Pesantren: Menjaga Ketradisionalan dan Mengikuti Arus Zaman

“NU adalah pesantren besar dan pesantren adalah NU kecil” begitulah yang diungkapkan oleh KH. Sahal Machfudl dalam buku Khittah dan Khidmah Nahdalatul Ulama’. Maksudnya adalah pesantren sebagai sistem pendidikan keagamaan tradisional bertujuan mempersiapkan lahirnya santri professional untuk regenerasi kader yang nantinya akan berkiprah kepada agama, bangsa, negara dan ummat manusia.

Pesantren yang dimiliki NU mayoritas bersistem salaf, identik dengan pesantren tradisional yang berbeda dengan pesantren modern dalam hal metode pengajaran dan infrastrukturnya. Di era modern yang dalam segala aspeknya mengunggulkan IPTEK, pesantren tradisional lebih mengutamakan pengajaran tentang akidah dan syari’at. Ketradisionalan ini yang memunculkan polemik bahwa pengajaran di pesantren adalah salah satu penyebab kemunduran zaman. Benarkah begitu?

Memang kita sedikit terlambat dalam menguasai kemajuan teknologi, karena fokus dan disiplin ilmu yang dipelajari pun mengenai dasar-dasar agama Islam. Keterbatasan fasilitas juga menjadi salah satu penyebab keterlambatan teknologi di pesantren. Hal ini dikarenakan prioritas pesantren salaf adalah mengkaji kitab-kitab kuning dan bagaimana bisa melebur kedalam seluruh komponen masyarakat tidak memandang latar belakang. Inilah yang kemudian membawa Gus Dur menjadi “bapak pluralisme” karena sikap toleransi dan saling menghormati dengan agama lain.

Boleh dibilang, pesantren NU untuk urusan adab nomor satu. Pernah beredar video viral di media sosial, dijumpai seorang santri pergi ke mall menggunakan pakaian khas santri lengkap dengan sarung dan kopyah. Setiap bertemu seseorang ia menundukkan diri. Betapa adab yang diterapkan di pesantren untuk bersikap tawadlu’ terutama kepada guru dan orang yang lebih tua sangat melekat sampai-sampai diterapkan di tempat umum.

Menjadi santri juga sudah belajar kontrol diri sejak awal menginjakkan kaki di pesantren. Dibatasinya akses menggunakan sarana telekomunikasi seperti hp atau telepon mengajari santri untuk membatasi diri dengan dunia luar. Secara otomatis, ketika lulus dari pesantren dan terjun langsung ke dunia luar, mereka akan menerapkan kontrol diri dengan menyaring baik dan buruk ketika menggunakan sarana media sosial. Kejamnya dunia ini sangat luar biasa, sehingga muncul ungkapan dunia tipu-tipu.. Apalagi santri adalah seseorang dengan kategori usia remaja yang labil dan rentan mendapatkan pengaruh jika tidak didasari akidah yang kuat, maka akan mudah terjerumus ke lembah yang mengerikan.

Baca Juga:  Pesantren Telah Teruji Melahirkan Insan Toleran

Dewasa ini, banyak pesantren salaf yang juga mengembangkan sistem modern. Umumnya, pesantren modern ditandai dengan penggunaan multi-languages, yang mana menerapkan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari. Tidak dipungkiri bahwa kedua Bahasa ini sudah digunakan secara internasional dan banyak santri lulusan pesantren yang saat ini mendapatkan kesempatan untuk menempuh Pendidikan di luar negeri. Tidak hanya Mesir atau Maroko, tapi juga negara-negara lain yang basic bahasanya adalah Bahasa Inggris seperti di Amerika, Inggris atau Jerman. Didukung oleh adanya beasiswa santri khusus bagi yang ingin menempuh pendidikan tinggi baik di dalam atau di luar negeri ini sangat mendukung modernisasi di dunia pesantren. Kemajuan tidak hanya diukur dari internal sistem di pesantren itu sendiri, tapi juga dilihat dari kesuksesan alumninya. Banyak sekali santri alumni pesantren tua yang sistemnya sangat-sangat tradisional justru menjadi pelopor kemajuan bangsa.

Maka, mondok di pesantren adalah salah satu dari proses modernisasi itu sendiri. Bagaimana mem-filter yang haq dan bathil dalam pesatnya ilmu pengetahuan, menyeimbangkan antara logika dan perasaan (akal dan hati) dalam menyikapi problematika  kehidupan, menggunakan pendekatan rasional dan empiris dalam memutuskan suatu permasalahan. Penerapannya ada ketika mengemban ilmu di pesantren, para santri belajar memecahkan permasalahan dengan menggelar Bahtsul Masa’il. Fungsinya sebagai simulasi atau ajang latihan ketika dewasa nanti mereka terjun ke masyarakat dan disuguhi persoalan modern untuk mumutuskan suatu hukum yang belum ada sebelumnya.

Aktifitas yang merupakan tradisi di kalangan pesantren ini adalah bagian dari proses pelaksanaan fungsi tradisional para kyai pesantren sebagai simbol otoritas keagamaan atas permasalahan keagamaan aktual dalam bidang fiqih yang mengacu kepada mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Fiqih haruslah bergerak dan bertumbuh kembang, artinya fiqih harus dinamis dan selaras dengan perkembangan zaman. Terjadinya perbedaan antara para ulama’ ahli fiqih adalah salah satu sebab keragaman konsep dan karakter dari masing-masing madzhab. Karena para mujtahid fiqih pun juga bisa melakukan insyaf atas apa yang telah ditetapkannya.

Baca Juga:  Pesantren itu Memberi

Bahtsul Masa’il sebagai implementasi dari istinbath hukum. Tradisi ini secara terus menerus dijaga eksistensinya dari waktu ke waktu sebagai bahan asah intelektual para santri dan membahas permasalahan modern untuk memperoleh status hukum dan bagaimana cara menyikapinya. Bukankah fiqih versi kitab kuning sebenarnya sudah merumuskan semua jawaban atas segala permasalahan yang ada?

Ya. Disiplin ilmu ini sudah lengkap secara teori dan kuat secara logika. Namun beberapa kitab klasik dirumuskan atas kasus-kasus keandaian (tidak benar-benar terjadi). Hukum merupakan sebuah ketetapan yang menjadi dasar umat muslim berpijak, akan tetapi, beberapa permasalahan fiqih tidak memiliki sumber hukum yang pasti dikarenakan perubahan zaman. Kebenaran teoritik juga harus dikaji ulang dengan memasukkan realitas sosial yang ada pada masa kini. Sehingga tidak semena-mena menyalahkan orang lain ketika memiliki perbedaan pendapat dengan kita.

Jadi, sistem tradisional dan kitab kuning sebagai bahan ajar bukanlah suatu kemunduran zaman. Menilik fakta bahwa seiring berkembangnya zaman, berkembang pula sistem pendidikan di pesantren. Menjaga ketradisionalan dan mengikuti arus zaman. Dalam hal ini, pesantren NU seperti menolak modernisasi tapi juga menerimanya. Sesuai dengan prinsip yang dipegang yaitu:

المحُاَفَظَةُ عَلَى القَدِيْمِ الصَالِحِ وَالأَخْذُ باِلجَدِيْدِ الأَصْلَحِ

“Memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik”

Wallahu a’lam bisshowab. []

Amy Fayla Sufa
Magister Pendidikan Bahasa Inggris UNISMA Guru di Pondok Tremas

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini