Dalam menjalankan ibadat puasa, kita dituntut untuk memahami maksud dan tujuan diwajibkannya berpuasa. Serta memiliki kesadaran akan tujuan perintah ibadat puasa (sense of objective) agar puasa mencapai sasarannya sesuai dengan yang direncanakan. Hakikat tujuan berpuasa itu dituliskan dalam Alquran yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. Al-Baqarah: 183).

Dari pemahaman ayat Alquran tersebut, bisa kita tangkap bahwa ibadat puasa dijadikan sebagai instrumen atau alat untuk mencapai derajat ketakwaan. Jadi, jangan sampai kita menjalankan perintah puasa tanpa niat atau misi yang bisa mengantarkan kita menuju ketakwaan. Oleh karenanya, menjadi penting kita pahami arti dari takwa. Takut, melindungi (protection), menjaga (guarding) itu merupakan pengertian kata takwa. Lebih jelasnya, takwa ialah gambaran sikap dan kesadaran akan kehadiran Tuhan (God-consiousness). Bahwa Tuhan maha mengetahui. Maka dengan sendirinya, makna takwa itu menjadi populer di kalangan kita yang berarti pengawasan diri secara melekat.

Adapun ibadat puasa sebetulnya memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh ibadat-ibadat lainnya. Allah SWT berfirman melalui hadis qudsi yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari, yakni:

كل عمل ابن آدم له إلا الصيام فإنه لي وأنا أجزي به

Setiap amalan manusia adalah untuknya kecuali puasa, sebab ia hanyalah untukku (Allah SWT) dan Aku sendiri yang akan memberikan ganjarannya.

Pernahkah kita mengetahui pasti apa maksud dari “puasa itu untuk-Ku”? Sementara belum pernah ditemukan ungkapan yang mengatakan “salat itu untuk-Ku” atau “zakat itu untuk-Ku” atau kalimat-kalimat semisal yang menggambarkan keistimewaan ibadah tersebut dibanding ibadah lainnya.  Tidak demikian halnya dengan puasa.  Ada maksud apakah di balik ungkapan tersebut? Ternyata ada ulama yg mencoba menafsiri dan mengulik makna ungkapan “puasa itu untuk-Ku” yang mengandung hikmah jika kita bisa memahaminya dengan akal yang jernih.

Baca Juga:  Ramadan di Rumah

Pertama, karena kelak di akhirat, pahala puasa tidak bisa diganggu gugat. Imam Ibnu Al-‘Utsaimin mengatakan, “Sebagian ulama mengatakan bahwa maknanya (penyandaran khusus ibadah puasa kepada Allah) adalah; karena kelak di hari pembalasan, saat seseorang memiliki dosa kezaliman terhadap orang lain, maka pahala-pahala yang dimiliki orang tersebut akan diambil dan diberikan kepada orang yang pernah ia zalimi selama di dunia, kecuali pahala puasa, pahala puasa tidak dapat diambil sedikitpun karena ia diperuntukkan hanya bagi Allah ‘azza wa jalla semata, bukan untuk manusia.” (Syarh Riyadh ash-Shalihin: 5/266-267).

Kedua, ada yang berpendapat itu menunjukkan betapa agungnya pahala puasa. Ungkapan Allah “Puasa itu untuk-Ku, Aku sendiri yang akan memberikan ganjarannya” adalah ungkapan yang menggambarkan betapa besarnya pahala puasa yang akan diberikan Allah kepada orang-orang yang berpuasa. Pahala puasa sejatinya adalah pahala sabar yang tidak ada batasnya. Allah SWT berfirman,

إنما يوفى الصابرون أجرهم بغير حساب

Sesungguhnya hanyalah orang-orang yang bersabar yang akan disempurnakan pahala untuk mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10).

Dengan berpuasa, kita telah membuktikan sebuah kesabaran untuk menahan diri dari kecenderungan hawa nafsu pada hal-hal yang dihalalkan, terlebih dari perkara yang diharamkan. Begitulah keistimewaan ibadat puasa yang bisa kita renungi dari penjelasan hadis qudsi di atas.

Ibadat puasa mengajarkan banyak sekali pelajaran. Bukan hanya ajaran tentang kesabaran,  tetapi ibadat puasa juga mengandung implikasi moral atau budi pekerti luhur sebagai wujud dimensi kemanusiaan dalam rangka meraih derajat ketakwaan. Sebab hakikat berpuasa adalah meningkatkan ketakwaan individual dan sosial dalam diri hamba yang beriman. Sekurang-kurangnya, perintah ibadat puasa yang bertujuan sebagai sarana untuk mengantarkan manusia ke derajat takwa, dalam arti sesungguhnya, itu tidak bisa dipisahkan begitu saja dari dimensi konsekuensialnya yang berupa amal saleh.

Baca Juga:  Ramadan Bulan Penuh Berkah

Ibadat puasa yang kerap kita lakukan semestinya tidak dimaksudkan sebagai ritual pribadi semata, dalam wujud menahan diri dari makan, minum dan syahwat tetapi juga menjadi latihan pengendalian diri yang memiliki konsekuensial penting, yakni melahirkan kesadaran diri yang berwujud komitmen sosial. Rasa empati, yakni kondisi psikologis ikut merasakan yang dirasakan oleh orang lain.

Oleh karena itu, dalam Alquran terdapat teguran kepada orang yang mengerjakan amalan berdimensi vertikal namun tidak diimbangi oleh amalan berdimensi horizontal. Dalam Alquran, mereka disebut sebagai orang yang mendustakan agama, seperti yang berbunyi: “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang salat, yakni orang yang lalai dari salatnya.” (QS. Al-Ma’un: 1-5).

Sebagian dari kita bisa jadi terheran dengan pernyataan Alquran tentang orang yang telah mendirikan salat, tetapi justru masih dinyatakan sebagai orang yang mendustakan agama. Ini ternyata berkaitan erat dengan pemahaman substansi dalam mendirikan salat. Ia mendirikan salat hanya sebagai ritual pribadi dan tidak diiringi oleh dimensi konsekuensinya, yakni amal saleh.

Adapun amal saleh yg dimaksudkan dalam ayat tadi disimbolisasikan dengan menyantuni anak yatim (keyatiman) dan mendorong untuk memberi makan orang miskin (kemiskinan). Dewasa ini orang yang mengerjakan salat namun masih dikutuk oleh Alquran ialah orang yang tidak menjalankan dan mengindahkan pesan-pesan kemanusiaan yang terdapat dalam salat (yaitu pekerjaan-pekerjaan yang mempunyai komitmen kepedulian sosial). Maka dari itu, mari kita berpuasa untuk meningkatkan ketakwaan individual, pun meningkatkan ketakwaan sosial. Dengan cara terus menerus berupaya menahan diri dari godaan nafsu makan, minum dan syahwat (dan berbagai penyakit hati) serta semaksimal mungkin kita dongkrak rasa empati kita terhadap sesama lalu berkontribusi sedikit demi sedikit dengan mengentaskan kemiskinan dan menyantuni anak yatim sebagai  langkah nyata kita memaknai hakikat ibadat puasa yang dilakukan hamba terhadap penciptanya. [HW]

Hamied Bin Jafar
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Santri Komplek L Al-Munawwir Krapyak DIY, Abdi Dalem Ponpes KHAS Kempek Cirebon

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini