengan cara demikian. Kita memiliki nurani dan akal untuk memberikan kesempatan hidup yang sama bagi semua manusia.
Saya lalu teringat pada teman-teman difabel. Mereka memiliki keterbatasan fisik. Tapi banyak dari mereka yang bisa menerima diri, bangkit, dan hidup layak. Meski dunia menganggap miring orang difabel, mereka bertahan. Keberadaan mereka tidak tersapu oleh keadaan. Sementara orang dengan penyakit risiko tinggi bisa dilibas oleh pandemi. Ini sebuat ‘different ability’ yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Itu pentingnya meningkatkan kesadaran terhadap orang dengan penyakit risiko tinggi. Sebelum ini kita mungkin tidak terlalu perhatian ada orang dengan penyakit hipertensi dan asma di sekitar kita. Kita bersalaman dengan orang yang punya diabetes atau tidak. Kita tidak tahu apakah kita duduk berdekatan dengan orang asing yang punya penyakit jantung atau tidak.
Standard Akhlak Baru
Karena kita tidak tahu sementara mereka harus dilindungi, maka melaksanakan hidup higienis dengan menjaga kebersihan dan kesucian adalah sebuah kewajiban. Sejak pandemi ini barangkali mencuci tangan dengan sabun, memakai masker, ganti baju setelah keluar rumah adalah bagian dari akhlak. Akhlak adalah sikap spontan yang menjaga orang lain tidak tersakiti oleh kita. Kini akhlak tidak hanya untuk menjaga sopan santun. Akhlak hidup sehat dilakukan untuk menjaga nyawa orang di sekitar kita.
Kita perhatikan dan selidiki apa di sekitar kita ada orang dengan risiko tinggi. Kita lindungi mereka dengan perilaku sehat kita. Jangan sampai kita mengantarkan virus kepada mereka dan memangkas hak hidupnya. Kita hentikan laju kematian pasien postif covid dengan raising awareness terhadap orang dengan komorbiditas di sekitar kita. Hanya dengan itu mereka bisa selamat dan melanjutkan hidup dengan layak. Bantu mereka memahami keterbatasan kondisi yang bisa membahayakan hidupnya.
Saya tidak tahu apa kebijakan yang tepat, tapi saya merasa pemerintah harus mengambil langkah segera untuk mengetahui siapa saja yang berisiko tinggi mulai dari lingkungan tersempit dan hal apa yang harus dilakukan agar mereka survive di tengah pandemi dan tidak menambah laju kasus covid di Indonesia. Jumlahnya pasti jutaan. Tapi pasti ada yang bisa dilakukan jika kita berhasil menaruh perhatian pada orang-orang berisiko tinggi.
Momen lebaran ini menguji kita, apa kita benar-benar peduli atau bersikap masa bodo. Apakah kita atas nama kemareman hati akan salat Id di masjid tanpa mengindahkan protokol? Apakah kita akan bersalaman demi rasa memaafkan dan dimaafkan? Apakah kita tetap sowan pada para sepuh, kiai, bu nyai yang mungkin beliau orang dengan risiko tinggi? Apakah kita akan berjubel di tempat umum demi merasa bahagia sesaat? Apakah setelah ramadan yang damai kita merasa bebas untuk kembali seperti semula?
Pandemi belum selesai bahkan tampaknya menuju puncak. Jaga akhlak hidup sehat dan perhatikan orang dengan risiko tinggi di sekitar Anda. Jaga mereka dari perilaku ceroboh yang bisa mengancam nyawa mereka. WaLalahu A’lam. [HW]