Indahnya menjadi Santri

Secara historis santri merupakan salah satu kaum elit di tanah air. Bukan hanya priyayi saja. Santri tekun belajar dan mengaji, menggembleng diri yang tidak hanya fisik dan sosial tapi juga mental. Bahkan mereka memupuk dan melatih semangat kebangsaan. Dengan cara belajar dan hidup seperti ini, cukup banyak tokoh dan ulama, yang tidak hanya kuat bidang agamanya, tetapi juga memiliki jiwa pelopor, bahkan menjadi guru bangsa. Di samping ada santri yang beruntung, sehingga sukses menjadi kiai atau ulama, tetapi di balik itu ada juga santri yang merugi dan gagal, karena ngajinya tak serius.

Santri yang sungguh-sungguh, selama di pesantren mereka belajar hidup mandiri, dengan belanja dan memasak sendiri, mencuci sendiri, dan setrika baju sendiri jika memerlukannya. Dalam kesehariannya, mereka dengan cara hidup sederhana, saling menolong. Mereka tekun belajar dan mengaji. Santri rajin dan disiplin ibadah wajib dan sunah. Santri rutin berlatih khithobah untuk menjadi dai atau pemimpin ummat. Santri ada yang belajar bertani dan berkebun atau latihan enterpreneurship. Santri aktif latihan bela diri dan bela negara. Santri latihan berorganisasi baik level terbatas maupun level yang diperluas. Santri juga latihan riyadhoh. Singkatnya bahwa santri itu bener-benar belajar kehidupan. Yang kadang-kadang di sejumlah pesantren mewajibkan santri yang selesai tidak boleh pulang ke rumah tetapi mereka harus mengabdi di daerah tertentu.

Santri di pesantren salafiyah cenderung belajarnya bersifat individual dan menguasai materi kitab dengan tuntas. Dengan belajar kita kuning yang gundul, santri tidak hanya semakin kata vocabulary-nya, melainkan logikanya terasah dengan baik. Karena setiap mengaji kitab dapat menjumpai dhomir yang secara tidak langsung dituntut untuk mengetahui rujuknya. Dengan begitu santri selalu terkontrol dalam memahami materi secara utuh dan tuntas. Setiap kitab yang dipelajari selesai terus disimpan dan ditumpuk di lemari kitabnya yang pada saatnya selesai semuanya dibawa pulang. Semuanya akan menjadi bekal untuk berhikmat membina ummat.

Baca Juga:  Qunut Nazilah : Urgensi Amalannya di Tengah Wabah

Coba bandingkan dengan siswa dan mahasiswa, mereka belajar ada yang memiliki buku rujukan dan ada yang tidak memiliki buku rujukan. Begitu selesai sekolah dan kuliah, ada yang koleksinya masih tersimpan baik, tetapi sebagian besar buku-buku teksnya sudah tidak diketahui rombanya. Berdasarkan pengamatan saya, sangat sedikit para lulusan baik sekolah maupun kuliah yang masih menyimpan buku-buku teksnya, apalagi umumnya juga buku teksnya banyak yang semakin out of date. Apalagi kepemilikan buku teks saat ini lebih banyak sudah diganti dengan e-book. Koleksi lulusan sekolah dan perguruan tinggi menjadi tidak terlalu dianggap penting dimiliki. Walaupun demikian sebenarnya memiliki buku teks dalam batas tertentu masih relevan dan penting.

Memperhatikan gambaran selintas dunia pelajar dan mahasiswa memang dalam batas tertentu mempengaruhi gaya belajar santri, tetapi santri dalam mempelajari kitab kuning sebagai rujukan penting utamanya bidang keagamaan harus tetap tunjukkan gaya belajar yang berbeda. Di samping belajar dengan gaya konvensional, kuranya perlu diback-up dengan gaya belajar berbasis IT. Santri juga bisa membuat koleksi kitab kuning yang lebih kaya, terutama kitab yang dihasilkan oleh para ulama di Negara-negara Islam. Kitabnya disusun dengan berjilid-jilid yang menggambarkan bahwa kitab itu mengandung isi yang lengkap dan komprehensif.

Menyadari akan keunggulan belajar dan mengaji di pesantren, bermuncullah berbagai pondok pesantren modern dan pondok pesantren salafiyah yang disempurnakan dengan pendidikan modern. Harapannya bahwa harus tetap terjaga keunggulan karakter santri yang kuat beribadah, tawadlu’, sederhana, mandiri, sederhana, disiplin, bertanggung jawab, suka riyadhoh, kreatif, sehat, terampil berkomunikasi, cakap dalam kepemimpinan, dan berjiwa sosial, serta tanah air. Dengan begitu, pesantren modern yang tidak mendorong memasak sendiri, mencuci sendiri, membersihkan lingkungan, menjaga keamanan asrama dan sebagainya, harus diganti dengan kegiatan dan agenda yang mendorong pembentukan karakter santri yang unggul tersebut.

Baca Juga:  In Memoriam KH Maimoen Zubair: Sang Mutabahhir-Mutafannin Fil Ulum

Memang di sejumlah pesantren, masih ada praktek pemberian hukuman fisik bagi yang melanggar tata tertib dan melakukan kesalahan yang tidak perlu dan bersifat berat. Untuk membentuk kepribadian santri sangat diperlukan pemberian hukuman yang dilandasi sikap yang bijak dan kasih sayang. Jika diberikan hukuman, perlu ditindak dengan hukuman yang proporsional. Hukuman yang bersifat mendidik dan tidak ada unsur eksploitatif atau distruktif.

Untuk menyelamatkan santri, perlu ada pembatasan wilayah santri di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Bagi pesantren tertentu bisa dilakukan, tetapi mayoritas pesantren itu berada di tengah-tengah masyarakat. Untuk bisa melindungi santri dari pengaruh luar dari intervensi lingkungan, maka perlu dibuat tata tertib yang jelas dan pemberlakuannya perlu dikawal dengan baik. Menjadikan santri hidup dalam kelompok dengan saling bertanggung jawab dengan kelompoknya, di samping tanggung jawab di atas pundak sendiri.

Di tengah-tengah kehidupan informasi yang terbuka, tidak mudah mengendalikan masuknya informasi lewat internet. Untuk itu sangat diperlukan bantuan ahli IT untuk bisa memblok wilayah pesantren sehingga bisa dikendalikan transaksi informasi yang terbuka. Namun sehebat apapun yang dilakukan oleh pengurus, tetap saja dibutuhkan kontrol diri dari setiap santri. Di sinilah yang perlu terus ditekankan, bahwa santri diajak dewasa, mandiri dan bertanggung jawab penuh terhadap setiap ucapan dan perbuatan selama hidup di pesantren. Pengendalian secara fisik itu penting, tetapi jauh lebih penting pengendalian diri dan mental.

Betapa indah dan bahagianya hidup menjadi santri, karena santri pada hakekatnya belajar kehidupan. Tidak hanya belajar akademik. Walaupun dengan masuk pesantren bisa masuk pendidikan formal, namun waktu yang paling banyak hidup di lingkungan pesantren. Saat itulah santri benar2 belajar kehidupan yang melakukan penggemblengan diri semua aspek hidupnya, sehingga sampai selesai nyantri yang pada saatnya mengakhiri sudah bisa memiliki kecakapan tersendiri yang sangat berarti bagi kehidupan berikutnya, apakah melanjutkan studi atau melanjutkan ke pesantren lainnya atau terus terjun di masyarakat. Harapannya setiap santri bangga atas statusnya sebagai alumni santri di manapun mereka mengaji. []

Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A.
Beliau adalah Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pendidikan Anak Berbakat pada Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. Ia menjabat Rektor Universitas Negeri Yogyakarta untuk periode 2009-2017, Ketua III Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) masa bakti 2014-2019, Ketua Umum Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKhI) periode 2011-2016, dan Ketua Tanfidliyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DIY masa bakti 2011-2016

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Santri