Jadilah Matahari dan Bulan di Era Pandemi

Benda langit yang terbesar adalah matahari. Bentuknya nyaris bulat dan terdiri dari plasma panas bercampur medan magnet. Diameternya sekitar 1.329.684 km, kira-kira 109 kali diameter bumi. Sementara massa matahari diperkirakan 330.000 kali massa bumi.

Matahari merupakan sumber energi bagi bumi. Ia sebagai bintang terdekat bumi yang terus menyinari bumi di siang hari. Saat matahari terbenam pun, bumi tidak begitu saja menjadi gelap. Tapi, bumi masih memiliki bulan. Satelit inilah yang memantulkan sinar matahari ke bumi di malam hari. Mengenai cara kerja bulan yang terlihat seperti menyinari bumi ketika malam ini, Alex Firth, dkk telah menjelaskan dalam bukunya, “100 Things to Know About Science“.

Fakta astronomis yang tidak bisa dipungkiri, bahwa sejatinya, bulan sebenarnya tidak bersinar. Satelit bumi tersebut hanya memantulkan cahaya dari matahari sesuai orbitnya. Sebagaimana bulan mengorbit bumi, setengah sisi dari bulan juga menghadap ke matahari yang selalu bersinar. Itu sebabnya, bulan mempunyai bentuk yang berubah-ubah dari waktu ke waktu.

Matahari adalah salah satu sumber cahaya di bumi. Ia yang tak pernah lelah memancarkan sinar terangnya ke bumi. Kebaikan matahari ibarat sedekah bagi bumi. Ia terus memancarkan energinya untuk menjamin kehidupan makhluk-makhluk lain yang bergantung padanya.

Matahari tak pernah mengeluh untuk terus berproses mereaksikan hydrogen secara fusi agar menghasilkan atom ringan helium sehingga menghasilkan sekumpulan electron energy. Energi inilah yang juga bermanfaat bagi manusia.

Demikian halnya bulan, ia hadir di malam hari untuk menggantikan peran matahari. Ia hadir untuk menghiasi suasana malam yang penuh keindahan. Metafora keindahan bulan pun selalu memesona di hati.

Bulan secara istikamah menjalankan fungsinya sebagai satelit yang selalu mengorbit. Ia patuh dan selalu mengekor kemana pun planet induknya pergi. Bulan terus berusaha memantulkan “kebaikan” dari matahari kepada bumi.

Baca Juga:  Pahlawan Pandemi yang Terlupakan

Adakah kearifan matahari dan bulan yang dapat diteladani bagi manusia merdeka? Sebagai sumber energi bagi bumi, matahari tak henti-hentinya menyinari bumi dengan penuh keihkhlasan. Matahari secara terus-menerus menyinari bumi tanpa kata lelah. Ia melakukan tanpa ada paksaan. Ia hadir setiap waktu yang ditentukan tanpa datang terlambat sedikitpun. Ia rela menyinari yang lain, meskipun dirinya terus terbakar.

Kebaikan dan ketulusan matahari mencerminkan sikap yang pantas diteladani umat manusia merdeka. Sudah selayaknya, manusia sebagai khalifah di bumi harus memberikan kebaikan pada orang lain, khususnya di era pandemi. Bahkan, bila perlu berkorban demi orang lain dan mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan pribadinya. Kebaikan semacam ini dalam bahasa agama sering disebut al-itsār.

Imām al-Ghazālī pernah berkata begini:

Jadilah seorang Muslim seperti matahari, yang bersinar karena kualitas pribadinya, mampu menerangi dan menghangatkan sekitarnya dan memberi manfaat bagi masyarakat lainnya.”

Bulan juga demikian, ia satelit yang selalu memantulkan cahaya matahari ke bumi. Bulan juga istikamah sesuai sunnatullah selalu memantulkan kebaikan-kebaikan yang diterimanya dari matahari. Itu sebabnya, di malam hari bumi masih mendapatkan siraman cahaya, apalagi di bulan purnama.

Kemauan untuk memantulkan kebaikan inilah salah satu yang harus kita teladani dari bulan. Seringkali kita menerima pemberian dari orang lain, tetapi jarang sekali mau untuk memantulkan pemberian itu kepada orang lain.

Dengan bahasa lain, kita dapat belajar dari bulan tentang indahnya berbagi dengan orang lain. Pantulan-pantulan kebaikan yang kita berikan kepada orang lain akan memberikan dampak positif bagi diri pribadi kita, baik dari sisi sosial maupun ritual. Maka, jadilah seperti matahari dan bulan selama hayat masih dikandung badan.

Baca Juga:  Covid-19 di Pesantren (1): Terkait Pandemi, Kiai Terbelah Jadi Tiga “Mazhab”

Dengan begitu, kita akan merasakan kemerdekaaan yang sejatinya. Ya, kemerdekaan dari penjajahan oleh nafsu atas diri kita. Karena berbagi adalah hakikat kemerdekaan dari belenggu nafsu dan ego pribadi untuk cinta dunia. [HW]

Moh Mufid
Redaktur Maqasid Centre, Penulis Buku dan Dosen Maqasid Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Santri Alumni PP Mambaul Ulum Dagan Lamongan, PP Tambakberas Jombang, dan PP Salafiyah Safi'iyyah Asembagus Situbondo, Alumni Fakultas Syariah Wal Qanun Al-Ahgaff University Hadhramaut Yaman, Alumni Magister Filsafat Hukum Islam IAIN Antasari Banjarmasin dan Doctoral UIN Alauddin Makassar.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini