Ulama

KH. M. Ma’ruf Irsyad: Teladan Berislam dengan Sederhana

Pagi itu, sekitar jam 10, pondok pesantren Raudlatul Mu’allimin (PPRM) sedang sepi karena semua santri belajar di madrasah. Pak Yai, begitu para santri memanggil, tiba-tiba naik ke lantai dua, mencari pengurus atau santri yang tersisa di pondok. Kebetulan penulis dan kawan -kawan santri kawak (baca: tua) tidak kemana-mana, tetap berada di pondok.

Lupa entah karena apa, kalau tidak libur sekolah berarti sedang bolos. Dulu antara libur dan bolos memang beda tipis. Maklum pendidikan madrasah, khususnya madrasah salaf, belum sepenuhnya tersistem seperti sekarang.

“Nang, iku Honda-ne sopo?” (nak, itu motornya siapa?) begitu tanya Pak Yai. “Niku gadahane kang santri Yai” (itu punya santri yai). Penulis menjawab dengan perasaan khawatir kalau keberadaan motor itu mengganggu. “Tulung, terno ring Rumah Sakit Umum”(tolong antar ke Rumah sakit umum)

Dengan menaiki motor pinjaman teman santri tersebut, penulis pun mengantar Pak Yai periksa kesehatan ke RSU Kudus. Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke sana, karena hanya berjarak beberapa kilo saja dari pesantren. Setelah periksa, ternyata Pak Yai tidak diperbolehkan pulang. Beliau harus menjalani rawat inap di RSU Kudus.

Ini salah satu pengalaman pribadi penulis dengan Syaikhina, Romo KH. M. Ma’ruf Irsyad –Allahu Yarhamuhu– yang terjadi sekitar 17 tahun lalu. Tahun 2003 atau 2004, adalah saat-saat di mana Pak Yai mulai sering mengalami masalah kesehatan.

Seringkali pengajian tiba-tiba diliburkan karena beliau mendadak jatuh sakit dan beberapa kali harus opname di Rumah Sakit. Hingga, pada tahun 2010, tepatnya pada hari Kamis Legi, 10 Sya’ban 1431 H bertepatan dengan tanggal 22 Juli 2010, beliau menghadap ke hadirat Ilahi di usia 73 tahun Hijriyah atau 71 tahun Masehi.

Pengalaman di atas, bagi penulis adalah penegasan untuk yang kesekian kalinya, atas kesederhanaan dan kesahajaan beliau dalam laku sehari-hari. Penulis dan semua santri menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana beliau mengajarkan kesederhanaan pada kami, tidak hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan laku hidupnya.

Sebagai kiai yang memiliki santri dan jama’ah ribuan, mestinya untuk sekedar beli motor, bagi beliau bukanlah hal yang berat. Jika beliau menghendaki, mobil pun niscaya terbeli. Malah bisa jadi tanpa harus beli, karena santri-santri beliau tentu tak akan berdiam diri. Tetapi nyatanya beliau lebih memilih sepeda onta tua sebagai kendaraan untuk menjalankan aktifitas sehari-hari.

Selama merasa sehat, beliau tidak pernah enggan mengayuh sepeda menyusuri jalan-jalan di kota Kudus. Sepeda itulah yang setiap hari mengantar beliau mengajar ke madrasah atau majlis ta’lim yang beliau bimbing.

Jika kurang fit atau keadaan tidak memungkinkan bersepeda, beliau terkadang memanggil tukang becak dekat pondok atau diantar dengan sepeda motor, jika kebetulan ada santri yang bawa motor, seperti yang pernah dialami penulis.

Saat kesehatan beliau mulai berkurang, dan karena desakan keluarga, akhirnya beliau baru kerso (baca: mau) membeli sepeda motor. Itupun bukan motor baru, tapi cukup motor bekas. Meski sudah ada motor dan santri yang siap mengantar pun, jika memang sehat, beliau tetap mengendarai sepeda kemana-mana.

***

Saat ini, barangkali cukup sulit menemukan figur ustadz, kiai, atau tokoh agama yang benar-benar hidup sederhana lahir batin, seperti Syakhina KH. Ma’ruf Irsyad. Satu dari sedikit kiai yang memilih hidup biasa saja, meski hartanya cukup untuk tampil layaknya orang kaya.

Sosok yang bersahaja, tanpa mengesankan diri sebagai seorang tokoh agama. Ini tentu berbeda dengan fenomena munculnya ustadz-ustadz layar kaca. Kita bisa menyaksikan bagaimana hedonisme beragama yang diumbar oleh sebagian ustadz millenial itu semakin kesini, justru semakin menggila.

Di atas mimbar, mereka fasih bercerita tentang kesederhanaan Rasulullah, tapi di rumah mereka, berjajar kendaraan mewah berharga miliaran rupiah. Parahnya, ada yang mendapatkan semua itu dari tarif ceramah dan infaq sedekah dari  jama’ah.

Karena itu, di tengah tren beragama yang semakin hedonis itu, kesederhanaan KH. Ma’ruf Irsyad patut kita angkat kembali untuk menjadi pelajaran dan teladan bagi umat. Umat Islam saat ini membutuhkan sosok panutan yang mampu menerjemahkan Islam yang sederhana.

Dalam artian Islam yang wajar, biasa, dan sedang-sedang saja, tidak hanya dalam beragama, tetapi juga dalam kehidupan nyata. KH. Ma’ruf Irsyad telah mengajarkan semua itu, tidak hanya lewat tutur katanya, tetapi juga lewat laku hidupnya. Bagi kami, para santrinya,

Kiai Ma’ruf Irsyad adalah cermin Islam sederhana, yang bersahaja.

Terakhir, tentang kesahajaan beliau, suatu ketika penulis sowan mohon doa restu untuk mengikuti seleksi beasiswa. Sebelum pamitan, sebagai tanda ta’dzim dan terima kasih, penulis bermaksud untuk ngaturi (baca: memberi) “sesuatu”. Tetapi ternyata “sesuatu” itu beliau tolak dengan halus seraya dawuh (baca: berkata) : “kanggo sangu kowe lungo tes (untuk bekal kamu ikut tes)”Allaah Kariim…! Alfatihah!

 

Fathur Rohman
Dosen UNISNU Jepara, Alumnus Madrasah Qudsiyyah Kudus dan PP. Raudlatul Muta’allimin Kudus, S1 STAIN Kudus (2008), S2 UIN Sunan Ampel (2011), dan sekarang menempuh S3 UIN Sunan Ampel Surabaya, Gusdurian Jepara.

    Rekomendasi

    2 Comments

    1. Terimakasih kang..dengan tulisanmu telah membuka kembali memoriku atas beliau. Tak terasa pipiku kok teles Yo..padahal to gak udan.
      Allah yarhamhu
      🙏🙏🙏

      1. kembali kasih kang, semoga kita diakui sebagai santri beliau, alfatihah…

    Tinggalkan Komentar

    More in Ulama