Tradisi Malam 1 Suro Masyarakat Jawa

Malam tahun baru Islam 1 Muharram atau malam 1 Suro biasanya setiap daerah memiliki kebiasaan, atau tradisi dalam menyambutnya. Terlebih ritual-ritual secara turun temurun akan dilaksanakan setiap tahunnya. Momen tersebut biasanya dilakukan sebagai waktu untuk intropeksi diri, dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Oleh karenanya, banyak ragam tradisi dalam menyambut malam 1 Suro. Sebagian besar masyarakat Jawa masih mempercayai bahwa malam satu Suro memang malam istimewa. Di berbagai daerah banyak tradisi memperingati Tahun Baru Jawa sekaligus Islam.

Satu Suro, adalah sebagai awal bulan pertama Tahun Baru Jawa, bertepatan dengan 1 Muharam. Kalender jawa pertama kali diterbitkan oleh Raja Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo 1940 tahun yang lalu, mengacu penanggalan Hijriyah (Islam). Di sejumlah daerah di Pulau Jawa, Masyarakat Jawa masih tetap dijalani dengan laku atau lampah bathin dan prihatin. Satu Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Sura atau Suro. Dalam penanggalan Jawa, dihitung berdasarkan penggabungan kalender (Islam), kalender matahari (masehi) dan Hindu. Berdasarkan atas pertimbangan pragmatis, politik dan sosial, penanggalan Jawa memiliki dua sistem perhitungan yaitu mingguan (7 harian) dan pasaran (5 harian). penanggalan jawa memiliki siklus windu (sewindu:8 tahun), dimana konsekuensi dari siklus ini adalah pada urutan tahun jawa ke 8 (jimawal) jatuhnya tanggal 1 Suro berselisih satu hari lebih lambat dengan 1 Muharam dalam kalender Islam.

Latar belakang dijadikannya 1 Muharam sebagai awal penanggalan Islam oleh Khalifah Umar bin Khattab, seorang khalifah Islam di zaman setelah Nabi Muhammad wafat. Untuk memperkenalkan kalender Islam di kalangan masyarakat Jawa, maka tahun 931 H atau 1443 tahun Jawa baru, yaitu pada zaman pemerintahan kerajaan Demak, Sunan Giri II telah membuat penyesuaian antara sistem kalender Hirjiyah dengan sistem kalender Jawa pada waktu itu.

Baca Juga:  Corona dan Hilangnya Tradisi Masyarakat

Waktu itu, Sultan Agung menginginkan persatuan rakyatnya untuk menggempur Belanda di Batavia, termasuk ingin menyatukan Pulau Jawa. Oleh karena itu, beliau ingin rakyatnya tidak terbelah, apalagi disebabkan keyakinan agama. Pada setiap hari Jumat legi, diadakan pengajian yang dilakukan oleh para penghulu kabupaten, sekaligus diadakan ziarah kubur dan haul ke makam Ngampel dan Giri. Akibatnya, 1 Muharram (1 Suro Jawa) yang dimulai pada hari Jumat legi ikut dikeramatkan pula, bahkan dianggap sial kalau ada orang yang memanfaatkan hari tersebut diluar kepentingan mengaji, ziarah, dan haul.

Misteri Bulan Suro, Perspektif Islam Jawa, kata “Suro” berasal dari kata “Asyura” dalam bahasa Arab yang berarti “sepuluh”. Kata Asyura di sini merujuk pada tanggal 10 bulan Muharam, yang berkaitan dengan peristiwa wafatnya Sayyidina Husein, cucu Nabi Muhamad di Karbala (sekarang masuk Irak). Dari Sultan Agung inilah kemudian pola peringatan tahun Hijriah dilaksanakan secara resmi oleh negara, dan diikuti seluruh masyarakat Jawa. Berbagai ritual perayaan Muharram dan Asyura di Indonesia terus lestari sampai sekarang berkat jasa Sultan Agung.

Satu suro biasanya diperingati pada malam hari setelah magrib pada hari sebelum tanggal satu biasanya disebut malam satu suro, hal ini karena pergantian hari Jawa dimulai pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan pada tengah malam. Satu Suro memiliki banyak pandangan dalam masyarakat Jawa, dan dianggap keramat terlebih bila jatuh pada Jumat Legi. Untuk sebagian masyarakat pada malam satu suro dilarang untuk ke mana-mana kecuali untuk berdoa ataupun melakukan ibadah lain. Malam satu Suro yang sangat lekat dengan budaya Jawa, biasanya terdapat ritual tradisi iring-iringan rombongan masyarakat atau kirab. Beberapa daerah di Jawa merupakan tempat berlangsungnya perayaan malam satu Suro.

Baca Juga:  Siapakah Ulama Nusantara yang mengenalkan bahasa Jawa di Masjidil Haram?

Di Solo, misalnya perayaan malam satu Suro terdapat hewan khas yang disebut kebo (kerbau) bule yang menjadi salah satu daya tarik bagi warga yang menyaksikan perayaan malam satu Suro dan konon dianggap keramat oleh masyarakat setempat. Kebo Bule Kyai Slamet. Bukan sembarang kerbau, karena hewan ini termasuk pusaka penting milik keraton. Dalam buku Babad Solo karya Raden Mas (RM) Said, leluhur kebo bule adalah hewan kesayangan Paku Buwono II, sejak istananya masih di Kartasura. Menurut seorang pujangga kenamaan Keraton Kasunanan Surakarta, Yosodipuro, leluhur kerbau dengan warna kulit yang khas, yaitu bule (putih agak kemerah-merahan) itu, merupakan hadiah dari Kyai Hasan Beshari Tegalsari Ponorogo kepada Paku Buwono II, yang diperuntukkan sebagai cucuk lampah (pengawal) dari sebuah pusaka keraton yang bernama Kyai Slamet saat beliau pulang dari mengungsi di Pondok Tegalsari ketika terjadi pemberontakan pecinan yang membakar Istana Kartasura.

Berbeda dengan perayaan di Solo, di Yogyakarta perayaan malam satu Suro biasanya selalu identik dengan membawa keris dan benda pusaka sebagai bagian dari iring-iringan kirab. Para abdi dalem keraton, beberapa hasil kekayaan alam berupa gunungan tumpeng serta benda pusaka menjadi sajian khas dalam iring-iringan kirab yang biasa dilakukan dalam tradisi Malam Satu Suro. Perayaan tradisi peringatan malam satu Suro menitik beratkan pada ketentraman batin dan keselamatan.

Pada malam satu Suro biasanya selalu diselingi dengan ritual pembacaan doa dari semua orang yang menghadirinya. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan berkah dan menangkal datangnya marabahaya. Selain itu, masyarakat Jawa pada umumnya selalu berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan melakukan hal kebaikan sepanjang bulan satu Suro. Tradisi saat malam satu suro bermacam-macam tergantung dari daerah mana memandang hal ini. seperti contoh mengunci mulut yaitu tidak mengeluarkan kata-kata selama ritual ini. Yang dapat dimaknai sebagai upacara untuk mawas diri, berkaca pada diri atas apa yang dilakukan selama setahun penuh, menghadapi tahun baru di esok paginya.

Baca Juga:  Ruwat Desa Dusun Suruh, Kabupaten Sidoarjo Dimulai dengan Istighosah Bersama, Ditutup Pagelaran Wayang Kulit

Hingga saat ini, setiap tahunnya tradisi malam satu Suro selalu diadakan oleh masyarakat Jawa. Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling disini memiliki arti manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan di mana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sementara waspada berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan. []

Mustika Aqilah Trisna Nafilah
Mahasiswi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini