Karakter adalah nilai-nilai yang melandasi perilaku manusia berdasarkan norma agama, kebudayaan, hukum/konstitusi, adat istiadat, dan estetika. (Ridwan Abdullah Sani ”Pendidikan Karakter, Bandung: Cipta Pustaka, hal. 6), karakter juga bermakna Moralitas, yang mana moralitas itu sendiri sesuatu yang dilalukan. Bukan diucapkan, sebuah tindakan bukan tulisan. Pengamalan bukan hafalan, bukti nyata dan keteladanan.
Moralitas yang luhur merupakan karakteristik ketuhanan yang melekat pada diri manusia, tanpa pandang bulu. Tuhan akan memilih diantara hamba-hambanya yang taat untuk menampakkan karakteristik tersebut. Karakteristik ketuhanan bersifat universal. Sehingga tuhan tidak memandang perbedaan ras, golongan, suku bangsa, bahasa, negara, bahkan agama, kitab suci maupun adat istiadat yang bersifat formalitas- normatif tidaklah menjadi penghalang bagi penegakan moralitas mulia.
Walhasil karakteristik kepemimpinan kiai di pesantren merupakan corak tertentu yang berbeda dengan kepemimpinan dalam bidang politik, meskipun toh ada para pemimpin negara yang berasal dari lulusan pesantren. Jika pemimpin Negara berlatar orang-orang pesantren, maka mereka akan mengusung ide terbaiknya yakni akan membawa Indonesia dari laku biadab menuju beradab.
Sehingga berdasar penelitian oleh ahli psikologi, ada sekitar delapan atribut variabel yang sering diteliti terkait karakter, yakni: orientasi sosial, kontrol diri, kepatuhan, percaya diri, empati, kesadaran, pemahaman moral, dan rasa kemanusiaan/toleransi (Berkowitz, 2002).
Secara psikologis dan sosial kultural, pembentukan sebuah karakter dalam diri individu merupakan suatu fungsi dari seluruh potensi individu manusia, seperti (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik). Sehingga dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat, pesantren) dan keberlangsungan sepanjang kehidupan. Yang pada gilirannya atribut karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut, dapat dikelompokan kedalam: Olah Hati (spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (physical)
Adapun motivasi ekstrinsik terjadi karena menjalankan amanat dari kepemimpinan sebelumnya, sehingga kemajuan dan keberhasilan yang dicapai oleh pondok pesantren, serta minat dan kepercayaan masyarakat yang terus meningkat, tidak lepas dari karakteristik dan corak kepemimpinan sang kiai yang khas.
Yang pada gilirannya, akan memunculkan sebuah makna dari karakteristik motivasi bagi segenap kepercayaan masyarakat, hal tersebut bisa tercapai karena barakah dari sistem kepemimpinan yang dianutnya. Maka disinilah kiai tergolong dengan orang yang mampu mengemban sebuah tanggung jawab yang besar.
Oleh karena itu Keterampilan yang dikuasai oleh kiai meliputi: keterampilan teknis, seperti mengajar, bertani/berkebun, dan beternak; keterampilan interpersonal seperti menjadi teladan dalam beribadah bagi para santri dan guru di pondok pesantren; keterampilan konseptual yang dibuktikan dengan beberapa gagasan barunya dalam pendidikan dan pengajaran bagi para santri, guru, dan orang tua santri, ini juga yang dinamakan sebagai sifat kepemimpinan Islamiyah yang bersifat Fatanah.
Kepemimpinan saat ini berfokus pada pembelajaran dan peningkatan keterampilan santri, bertindak sebagai educator, dan memiliki jiwa entrepreneur. Makna dari karakteristik keterampilan tersebut adalah pemimpin ingin menciptakan santri yang siap guna di masyarakat, bukan saja di bidang pengetahuan agama tetapi juga pengetahuan umum dan keterampilan hidup (life skill).
kepemimpinan yang diterapkan oleh kiai mengacu kepada kepemimpinan Islam yaitu Siddiq, Tabligh, Amanah, dan Fatanah, yang disingkat STAF
Peran Kepemimpinan Dan Posisi Kiai Dipesantren
Kiai berperan penting dalam kemajuan sebuah pondok pesantren, sehingga tidak ayal, jika ada sebagian pondok pesantren yang tinggal nama setelah digantikan oleh penerusnya. Hal tersebut disebabkan berbagai kemungkinan, yang pertama: karena wibawa pelanjutnya yang mulai berkurang. Kedua: karena kecintaan masyarkat yang mulai memudar. Sehingga dalam ranah tersebut, kiai menjadi orang nomer satu dalam keberlanagsungan pesantren.
Merunut terhadap diksi “Kiai” sebenarnya penghormatan masyarakat. Namun kalau merujuk terhadap pengambilan nama, maka kita akan menermukan perbedaan antara daerah lainnya: misalkan di daerah jawa kita mengenal dengan panggilan “Gus”, sementara di Madura kita mengenal dengan panggilan “Lora” .
Kiai-lora-gus adalah orang yang mengasuh pesantren. Sementara kata “Santri” adalah seseorang atau kelompok yang menuntut ilmu di dalam pesantren. (Dinamika Pondok Pesantren di Indonesia, Departemen Agama Republik Indonesia, thn. 2003, hal., 8). Sedangkan Pondok, adalah bangunan yang dihuni oleh para santri. Baik berupa bangunan masjid sebagai tempat beribadah mengaji kitab dan halaqah ilmiyah, maupun asrama sebagai tempat santri. Begitu juga berbagai kitab-kitab klasik-kontemporer, merupakan warisan intelektual para pemikir Islam terdahulu yang sampai saat ini para kiai mempertahankannya dalam kajian kepesantrenan.
Selain itu, kiai adalah dewan masyayikh yang mengatur pesantren secara keseluruhan, mulai dari persoalan spritual, ajian kitab klasik, dan urusan pesantren sampai urusan pembenahan Asrama santri. Maka Tidak ada pesantren tanpa kiai. Kiai menjadi sentral utama dalam berdirinya pondok pesantren. Sehingga otoritas kepemimpinan pesantren sepenuhnya berada pada kiai. Oleh karena itu, keberadaan dan perkembangan pesantren ditentukan oleh kekuatan kiai yang bersangkutan. Jika kiai wafat, maka secara otomatis akan diteruskan oleh para keturunan atau keluarga dekat kiai yang bersangkutan.
Demikian pula, kiai merupakan pengendali utama di lembaga pesantren. Semua keputusan atau kebijakan mengenai pengelolaan pesantren didasarkan atas otoritas kiai. Dengan kata lain, model pengelolaan pesantren merupakan terjemahan gambaran dari produk pemikiran kiai yang dalam istilah kepesantrenan kita mengenal dengan istilah “pengasuh, pembina, pembimbing, murabbi dan pengarah”. Maka Posisi seorang kiai dalam sebuah pesantren, adalah laksana jantung bagi kehidupan santri, karena kiailah perintis, pendiri, pengelola, pengasuh, hingga pemimpinnya yang terkadang juga sebagai pemilik tunggal bagi pesantren. Yang pada gilirannya seseorang yang menjadi kiai dan diakui “ke-kiaian-nya” adalah berkat kedalaman ilmu agamanya, serta kesungguhan perjuangannya, keikhlasannya dan keteladannya di tengah-tengah kehidupan umat, dan kekhususannya dalam beribadah serta kewicaraannya sebagai seorang pemimpin. Oleh karena itu, kiai menjadi pemangku kebijakan tertinggi di pesantren, berjalan atau tidaknya kegiatan yang ada di pesantren adalah atas izin dan restu dari kiai.
Begitu juga, kiai sebagai seorang pemimpin kharismatik dalam pesantren, khususnya dan masyarakat. Kepribadian seorang kiai ditampilkan sebagai seorang pimpinan pesantren, yang menentukan kedudukan dan tingkat suatu pesantren. Sosok dan kecakapan kiai inilah yang menentukan dan mampu menggerakkan segala kegiatan yang ada di pesantren, dengan pola dan kebijakan yang diatur sendiri. Kiai dalam pesantren selain sebagai orang yang ahli dalam bidang ilmu dan kepribadian yang dimiliki dan patut diteladani.
Kepemimpinan Kiai di Pesantren merupakan gelar yang diberikan kepada orang yang mengasuh pesantren oleh masyarakat. Gelar tersebut diberikan oleh karena sesorang menjadi pengasuh pesantren dan memiliki keahlian di bidang ilmu agama dan kharisma. Jabatan seorang kiai, menjadi patron bagi masyarakat sekitar. Dalam pandangan Martin Van Bruinessen, bahwa kiai memainkan peranan sebagai tokoh yang lebih sekedar seorang guru.[1] Posisi kiai di pesantren, menaruh kepercayaan besar dari para santri dan masyarkat.
Begitu juga, Clifford Geertz mengungkapkan bahwa, masyarakat ”abangan” secara moral-psikis menjadi makmum terhadap ketokohan kiai. Dengan ketokohannya, kiai yang bertugas mendidik dan mengayomi masyrakat, dengan begitu mudah memobilisasi massa, sehingga dengan mudah melawan pemerintah kolonial Belanda dan Jepang pada masa penjajahan. Di pesantren kiai merupakan tokoh utama yang memiliki peran penting dalam menjalankan sistem pendidikan pesantren sebagai lembaga pendidikan.
Dalam memimpin pesantren, kiai memiliki beragam model dan strategi dalam upaya mengembangkan pendidikan pesantren. Setiap kiai, memiliki atau menggunakan model dan strategi yang berbeda-beda tergantung kecenderungan seorang kiai masing-masing, sehingga tidak heran bila pesantren memiliki model pengembangan tersendiri termasuk konstenstrasi pengembangannya. Hal itu disebabkan karena model dan strategi yang digunakan oleh kiai berlainan dalam memimpin pesantren, kiai juga memiliki model dan strategi kepemimpinan. Sehingga keberhasilan kiai dalam menahkodai pesantren tidak terlepas dari model dan strategi yang digunakannya.
Strategi dan model kepemimpinan menjadi penentu arah pengembangan pesantren. Dengan kata lain, antagonisme bentuk dan desain yang digunakan oleh masing-masing kiai menjadikan konsentrasi pengembangan pesantren juga berlainan, sehingga tidak heran bila antar pesantren memiliki kecenderungan pengembangan yang yang tidak sama. Adapun model kiai dalam mengembangkan pendidikan pesantren, antara lain:
Pertama, Kepemimpinan Transaksional. Yaitu sebuah model yang digunakan oleh kiai dalam memimpin pesantren dengan cara memposisikan kepengurusan-santri sebagai kolaborator yang saling menguntungkan. Dengan kata lain, kepemimpinan transaksional merupakan perilaku kiai yang menekankan pada perhatiannya dengan transaksi personal antara kiai dengan pihak yang melingkupinya, seperti pengurus pesantren, santri, dan lain sebagainya.
Biasanya, sistem kepemimpinan ini dibangun oleh kiai yang memiliki pemikiran modern dan terstruktur. Pola kerjanya didasarkan pada kontrak kerja antara kiai dengan pengurus pesantren. Hal ini bisa dilihat pesantren model Gontor misalnya, di mana kiai berposisi sebagai manajer sementara pengurus dan ustad adalah bawahannya. Dengan demikian, pengurus pesantren difasilitasi hampir segala kebutuhannya, semisal rumah penginapan, alat transportasi, dan lain sebagainya.
Kepemimpinan demikian terlihat sangat efektif, para pengurus pesantren dan guru bisa dengan total mengurusi pesantren. Selain itu, fasilitas yang diberikan oleh kiai menjadi aktivasi dan motivasi yang mendorong semangat kerja pengurus pesantren dalam mengurusi pesantren dan mengajari santri. Itulah model kepemimpinan transaksioanl yang tentu berbeda dengan kepemimpinan lainnya. Dalam penggunaan model ini, seorang kiai dituntut memiliki kemampuan atau keahliah di bidang manajemen. Model transaksional akan berjalan mulus dalam mengembangkan pendidikan pesantren jika pesantren itu memiliki kerangka keilmuan, tujuan, sasaran, standar, dan sistem keorganisasian lainnya yang saling berkeseninambungan.
Kedua, kepemimpinan kharismatik-transfomatif. Model kepemimpinan trasformasional merupakan pola kepemimpinan kultural. Dalam rangka mendorong perputaran organisasi, pemimpin yang menggunakan model ini mesti memiliki kepribadian yang dapat dijadikan kekutan untuk mempengaruhi bawahannya, sehingga jajaran di bawahannya, dapat mencontoh, mempercayai, dan respek terhadap pemimpinnya.
Kkiai selaku pengasuh pesantren menggunakan kekuatan kharismatiknya, dimana hubungan antara kiai dengan bawahannya atau pengurus pesantren berjalan secara natural dan tidak struktural. Sosok seorang kiai, hingga saat ini, masih diposisikan oleh masyarakat sebagai kaum elit yang bisa dijadikan figur, sehingga posisi kiai sangat dihormati dan menjadi pemimpin masyarakat.
Model kepemimpinan ini lebih cocok digunakan pada pola pengembangan pesantren salaf dan pesantren semi modern. Pesantren salaf adalah pesantren yang dikelola tidak terstruktur tetapi memiliki tujuan yang diinginkan. Juga menggunakan model kepemimpinan ini, sehingga keberhasilan kiai terbukti kewibawaannya yang muncul dari keahliaanya dalam bidang agama.
Meskipun kiai tidak menggunakan kekuatan Struktural, tetapi kultural, pesantren tetap dapat berkembang dan maju. Pada prinsipnya, kepemimpinan kiai dalam hal ini, lebih mengedepankan motivasi terhadap pihak-pihak yang menjadi bagian dari pengelola pesantren untuk berbuat atau bekerja lebih baik, yang pada gilirannya berpengaruh pada pengembangan pendidikan pesantren. Dengan demikian motivasi yang dimaksud adalah, kiai mendorong pada pengelola pesantren untuk mengedepankan semangat pengabdian dalam bekerja.
Model tersebut dapat terlihat mudah dilakukan oleh kiai dikarenakan sosok seorang kiai memang memiki kharisma. Selain itu, sejak awal berdiri, pesantren dalam sejarahanya, memang hasil swadaya masyarakat. Dengan kata lain, menjadi pemimpin dan mengurusi pesantren mesti berdasarkan kepada semangat pengabdian yang tidak lain untuk mendapatkan barokah kiai.
Sehingga kharisma seorang kiai merupakan salah satu modalitas yang dapat dijadikan kekuatan untuk mempengaruhi bawahannya, termasuk pengurus pesantren. Mulai ketua pengurus pengajian kitab, kesenian, ibadah sampai pengurus dibidang kebersihan.
Kharisma kiai dapat diperoleh dari faktor keturunan, seperti tubuh besar, suara yang keras dan mata yang tajam serta adanya ikatan genealogis dengan kiai kharismatik sebelumnya. Selain itu, kiai bisa memiliki kharisma dari kemampuannya atau penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan keagamaan serta kepribadian yang saleh. []
[1] Martin Van Bruinessen, NU Tradisi Relasi-Relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru (Yogyakarta; LKIS, 994),21 15
Bachtiar Effendi, “Nilai-Nilai Kaum Santri” dalam Dawam Rahardjo (Ed.), Pergulatan Dunia Pesantren (Jakarta: P3M, 1985), 51